Writer: Raodatul - Jumat, 19 Desember 2025 11:37:19
FYPMedia.id - Pemerintah kembali menunjukkan respons cepat dalam menghadapi dampak bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Kali ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi memberikan relaksasi kewajiban perpajakan bagi wajib pajak yang terdampak bencana alam di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sepanjang tahun 2025.
Kebijakan strategis ini tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-251/PJ/2025 yang ditetapkan pada 15 Desember 2025.
Dalam beleid tersebut, DJP secara resmi menetapkan rangkaian bencana alam, mulai dari banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, hingga gempa bumi, sebagai keadaan kahar (force majeure).
Penetapan status force majeure ini menjadi dasar hukum kuat bagi DJP untuk menghapus sanksi administratif perpajakan, sekaligus memberikan perpanjangan waktu pelaporan dan pembayaran pajak bagi wajib pajak di wilayah terdampak.
Penghapusan Denda Pajak Berlaku untuk Kewajiban Akhir 2025
Dalam keputusan tersebut, DJP menegaskan bahwa wajib pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat berhak memperoleh penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan kewajiban perpajakan.
"Kepada wajib pajak yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di wilayah Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, diberikan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan," tulis keputusan tersebut, dikutip dari detikcom, Jumat (19/12/2025).
Penghapusan sanksi ini berlaku untuk kewajiban perpajakan yang jatuh tempo dalam periode 25 November 2025 hingga 31 Desember 2025. Artinya, keterlambatan yang terjadi akibat bencana tidak akan dikenai denda maupun bunga.
Adapun jenis kewajiban perpajakan yang mendapatkan relaksasi meliputi:
- Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa
- Penyampaian SPT Tahunan
- Pembayaran atau penyetoran pajak
- Pembuatan Faktur Pajak
Langkah ini dinilai sangat krusial, mengingat banyak wajib pajak kehilangan akses usaha, dokumen, hingga infrastruktur akibat bencana.
Baca Juga: DJP Blokir 107 Rekening: Aksi Tegas Tagih Tunggakan Pajak Rp 33,9 Miliar
Perpanjangan Waktu hingga 30 Januari 2026
Tak hanya menghapus denda, DJP juga memberikan perpanjangan batas waktu pemenuhan kewajiban perpajakan. Wajib pajak diberi kesempatan hingga 30 Januari 2026 untuk:
- Menyampaikan SPT Masa dan Tahunan
- Melakukan pembayaran atau penyetoran pajak
Sementara itu, Faktur Pajak untuk Masa Pajak November dan Desember 2025 dapat dibuat paling lambat 30 Januari 2026.
Kebijakan ini memberikan ruang pemulihan yang realistis bagi pelaku usaha dan masyarakat yang masih berjuang memulihkan kondisi ekonomi pascabencana.
STP Tidak Diterbitkan, Denda Dihapus Otomatis
DJP menegaskan bahwa penghapusan sanksi administratif dilakukan dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) maupun STP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
"Penghapusan sanksi administratif dilakukan dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) dan/atau STP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)," jelas DJP dalam keputusan tersebut.
Bahkan, jika STP terlanjur diterbitkan sebelum kebijakan ini berlaku, DJP memastikan sanksi tersebut akan dihapus secara jabatan.
"Dalam hal atas sanksi administratif telah diterbitkan, kepala kantor wilayah DJP menghapuskan sanksi administratif dimaksud secara jabatan," lanjut keterangan tersebut.
Langkah administratif ini memastikan bahwa wajib pajak tidak perlu mengajukan permohonan tambahan untuk mendapatkan penghapusan sanksi.
Berlaku Juga untuk Permohonan Keberatan dan Pajak PBB
Relaksasi ini tidak berhenti pada pelaporan dan pembayaran pajak semata. DJP juga memperpanjang batas waktu pengajuan berbagai permohonan perpajakan yang semula jatuh tempo di periode bencana, hingga 30 Januari 2026.
Permohonan yang dimaksud antara lain:
- Keberatan pajak
- Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi
- Pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar
- Permohonan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dengan demikian, wajib pajak tetap mendapatkan hak administratifnya tanpa terhambat kondisi force majeure.
Baca Juga: Relaksasi KUR Terdampak Banjir Sumatera: Cicilan Nol Persen hingga 3 Tahun
Status Wajib Pajak Aman, Tidak Dicabut
Dalam kebijakan ini, DJP juga memberikan kepastian hukum tambahan. Keterlambatan penyampaian SPT akibat bencana tidak akan dijadikan dasar untuk:
- Pencabutan status Wajib Pajak Kriteria Tertentu
- Penolakan permohonan penetapan status tersebut
Hal ini penting, terutama bagi pelaku usaha yang selama ini patuh dan memiliki rekam jejak kepatuhan perpajakan yang baik.
Bencana Alam dan Dampak Ekonomi di Sumatera
Sepanjang 2025, wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mengalami sejumlah bencana alam signifikan, mulai dari banjir besar hingga gempa bumi.
Dampak bencana ini tidak hanya menghancurkan permukiman, tetapi juga melumpuhkan aktivitas ekonomi, UMKM, dan sektor perdagangan.
Dalam konteks tersebut, relaksasi pajak dinilai sebagai stimulus fiskal non-tunai yang efektif untuk menjaga keberlangsungan usaha dan mencegah tekanan tambahan pada masyarakat terdampak.
Penetapan keadaan kahar ini juga menegaskan kehadiran negara dalam situasi darurat, tidak hanya melalui bantuan sosial dan infrastruktur, tetapi juga melalui kebijakan fiskal yang adaptif.
Sinyal Kuat Keberpihakan Negara
Kebijakan penghapusan sanksi pajak ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah memahami realitas di lapangan. Dalam kondisi bencana, kepatuhan pajak tidak bisa dipisahkan dari kemampuan ekonomi wajib pajak.
Dengan menghapus denda dan memberikan perpanjangan waktu, DJP memberikan ruang bernapas bagi masyarakat untuk fokus pada pemulihan tanpa dibayangi sanksi administratif.
Ke depan, kebijakan ini diharapkan dapat menjadi model penanganan fiskal adaptif saat bencana alam melanda wilayah lain di Indonesia.
Kesimpulan
Relaksasi pajak bagi wajib pajak terdampak bencana di Sumatera bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan langkah strategis dan berempati dari negara.
Dengan penghapusan sanksi, perpanjangan waktu, serta jaminan status wajib pajak, DJP memberikan kepastian hukum sekaligus dukungan nyata bagi pemulihan ekonomi pascabencana.
Bagi wajib pajak di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, kebijakan ini menjadi angin segar di tengah masa sulit, sebuah bukti bahwa negara hadir saat rakyatnya membutuhkan.