Writer: Raodatul - Kamis, 18 Desember 2025 10:04:33
FYPMedia.id - Amerika Serikat kembali mengirimkan sinyal keras dalam perang global melawan narkotika. Sebuah kapal yang diduga terlibat jaringan perdagangan narkoba diserang oleh militer AS di Samudra Pasifik, menewaskan empat orang di dalamnya.
Operasi ini menambah daftar panjang aksi militer antinarkoba Washington yang kini menuai sorotan internasional, termasuk tudingan pelanggaran hukum humaniter dan eskalasi konflik geopolitik.
Komando militer Amerika Serikat mengonfirmasi bahwa serangan tersebut merupakan bagian dari operasi berkelanjutan terhadap jaringan narkoba lintas negara yang beroperasi di jalur laut internasional.
"Militer AS melakukan serangan kinetik mematikan terhadap sebuah kapal yang dioperasikan oleh Organisasi Teroris yang Ditunjuk di Pasifik Timur yang terlibat dalam operasi perdagangan narkoba," kata Komando militer AS, dikutip dari AFP, Kamis (18/12/2025).
Dalam serangan tersebut, empat pria yang disebut sebagai “teroris narkoba” dilaporkan tewas di lokasi. Militer AS juga menegaskan tidak ada personel mereka yang mengalami luka.
"Sebanyak empat teroris narkoba laki-laki tewas, dan tidak ada pasukan militer AS yang terluka," lanjut pernyataan resmi tersebut.
Korban Terus Bertambah, Operasi AS Jadi Sorotan
Serangan ini bukanlah insiden tunggal. Sejak September 2025, Amerika Serikat telah menggencarkan operasi militer terhadap kapal-kapal yang dicurigai membawa narkotika di wilayah Laut Karibia dan Samudra Pasifik bagian timur. Dengan insiden terbaru ini, total korban tewas akibat operasi tersebut kini mencapai 99 orang.
Langkah agresif ini menunjukkan pergeseran pendekatan AS dalam perang narkoba, dari penegakan hukum menjadi operasi militer bersenjata.
Pemerintah AS berdalih bahwa jaringan narkotika internasional kini beroperasi layaknya organisasi teroris, sehingga memerlukan respons militer yang tegas.
Namun, pendekatan ini memicu perdebatan serius, baik di dalam negeri AS maupun di komunitas internasional.
Baca Juga: Aksi Brutal Oknum WN China Bersenjata Serang TNI di Tambang Ketapang
Kritik Internal: Tuduhan Pelanggaran Hukum Perang
Kontroversi semakin memanas setelah sejumlah anggota parlemen AS menyuarakan keprihatinan terhadap legalitas dan moralitas serangan tersebut.
Seorang legislator senior dari Partai Demokrat yang menyaksikan rekaman serangan menyebut aksi itu sebagai tindakan terhadap “pelaut yang terdampar”.
Beberapa anggota parlemen bahkan menyebut serangan ini berpotensi masuk kategori kejahatan perang, terutama jika target tidak lagi menimbulkan ancaman langsung.
Anggota DPR dari Partai Demokrat, Jim Himes, mengaku terkejut setelah melihat rekaman lengkap operasi militer tersebut.
"Ini salah satu hal paling meresahkan yang pernah saya lihat selama saya menjabat," kata Himes.
"Ada dua orang yang jelas-jelas dalam kesulitan tanpa alat transportasi apa pun, dengan kapal yang sudah hancur, tapi malah dibunuh oleh Amerika Serikat," lanjutnya.
Pernyataan tersebut memperkuat kekhawatiran bahwa operasi antinarkoba AS telah melampaui batas aturan keterlibatan militer internasional.
Nada serupa disampaikan anggota DPR dari Partai Republik, Don Bacon. Meski berasal dari partai yang sama dengan pemerintahan Trump, Bacon menilai serangan terhadap penyintas tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
"Aturan yang ada adalah mereka (dapat dibunuh) jika menimbulkan ancaman mendesak. Saya pikir kita bisa bilang bahwa mereka tidak menimbulkan ancaman mendesak bagi negara kita," ujarnya, dikutip dari CNN, Kamis (18/12/2025).
Pemerintah AS Bertahan, Operasi Disebut Sah
Di tengah gelombang kritik, Gedung Putih dan Pentagon tetap bersikukuh bahwa seluruh operasi militer dilakukan secara sah dan diperlukan. Senator Partai Republik Tom Cotton menjadi salah satu pembela paling vokal kebijakan tersebut.
"Saya melihat dua orang yang selamat mencoba membalikkan kapal berisi narkoba yang menuju Amerika Serikat agar mereka bisa tetap beroperasi," kata Cotton.
"Seluruh serangan yang dilancarkan militer sepenuhnya sah dan memang diperlukan," lanjutnya.
Pemerintahan Presiden Donald Trump menilai jalur laut di Karibia dan Pasifik Timur sebagai pintu masuk utama narkotika ke Amerika Serikat.
Oleh karena itu, pendekatan keras dianggap sebagai satu-satunya cara untuk memutus mata rantai suplai narkoba internasional.
Militerisasi Perang Narkoba dan Dampak Global
Dalam beberapa bulan terakhir, AS meningkatkan pengerahan aset militernya secara signifikan. Kapal induk terbesar di dunia, pesawat pengintai, hingga pasukan khusus dikerahkan untuk mempersempit ruang gerak jaringan narkoba internasional.
Langkah ini menandai babak baru dalam perang narkoba global, di mana isu kriminal lintas negara kini diposisikan sebagai ancaman keamanan nasional.
Namun, banyak pengamat menilai strategi ini berisiko menciptakan preseden berbahaya. Penggunaan kekuatan militer di perairan internasional tanpa proses hukum dinilai dapat melemahkan norma hukum internasional dan memperbesar potensi konflik antarnegara.
Baca Juga: Muak dengan Isu Korupsi, Gen Z Tumbangkan Pemerintahan Bulgaria Jelang Gabung Zona Euro
Dimensi Politik: Tekanan ke Venezuela
Serangan-serangan ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks geopolitik Amerika Latin. Presiden Donald Trump secara terbuka menuding Presiden Venezuela Nicolas Maduro sebagai aktor kunci dalam jaringan narkoba internasional.
Trump bahkan mengawasi langsung pengerahan militer besar-besaran di lepas pantai Venezuela dan memberlakukan blokade terhadap kapal tanker minyak yang dikenai sanksi menuju dan keluar dari Caracas.
Pemerintah Venezuela menepis tudingan tersebut dan menyebut kampanye antinarkoba AS sebagai dalih untuk menggulingkan rezim Maduro.
Tekanan militer dan ekonomi yang dilakukan AS dinilai semakin memperkeruh hubungan diplomatik kedua negara dan berpotensi memicu ketegangan regional yang lebih luas.
Antara Keamanan dan Kemanusiaan
Kasus ini memperlihatkan dilema besar dalam perang narkoba modern: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan keamanan nasional dengan prinsip kemanusiaan dan supremasi hukum.
Di satu sisi, Amerika Serikat menghadapi krisis narkoba domestik yang menelan puluhan ribu korban setiap tahun.
Di sisi lain, penggunaan kekuatan mematikan terhadap target di perairan internasional menimbulkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas dan batas kewenangan militer.
Dengan jumlah korban yang terus bertambah dan kritik yang kian keras, operasi militer antinarkoba AS kini berada di persimpangan jalan.
Apakah strategi ini benar-benar efektif memutus perdagangan narkoba global, atau justru menciptakan luka baru dalam tatanan hukum dan kemanusiaan internasional?
Yang jelas, serangan mematikan di Samudra Pasifik ini bukan sekadar operasi keamanan, melainkan simbol eskalasi besar dalam perang narkoba yang dampaknya menjalar jauh melampaui lautan.