FYP
Media
Memuat Halaman...
0%
Fenomena Gray Divorce Meningkat: Kemenkes Ungkap Cara Cegah Retaknya Pernikahan Lansia

News

Fenomena Gray Divorce Meningkat: Kemenkes Ungkap Cara Cegah Retaknya Pernikahan Lansia

Writer: Raodatul - Selasa, 16 Desember 2025 03:44:43

Fenomena Gray Divorce Meningkat: Kemenkes Ungkap Cara Cegah Retaknya Pernikahan Lansia
Sumber gambar: Foto: Getty Images/FG Trade

FYPMedia.id - Fenomena gray divorce atau perceraian di usia lanjut semakin mencuri perhatian publik. Setelah puluhan tahun membangun rumah tangga, tidak sedikit pasangan justru memilih berpisah ketika memasuki fase hidup yang seharusnya lebih tenang, saat anak-anak telah mandiri dan masa pensiun mulai dijalani. 

Tren ini bukan lagi sekadar isu sosial di negara Barat, tetapi juga mulai terasa relevansinya di Indonesia, seiring perubahan nilai, harapan hidup yang semakin panjang, serta meningkatnya kesadaran individu terhadap kesehatan mental dan kebahagiaan personal.

Gray divorce merujuk pada perceraian yang terjadi pada pasangan berusia di atas 50 tahun setelah menjalani pernikahan jangka panjang. Istilah ini dianalogikan dengan warna rambut abu-abu (uban) yang identik dengan usia lanjut. 

Dalam banyak kasus, perceraian bukan dipicu oleh konflik besar atau perselingkuhan, melainkan akumulasi ketidakbahagiaan yang dipendam bertahun-tahun.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menilai, salah satu akar masalah yang sering luput disadari pasangan lansia adalah kebiasaan berpura-pura bahagia demi menjaga citra rumah tangga. 

Sikap ini justru dinilai berbahaya karena menunda penyelesaian masalah hingga akhirnya meledak dalam bentuk perceraian.

Kemenkes Ingatkan Bahaya Berpura-pura Bahagia dalam Pernikahan

Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes RI, dr. Imran Pambudi, MPHM, menegaskan bahwa ketidakjujuran emosional menjadi bom waktu dalam hubungan jangka panjang.

"Ketidakbahagiaan yang disangkal justru paling berbahaya. Hadapi secara jujur, bicarakan, dan cari jalan keluarnya bersama. Pura-pura bahagia hanya akan merusak hubungan secara perlahan," tegas Imran, dilansir dari detikcom, Selasa (16/12/2025).

Menurutnya, konsep healthy aging atau penuaan sehat dalam pernikahan tidak hanya berkaitan dengan kondisi fisik, tetapi juga menyangkut kesehatan mental, emosional, dan spiritual pasangan. 

Banyak pasangan lansia tampak harmonis di mata sosial, namun sebenarnya menyimpan luka batin yang tidak pernah diselesaikan.

"Banyak pasangan yang tampak baik-baik saja di luar, tapi sebenarnya memendam ketidakbahagiaan bertahun-tahun. Ini seperti bom waktu. Jika tidak dihadapi secara nyata dan dicari solusinya, konflik akan menggerogoti hubungan secara perlahan," lanjut Imran.

Baca Juga: 6 Minyak Goreng Lebih Sehat Pengganti Sawit untuk Kesehatan Jantung dan Tubuh

Gray Divorce dan Fase Transisi Besar Kehidupan

Gray divorce sering kali muncul pada fase transisi besar, seperti pensiun atau empty nest syndrome, ketika anak-anak telah dewasa dan meninggalkan rumah. Pada fase ini, pasangan kembali berhadapan satu sama lain tanpa distraksi peran sebagai orang tua.

Bagi banyak pasangan, momen ini justru menjadi titik refleksi. Pertanyaan tentang makna hubungan, kebahagiaan personal, dan tujuan hidup kembali mengemuka. 

Jika hubungan selama ini hanya bertahan demi anak atau kewajiban sosial, maka ketidakharmonisan yang terpendam akan terasa semakin nyata.

Kondisi ini juga diperparah oleh perubahan peran, seperti berhentinya aktivitas kerja, perubahan kesehatan, menopause, atau ketergantungan fisik pada pasangan. Tanpa komunikasi yang sehat, perubahan ini dapat memicu jarak emosional yang semakin lebar.

Data Global: Perceraian Lansia Terus Meningkat

Fenomena gray divorce bukan terjadi secara tiba-tiba. Penelitian dalam The Journals of Gerontology yang dipimpin oleh Susan Brown, profesor sosiologi di Bowling Green State University, menunjukkan lonjakan signifikan angka perceraian lansia dalam beberapa dekade terakhir.

Pada 1990, hanya sekitar 8,7 persen perceraian melibatkan pasangan berusia 50 tahun ke atas. Namun pada 2019, angka tersebut melonjak drastis menjadi 36 persen. Generasi Baby Boomers (kelahiran 1946–1964) menjadi kelompok yang paling dominan dalam statistik ini.

Susan Brown menjelaskan bahwa gray divorce sering kali bukan disebabkan konflik besar, melainkan karena pasangan merasa telah tumbuh ke arah yang berbeda seiring waktu.

Perubahan Sosial dan Ekonomi Dorong Gray Divorce

Ada sejumlah faktor struktural yang membuat fenomena gray divorce semakin umum. Salah satunya adalah dampak revolusi perceraian pada era 1970-an, ketika perceraian menjadi lebih diterima secara sosial dan lebih mudah secara hukum. Pada masa itu, perempuan juga memperoleh lebih banyak hak, termasuk kebebasan finansial.

Dengan semakin banyaknya perempuan yang mandiri secara ekonomi, pilihan untuk meninggalkan pernikahan yang tidak membahagiakan menjadi lebih terbuka. 

Selain itu, banyak pasangan yang telah bercerai di usia muda kemudian menikah kembali, namun pernikahan kedua cenderung lebih rentan.

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah meningkatnya harapan hidup. Jika pada 1960 rata-rata usia harapan hidup hanya sekitar 70 tahun, kini angka tersebut meningkat signifikan. 

Dengan hidup yang lebih panjang, bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia selama puluhan tahun lagi terasa semakin berat, terutama ketika kualitas hubungan sudah menurun.

Komunikasi Jujur Jadi Kunci Pencegahan

Imran menekankan bahwa komunikasi yang jujur dan terbuka merupakan fondasi utama dalam mencegah perceraian di usia matang. Konflik yang dipendam justru akan memperbesar jarak emosional.

"Jangan menunda pembicaraan penting. Bicarakan ketidaknyamanan, kekecewaan, atau perbedaan dengan cara yang sehat. Dengarkan pasangan untuk memahami, bukan sekadar menunggu giliran membalas," ujarnya.

Komunikasi yang sehat tidak hanya soal berbicara, tetapi juga kemampuan mendengar dengan empati. Pasangan perlu belajar mengekspresikan kebutuhan tanpa saling menyalahkan, serta memahami bahwa perubahan adalah bagian alami dari perjalanan hidup.

Baca Juga: Risiko Naik Drastis! Minuman Harian Ini Diam-Diam Picu Stroke

Menghidupkan Kembali Romantisme di Usia Senja

Selain komunikasi, Kemenkes juga menyarankan pasangan untuk menciptakan kembali kebersamaan setelah anak mandiri. 

Aktivitas sederhana seperti menekuni hobi bersama, berolahraga ringan, atau terlibat dalam kegiatan sosial dapat memberi makna baru dalam hubungan.

Romantisme di usia senja tidak selalu harus diwujudkan dalam bentuk besar. Kehadiran emosional, perhatian kecil, dan kebiasaan berbagi cerita justru menjadi fondasi penting untuk menjaga kelekatan emosional.

Peran Kesehatan Mental dan Spiritual

Kesehatan mental dan spiritual juga memegang peranan besar dalam menjaga keutuhan pernikahan lansia. Imran menilai, aktivitas spiritual bersama dapat memperkuat ikatan batin pasangan.

"Melihat pasangan sebagai amanah, bukan beban, akan mengubah cara kita bersikap. Ibadah bersama, doa, atau refleksi spiritual membantu pasangan lebih sabar dan empatik," jelasnya.

Selain itu, kesadaran diri atau mindfulness penting untuk membantu pasangan mengelola emosi di tengah perubahan besar, seperti pensiun atau penurunan kondisi kesehatan. 

Dengan kesadaran diri yang baik, pasangan dapat merespons konflik dengan lebih tenang dan rasional.

Menjadi Tim dalam Proses Menua

Dalam fase lanjut usia, pasangan diharapkan mampu memosisikan diri sebagai satu tim. Menyusun tujuan bersama, mulai dari rencana pensiun, pengelolaan keuangan, hingga aktivitas di masa tua, dapat memberi arah dan rasa kebersamaan yang baru.

Saling menghormati, memberi ruang bagi pasangan untuk berkembang, serta menerima perubahan fisik dan emosional menjadi kunci agar pernikahan tetap sehat. Ketika konflik terasa buntu, mencari bantuan profesional bukanlah tanda kegagalan.

"Konseling bukan tanda kegagalan, tetapi bentuk tanggung jawab untuk merawat hubungan. Bahkan di usia senja, relasi tetap bisa diperbaiki dan disembuhkan," ujar Imran.

Gray Divorce: Antara Risiko dan Kesempatan Baru

Meski membawa dampak emosional dan finansial yang besar, terutama karena terjadi mendekati masa pensiun, gray divorce juga dipandang sebagian pihak sebagai awal babak baru kehidupan yang lebih jujur dan bermakna. Namun, Kemenkes menekankan bahwa pencegahan tetap menjadi pilihan terbaik.

Dengan komunikasi terbuka, kesadaran emosional, serta kemauan untuk tumbuh bersama, pernikahan di usia senja tidak harus berakhir dengan perpisahan. 

Sebaliknya, fase ini justru dapat menjadi masa pendewasaan hubungan, di mana pasangan saling menemani dengan lebih utuh dan autentik.

Fenomena gray divorce menjadi pengingat bahwa kebahagiaan dalam pernikahan bukan sesuatu yang otomatis, melainkan perlu dirawat secara sadar, bahkan, dan terutama, setelah puluhan tahun bersama.

Mau Diskusi Project Baru?

Contact Us