FYP
Media
Memuat Halaman...
0%
UU Perkawinan Digugat Lagi, MK Diminta Legalkan Nikah Beda Agama

News

UU Perkawinan Digugat Lagi, MK Diminta Legalkan Nikah Beda Agama

Writer: Raodatul - Selasa, 23 Desember 2025 11:12:45

UU Perkawinan Digugat Lagi, MK Diminta Legalkan Nikah Beda Agama
Sumber gambar: Ilustrasi Cincin Pernikahan/Freepik

FYPMedia.id - Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, sejumlah warga negara mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tuntutan yang dinilai sensitif sekaligus krusial, yakni melegalkan pernikahan beda agama di Indonesia.

Gugatan ini menambah daftar panjang polemik hukum terkait status perkawinan antarumat beragama yang selama ini berada di wilayah abu-abu hukum. 

Di satu sisi, praktik pernikahan beda agama terus terjadi dan meningkat. Namun di sisi lain, regulasi yang berlaku dinilai belum memberikan kepastian hukum bagi pasangan yang menjalaninya.

Gugatan Terdaftar di MK, Pasal 2 Ayat (1) Jadi Sasaran

Berdasarkan penelusuran dari laman resmi Mahkamah Konstitusi pada Selasa (23/12/2025), gugatan tersebut telah teregistrasi secara resmi dengan nomor perkara 265/PUU-XXIII/2025. 

Permohonan diajukan oleh tiga warga negara, yakni Henoch Thomas, Uswatun Hasanah, dan Syamsul Jahidin.

Para pemohon menggugat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang selama ini menjadi dasar penentuan sah atau tidaknya sebuah pernikahan di Indonesia.

Adapun bunyi pasal yang digugat adalah: “(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Menurut para pemohon, ketentuan tersebut dinilai tidak memberikan ruang hukum bagi pasangan yang berasal dari latar belakang agama dan kepercayaan berbeda.

Akibatnya, banyak pasangan menghadapi kesulitan serius dalam pencatatan perkawinan serta pengakuan hukum atas status keluarga mereka.

Baca Juga: Kenali Sanksi Revisi UU ITE Terbaru

Diminta Dihapus atau Diubah, Ini Rumusan Pasal yang Diusulkan

Dalam permohonannya, para pemohon tidak hanya meminta MK membatalkan pasal tersebut, tetapi juga mengajukan rumusan baru sebagai alternatif solusi konstitusional.

Mereka mengusulkan agar Pasal 2 ayat (1) diubah menjadi:

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, tiap-tiap perkawinan antarpemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda sepanjang telah sah dinyatakan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing itu.”

Rumusan ini diharapkan dapat memberikan pengakuan hukum terhadap pernikahan beda agama tanpa harus menegasikan peran hukum agama masing-masing.

Nikah Beda Agama Disebut Realitas Sosial yang Tak Terbantahkan

Para pemohon menegaskan bahwa perkawinan beda agama merupakan realitas sosial yang tidak bisa diabaikan oleh negara. 

Mereka menilai hukum harus mampu mengikuti dinamika masyarakat, bukan justru menciptakan ketidakpastian dan diskriminasi.

Dalam permohonannya, pemohon turut mengutip data dari Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang menunjukkan tren peningkatan signifikan pernikahan antarumat beragama di Indonesia.

“Bahwa berdasarkan data Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mencatat sebanyak 1.655 pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama dalam periode 2005 hingga Juli 2023, dengan tren yang terus meningkat setiap tahunnya,” ujar pemohon.

Data tersebut dijadikan dasar argumentasi bahwa fenomena nikah beda agama bukanlah kasus sporadis, melainkan fenomena sosial yang berkelanjutan dan membutuhkan respons hukum yang adil serta konstitusional.

Dinilai Timbulkan Ketidakpastian Hukum

Selain dianggap tidak relevan dengan realitas sosial, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan juga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya dalam hal pencatatan perkawinan.

Para pemohon menilai ketentuan tersebut membuat pasangan beda agama berada dalam posisi rentan, karena perkawinan mereka sering kali tidak diakui secara administratif, meskipun telah dilakukan secara sah menurut keyakinan masing-masing.

Kondisi ini berdampak luas, mulai dari persoalan status hukum anak, hak waris, administrasi kependudukan, hingga perlindungan hukum dalam rumah tangga.

Baca Juga: Aturan Baru! Bahlil Tetapkan Denda Serobot Hutan Tambang hingga Rp6,5 Miliar/Ha

SEMA 2/2023 Dinilai Menutup Seluruh Celah Hukum

Dalam permohonannya, para pemohon juga menyoroti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang dinilai semakin mempersempit ruang hukum bagi pasangan beda agama.

SEMA tersebut secara tegas melarang hakim mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

“Bahwa dengan adanya SEMA No 2 Tahun 2023, seluruh ruang hukum yang sebelumnya tersedia melalui mekanisme penetapan Pengadilan Negeri telah tertutup. Sebelum terbitnya SEMA ini, masih terdapat cara untuk melakukan pencatatan perkawinan antar agama melalui penetapan pengadilan. Namun, dengan berlakunya SEMA No 2 Tahun 2023, tidak ada lagi kemungkinan bagi perkawinan antar-agama mencatatkan perkawinannya melalui penetapan pengadilan,” ujarnya.

Menurut para pemohon, kebijakan tersebut semakin memperparah ketidakpastian hukum dan justru bertentangan dengan prinsip perlindungan hak konstitusional warga negara.

Tegaskan Tidak Memaksa Hakim, Hanya Minta Tak Ditolak Mentah-Mentah

Menariknya, para pemohon menegaskan bahwa mereka tidak meminta MK memerintahkan pengadilan negeri untuk selalu mengabulkan permohonan nikah beda agama. Yang mereka minta adalah kejelasan norma hukum agar permohonan tersebut tidak langsung ditolak hanya karena tafsir Pasal 2 ayat (1).

“Bahwa pemohon tidak bermaksud meminta Mahkamah Konstitusi untuk mewajibkan pengadilan negeri mengabulkan setiap permohonan penetapan pencatatan perkawinan antaragama, melainkan menegaskan agar pengadilan tidak menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan melarang pencatatan perkawinan antaragama,” ujarnya.

Dengan kata lain, pemohon menuntut kepastian hukum dan keadilan prosedural, bukan legalisasi tanpa batas.

Isu Sensitif, Putusan MK Akan Berdampak Luas

Gugatan ini dipastikan akan memicu perdebatan panjang, mengingat isu nikah beda agama menyentuh ranah hukum, agama, sosial, dan politik secara bersamaan. 

Putusan MK nantinya berpotensi membawa dampak besar, tidak hanya bagi pasangan beda agama, tetapi juga bagi sistem hukum perkawinan nasional.

MK sendiri sebelumnya telah beberapa kali menangani permohonan serupa, namun selalu menekankan bahwa hukum perkawinan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan hukum agama. Meski demikian, dinamika sosial yang terus berkembang membuat isu ini kembali mengemuka.

Kini, publik menanti bagaimana Mahkamah Konstitusi akan menyikapi gugatan ini. Apakah MK akan mempertahankan norma lama, atau membuka ruang interpretasi baru demi menjawab kebutuhan hukum masyarakat yang semakin majemuk.

Satu hal yang pasti, gugatan ini kembali menegaskan bahwa perdebatan soal nikah beda agama belum selesai, dan masih menjadi tantangan besar dalam upaya menyeimbangkan nilai agama, hak konstitusional warga negara, serta realitas sosial di Indonesia.

Mau Diskusi Project Baru?

Contact Us