FYP
Media
Memuat Halaman...
0%
Perang Saudara Dorong Lonjakan Besar Produksi Narkoba Ilegal Myanmar

News

Perang Saudara Dorong Lonjakan Besar Produksi Narkoba Ilegal Myanmar

Writer: Raodatul - Selasa, 09 Desember 2025 08:00:00

Perang Saudara Dorong Lonjakan Besar Produksi Narkoba Ilegal Myanmar
Sumber gambar: Foto: AFP

FYPMedia.id - Myanmar kembali menjadi sorotan global setelah laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa mengungkap meningkatnya produksi narkoba dalam skala yang mengejutkan. 

Negara yang tengah dilanda perang saudara itu kini disebut sebagai pusat industri narkoba ilegal bernilai miliaran dolar di kawasan Asia.

Situasi ini semakin memperburuk krisis kemanusiaan yang terjadi, sekaligus memperbesar ancaman bagi negara tetangga, terutama Thailand, Laos, dan berbagai wilayah Asia Tenggara. 

Perdagangan narkoba kini bukan hanya masalah kriminal, tetapi sudah menjadi bagian dari struktur pendanaan kelompok bersenjata di tengah konflik berkepanjangan.

Produksi Opium Myanmar Meledak: Tertinggi dalam 10 Tahun

Menurut laporan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) yang dirilis pekan ini, budidaya opium di Myanmar meningkat 17%, mencapai lebih dari 53.000 hektare—angka tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Data tersebut termuat dalam survei lapangan terbaru yang dilakukan UNODC di berbagai wilayah rawan narkoba, terutama di negara bagian Shan dan Kachin.

Dalam laporan itu, Myanmar dikonfirmasi tetap menjadi produsen opium terbesar di dunia, mengalahkan Afganistan yang sebelumnya memegang posisi tersebut. 

Afghanistan kehilangan statusnya sejak pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban pada 2021 yang membuat sebagian besar ladang opium dihentikan.

Kenaikan produksi ini membuat Myanmar kembali menjadi pusat perhatian pada skala internasional. Banyak pihak menilai bahwa lonjakan tersebut terjadi karena struktur pemerintahan yang runtuh, lemahnya penegakan hukum, dan meningkatnya kebutuhan finansial kelompok bersenjata.

Baca Juga: Terungkapnya Aksi 2 Ton Sabu dan 2,3 Kg Heroin oleh Dewi Astutik di 3 Negara

Rekor Baru: 236 Ton Metamfetamin Disita di Asia Timur dan Tenggara

UNODC juga merilis data lain yang tak kalah mengejutkan: Pada tahun 2024, wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara mencatat penyitaan metamfetamin terbesar sepanjang sejarah, yakni 236 ton.

Mayoritas barang haram ini diperkirakan berasal dari laboratorium ilegal di Myanmar, yang tersebar di wilayah pegunungan terpencil dan area konflik yang sulit dijangkau aparat.

Menariknya, UNODC menilai bahwa penyitaan yang meningkat justru menjadi tanda bahwa produksi di dalam negeri telah berkembang pesat. Harga metamfetamin di pasar gelap juga menurun, menandakan suplai berlimpah.

Kartel Tiongkok Kuasai Segitiga Emas

Dalam penjelasan kepada DW, peneliti UNODC untuk Asia Pasifik, Inshik Sim, menegaskan bahwa masalah utama bukan negara Myanmar secara formal, melainkan kelompok kriminal yang beroperasi tanpa kendali pemerintah pusat.

"Saya tidak akan benar-benar mengatakan Myanmar sebagai negara adalah pemasok, tetapi ada kelompok kriminal yang memproduksi dan menyelundupkan metamfetamin dan heroin," ujar Sim.

Kondisi geografis Myanmar juga membuatnya strategis bagi industri narkoba. Negara ini berada di kawasan Segitiga Emas, daerah perbatasan Myanmar–Laos–Thailand yang sejak puluhan tahun dikenal sebagai pusat produksi opium dunia.

Di negara bagian Shan, kartel yang sebagian besar berasal dari Tiongkok beroperasi dengan dukungan para panglima perang lokal. Pemerintah Myanmar hampir tidak memiliki pengaruh di wilayah tersebut, sehingga jaringan kartel mampu membangun laboratorium, jalur distribusi, hingga fasilitas logistik mereka sendiri.

Perang Saudara Mempercepat Pertumbuhan Industri Narkoba

Kudeta militer Myanmar pada 2021 memicu kekacauan besar dan perang saudara yang berlangsung hingga saat ini. Konflik tersebut merusak seluruh struktur ekonomi formal dan melemahkan aparat penegak hukum.

Menurut PBB, kondisi itu justru menciptakan ruang ideal bagi pertumbuhan industri narkoba.

"Karena konflik, ada kebutuhan bagi orang-orang untuk mencari uang, baik itu kelompok bersenjata maupun petani, karena konflik mengacaukan ekonomi… Dan saya pikir budidaya opium adalah salah satu dampaknya," kata Sim.

Sim juga menyebut bahwa produksi metamfetamin telah meningkat jauh sebelum kudeta, tetapi konflik internal mempercepat eskalasinya.

Saat negara lumpuh, kelompok bersenjata membutuhkan suplai dana, senjata, dan logistik. Perdagangan narkoba memberikan solusi instan.

Baca Juga: Bea Cukai Bongkar Industri Narkoba Rumahan di Perumahan Elite: 3 WNA & 21.000 Barang Bukti

Thailand Terbakar: Gelombang Narkoba Myanmar Menyusup Masif

Thailand menjadi negara yang paling merasakan dampak langsung dari ledakan industri narkoba Myanmar. Tahun lalu, Thailand mencatat penyitaan metamfetamin terbesar sepanjang sejarah mereka, termasuk 1 miliar tablet yang diproduksi dari wilayah Myanmar.

Peringatan keras datang dari Thanapon Thanikkun, kepala intelijen Kantor Dewan Pengawas Narkotika Thailand.

"Angka-angka ini adalah peringatan jelas bahwa masalah narkoba tidak hanya berlanjut tetapi kini berkembang sangat cepat," tegasnya.

Ia menyebut bahwa para kartel memanfaatkan jaringan transportasi Thailand yang canggih, mulai dari jalan raya, pelabuhan, hingga bandara, untuk menyebarkan narkoba ke seluruh Asia Tenggara dan pasar internasional.

UNODC juga mengonfirmasi bahwa konsumsi metamfetamin meningkat di Thailand dan negara-negara sekitarnya.

Petani dan Pejuang Sangat Bergantung pada Penjualan Opium

Di sisi lain, situasi di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat lokal juga turut terlibat karena faktor ekonomi. Banyak petani tidak lagi memiliki pilihan selain menanam poppy karena harga tinggi dan risiko yang lebih kecil dibanding menanam tanaman pangan.

Wakil ketua Organisasi Pemuda Pa-O, Khun Oo, menjelaskan bagaimana kelompok bersenjata mendanai operasi mereka:

"Mereka [kelompok bersenjata] membutuhkan senjata, sumber daya manusia, dan uang, jadi inilah cara mereka mendapatkannya, melalui perdagangan narkoba," katanya.

Ia juga menggambarkan bagaimana petani semakin terdorong menanam opium: "Dulu, mereka masih bisa bertani tanaman lain," jelasnya,  "mereka tidak punya pilihan" selain bergantung pada opium saat ini.

Harga pembelian dari penyelundup meningkat drastis. Para penyelundup menawarkan hingga USD 500 (Rp8,34 juta) per kilogram opium mentah, lebih dari dua kali lipat dibanding sebelum kudeta. Dengan insentif besar seperti ini, banyak petani memilih terlibat demi bertahan hidup.

Baca Juga: Kasus Narkoba Onad: Polisi Sebut Korban Penyalahgunaan, 3 Orang Diamankan!

Narkoba Myanmar Menyebar ke Jepang, Australia, Afrika, dan Eropa

Jalur perdagangan narkoba Myanmar tidak hanya terbatas pada Asia Tenggara. Setelah keluar dari Myanmar melalui Laos dan Thailand, narkoba tersebut menyebar hingga ke Jepang, Australia, dan bahkan Afrika serta Eropa.

Kepolisian Federal Australia memperkirakan bahwa 70% metamfetamin kristal di negara mereka berasal dari Myanmar.

Sim menjelaskan bahwa Tiongkok tetap menjadi pasar utama heroin Myanmar, tetapi jalur baru mulai bermunculan.

UNODC mencatat:

  • penyitaan heroin dan metamfetamin di timur laut India meningkat,
  • penyelundupan heroin Myanmar ditemukan di Nigeria,
  • dan temuan kecil tetapi signifikan muncul di Eropa.

"Kami sebelumnya tidak melihat aliran perdagangan heroin seperti ini... Namun sekarang kami melihat aliran ke barat juga terjadi," kata Sim.

Ini menunjukkan bahwa kartel Myanmar tengah memperluas pasar hingga ke benua-benua baru.

Kesimpulan

Lonjakan produksi narkoba Myanmar bukan sekadar isu domestik, ini adalah krisis internasional yang mengancam stabilitas Asia dan dunia. 

Kombinasi antara perang saudara, runtuhnya ekonomi, lemahnya hukum, dan keterlibatan kartel transnasional menjadikan Myanmar titik utama suplai narkoba global.

Dengan meningkatnya penyelundupan, terpuruknya ekonomi, kebutuhan kelompok bersenjata, dan akses pasar internasional yang makin luas, Myanmar kini berada dalam situasi yang semakin sulit untuk dihentikan tanpa intervensi global.

Mau Diskusi Project Baru?

Contact Us