FYP
Media
Memuat Halaman...
0%
Dosen UNM Jadi DPO Kasus Pelecehan Mahasiswa, Polisi Didesak Bertindak Tegas

News

Dosen UNM Jadi DPO Kasus Pelecehan Mahasiswa, Polisi Didesak Bertindak Tegas

Writer: Raodatul - Selasa, 23 Desember 2025 11:38:04

Dosen UNM Jadi DPO Kasus Pelecehan Mahasiswa, Polisi Didesak Bertindak Tegas
Sumber gambar: Foto: Ilustrasi pelecehan (Getty Images/Favor_of_God)

FYPMedia.id Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang dosen Universitas Negeri Makassar (UNM) kembali menyita perhatian publik. 

Seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FIS-H) berinisial K kini resmi masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) setelah menghilang usai ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Selatan. 

Perkembangan ini memicu sorotan tajam terhadap penegakan hukum, sekaligus membuka kembali diskursus tentang perlindungan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Penetapan K sebagai buronan terjadi setelah yang bersangkutan mangkir dalam proses pelimpahan perkara ke kejaksaan (tahap II). Padahal, sebelumnya K sempat menjalani penahanan di Polda Sulsel pada pertengahan 2025. Namun, status penahanannya ditangguhkan dengan alasan kesehatan.

"Ditangguhkan (penahanannya). Dia sakit," ujar Kasubdit Renakta Ditreskrimum Polda Sulsel Kompol Zaki Sungkar, dikutip dari detikSulsel, Minggu (21/12/2025).

Hingga kini, polisi belum mengungkap secara rinci sejak kapan penangguhan penahanan tersebut diberlakukan, maupun pengawasan yang dilakukan selama masa penangguhan. Fakta bahwa tersangka bisa menghilang justru menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat.

Kabur Saat Proses Hukum Berjalan

Penyidik baru menyadari K tidak berada di tempat ketika akan dilakukan pelimpahan ke Kejaksaan Negeri Makassar. Upaya penjemputan ke alamat yang bersangkutan di Kabupaten Bone pun tidak membuahkan hasil.

"Mau tahap 2 dia tidak datang, (lalu) dijemput (penyidik) tidak ada di Bone," kata Zaki Sungkar.

Situasi tersebut mendorong kepolisian menerbitkan surat DPO secara resmi. Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Didik Supranoto, membenarkan bahwa status buron terhadap tersangka telah diberlakukan sejak pertengahan Desember 2025.

"Iya betul, (surat DPO terbit) tertanggal 19 Desember 2025," ujar Didik, Senin (22/12/2025).

Surat DPO tersebut tercatat dengan nomor DPO/01/XII/RES.1.24./2025/Ditres PPA dan PPO, menandai bahwa aparat kini melakukan pencarian aktif terhadap tersangka.

Baca Juga: UNAND Gelar PKM Tanggap Bencana DIKTI di Pesisir Selatan, Fokus Layanan Kesehatan dan Trauma Healing

LBH Makassar Pertanyakan Keseriusan Aparat

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar selaku pendamping hukum korban menilai kaburnya tersangka sebagai alarm serius dalam penanganan kasus kekerasan seksual. 

Pendamping korban, Mirayati Amin, menyampaikan keprihatinannya atas lemahnya kontrol terhadap tersangka yang masih berada dalam proses hukum.

"Berdasarkan informasi yang kami terima dari penyidik Polda Sulsel, setelah dua kali dipanggil oleh penuntut umum Kejaksaan Negeri Makassar, tersangka mengaku sakit dan pulang ke kampung halaman di Kabupaten Bone," ungkap Mirayati.

Namun setelah itu, komunikasi dan keberadaan tersangka tidak lagi terlacak.

"Namun, setelahnya tidak ada informasi yang diterima oleh penyidik. Bahkan hingga hari ini, keberadaan tersangka tidak diketahui, baik oleh pihak keluarga maupun penasehat hukumnya," sambungnya.

LBH Makassar menilai, situasi ini berpotensi memperburuk trauma korban dan melemahkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.

Jejak Kasus: Modus Nilai dan Tekanan Akademik

Kasus dugaan pelecehan seksual ini disebut terjadi sejak Mei 2024 di rumah pribadi tersangka di Kabupaten Gowa. Namun, perkara baru mencuat ke ruang publik pada pertengahan 2025 setelah korban memberanikan diri melapor.

Ketua BEM FIS-H UNM, Fikran Prawira, mengungkapkan bahwa korban mengalami pelecehan berulang.

"Info yang didapatkan mulai dari bulan Mei tahun lalu. Yang disampaikan kepada kami ada tiga kali aksi pelecehannya," ujar Fikran kepada wartawan, Rabu (19/2/2025).

Menurut Fikran, pelaku diduga memanfaatkan relasi kuasa sebagai dosen. Modus yang digunakan adalah menawarkan bantuan penyelesaian ujian akhir semester dengan mengajak korban ke rumah pelaku.

"Jadi informasi yang kami dapatkan, ingin memberikan ajakan untuk melanjutkan menyelesaikan ujian akhir semesternya di rumah yang bersangkutan (pelaku)," kata Fikran.

Tak berhenti di situ, korban juga disebut mengalami intimidasi akademik.

"Ketika korban melawan atau melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan terduga pelaku maka akan diberikan nilai error, itu laporan dari korban," imbuhnya.

Baca Juga: UU Perkawinan Digugat Lagi, MK Diminta Legalkan Nikah Beda Agama

Dampak Psikologis dan Trauma Korban

Akibat peristiwa tersebut, korban dilaporkan mengalami trauma mendalam. Setiap kali mengingat atau membicarakan kejadian, korban menunjukkan respons fisik yang signifikan.

"Kondisi korban sampai sekarang trauma karena setiap membahas permasalahan itu, badan dan seluruh tubuhnya bergetar," ungkap Fikran.

Meski demikian, korban masih tercatat sebagai mahasiswa aktif. Kondisi ini menunjukkan tekanan psikologis yang kerap dialami korban kekerasan seksual di lingkungan akademik, yang sering kali harus tetap melanjutkan aktivitas di tengah proses hukum yang berlarut-larut.

Kekerasan Seksual di Kampus dan Tanggung Jawab Institusi

Kasus dosen UNM ini menambah daftar panjang dugaan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Publik menilai, kampus tidak boleh hanya bersikap normatif, tetapi harus hadir secara konkret dalam melindungi korban, mendukung proses hukum, dan memastikan lingkungan belajar yang aman.

Penetapan tersangka sebagai DPO juga memunculkan kritik soal penangguhan penahanan dalam kasus kekerasan seksual. 

Banyak pihak menilai, kebijakan tersebut harus dilakukan secara sangat ketat dengan pengawasan maksimal, mengingat potensi tersangka untuk melarikan diri.

Desakan Penangkapan dan Kepastian Hukum

Hingga kini, Polda Sulsel menyatakan masih melakukan pencarian intensif terhadap tersangka K. Aparat juga menyebut akan berkoordinasi dengan jajaran kepolisian di daerah lain jika diperlukan.

Kasus ini menjadi ujian serius bagi penegakan hukum di Sulawesi Selatan, khususnya dalam perkara kekerasan seksual yang melibatkan relasi kuasa. Bagi korban, kepastian hukum bukan sekadar proses formal, melainkan bentuk keadilan yang menentukan pemulihan trauma dan masa depan mereka.

Publik kini menanti langkah tegas aparat: menangkap tersangka, menuntaskan proses hukum, dan memastikan tidak ada ruang aman bagi pelaku kekerasan seksual, terlebih di dunia pendidikan.

Mau Diskusi Project Baru?

Contact Us