FYP Media – Dalam beberapa tahun terakhir, ulat Jerman (Zophobas morio) mulai naik daun sebagai komoditas bernilai tinggi. Tidak hanya digunakan sebagai pakan hewan, serangga yang dikenal juga dengan sebutan superworm ini kini menjadi bahan baku potensial untuk berbagai produk olahan, mulai dari pakan ternak, kosmetik, hingga pangan alternatif tinggi protein.
Perkembangan tren ini membuka peluang bisnis baru bagi pelaku UMKM dan peternak muda yang ingin terjun ke sektor agribisnis modern.
1. Permintaan Pasar Terus Meningkat
Ulat Jerman memiliki keunggulan dibandingkan ulat Hongkong, yaitu ukuran tubuh yang lebih besar, daya tahan tinggi, dan kandungan protein yang mencapai 50–60%. Tak heran jika permintaan terhadap komoditas ini terus meningkat, baik untuk kebutuhan pakan burung, reptil, ikan hias, maupun hewan ternak.
Menurut data komunitas peternak serangga di Indonesia, harga ulat Jerman pada 2025 berada di kisaran Rp70.000–Rp100.000 per kilogram untuk skala eceran, tergantung kualitas dan ukuran. Sementara permintaan dari pet shop dan penangkar hewan eksotis terus bertambah.
2. Bisnis yang Mudah Dikelola
Salah satu alasan bisnis ulat Jerman diminati adalah karena modal awalnya relatif kecil dan proses budidayanya mudah. Peternak hanya membutuhkan wadah box, dedak, serta limbah organik seperti sayuran untuk pakan. Dalam waktu sekitar 2–3 bulan, ulat bisa dipanen dan dijual kembali.
“Budidaya ulat Jerman cocok untuk pemula karena tidak butuh lahan luas dan perawatannya sederhana. Yang penting jaga suhu dan kelembapan,” ujar salah satu peternak di Bogor.
Selain itu, ulat Jerman juga memiliki siklus hidup panjang dan tingkat kematian rendah, membuatnya lebih stabil dibanding jenis ulat lain.
3. Potensi Produk Olahan Bernilai Tambah
Kini, banyak pelaku usaha yang tak hanya menjual ulat hidup, tetapi juga mengembangkan produk turunan bernilai tambah, seperti:
-
Tepung ulat Jerman, bahan baku pakan ternak tinggi protein.
-
Snack dan biskuit berbasis protein serangga untuk manusia.
-
Produk kosmetik dan suplemen alami karena kandungan asam amino dan kolagen alami di tubuh ulat.
Dengan inovasi ini, pelaku usaha tak hanya bergantung pada pasar pakan hewan, tapi juga bisa menembus pasar pangan dan kesehatan yang pertumbuhannya jauh lebih besar.
4. Dukungan Pemerintah dan Tren Global
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Koperasi & UMKM terus mendorong diversifikasi produk pangan berbasis serangga. Langkah ini sejalan dengan tren global di mana protein alternatif dari serangga mulai dikembangkan untuk mengatasi isu ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan.
Bahkan, di beberapa negara seperti Thailand dan Belanda, tepung ulat Jerman sudah digunakan dalam produk makanan seperti roti, mi, hingga makanan ringan. Indonesia dengan iklim tropisnya memiliki peluang besar untuk ikut bersaing di pasar tersebut.
5. Tantangan Edukasi dan Legalitas
Meski potensinya besar, masih ada tantangan dalam hal edukasi dan regulasi. Banyak masyarakat yang belum terbiasa dengan ide mengonsumsi produk berbasis serangga. Selain itu, standarisasi keamanan pangan dan sertifikasi dari BPOM serta Kementerian Kesehatan masih dalam tahap pengembangan.
Pelaku usaha disarankan untuk terus meningkatkan kualitas budidaya dan menjaga kebersihan agar hasil produksi memenuhi standar internasional.
6. Kesimpulan: Bisnis Masa Depan yang Menguntungkan
Dengan modal terjangkau, perawatan mudah, dan permintaan pasar yang terus naik, budidaya ulat Jerman menawarkan peluang bisnis menjanjikan — baik bagi pemula maupun pelaku usaha yang ingin berinovasi di sektor agribisnis modern.
Apalagi jika digarap dengan konsep produk olahan bernilai tambah, bisnis ini bisa berkembang jauh melampaui sekadar pakan hewan. Ulat Jerman bisa menjadi bagian penting dari ekonomi hijau dan pangan berkelanjutan masa depan. (ra)