FYP Media – Dalam dunia budidaya pakan hewan, dua jenis ulat paling populer di Indonesia adalah ulat Jerman (superworm) dan ulat Hongkong (mealworm). Keduanya dikenal sebagai sumber protein tinggi untuk burung, ikan, dan reptil peliharaan. Namun, banyak calon peternak sering bertanya: mana yang sebenarnya lebih menguntungkan untuk dibudidayakan?
Meski tampak serupa, ulat Jerman dan ulat Hongkong memiliki perbedaan mencolok dalam hal ukuran, kebutuhan perawatan, hingga potensi pasarnya. Berikut ulasan lengkapnya.
1. Ukuran dan Kandungan Nutrisi
Secara fisik, ulat Jerman berukuran lebih besar dibanding ulat Hongkong. Panjangnya bisa mencapai 5–6 cm dengan tubuh lebih tebal dan keras. Sementara ulat Hongkong hanya sekitar 2–3 cm, lebih kecil namun bergerak lebih aktif.
Dari sisi kandungan gizi, keduanya sama-sama tinggi protein, tetapi ulat Jerman sedikit unggul. Dalam 100 gram ulat Jerman terkandung sekitar 19–20 gram protein dan 17% lemak sehat, sedangkan ulat Hongkong memiliki 18 gram protein dengan kadar lemak lebih rendah.
Artinya, ulat Jerman lebih cocok untuk pakan hewan besar seperti reptil atau burung predator, sementara ulat Hongkong lebih ideal untuk hewan kecil seperti lovebird, hamster, atau ikan cupang.
2. Perawatan dan Proses Budidaya
Dari segi perawatan, ulat Hongkong lebih mudah dibudidayakan. Mereka membutuhkan suhu dingin (sekitar 26–28°C) dan media dedak halus yang mudah ditemukan. Selain itu, ulat Hongkong memiliki siklus hidup cepat — sekitar 8–10 minggu dari telur hingga panen.
Sebaliknya, ulat Jerman membutuhkan perhatian lebih, terutama dalam menjaga suhu stabil (28–30°C) dan kelembapan kandang. Siklus hidupnya juga lebih panjang, bisa mencapai 12–14 minggu, namun hasil panennya lebih besar.
Beberapa peternak memilih ulat Jerman karena tingkat kematiannya lebih rendah dan tidak mudah berubah menjadi kepompong sebelum waktunya, sehingga bisa disimpan lebih lama.
3. Harga dan Potensi Pasar
Dari sisi harga jual, ulat Jerman unggul signifikan. Per Oktober 2025, harga ulat Jerman hidup di pasaran mencapai Rp90.000–Rp120.000 per kilogram, sementara ulat Hongkong dijual dengan kisaran Rp40.000–Rp60.000 per kilogram.
Namun, karena permintaan ulat Hongkong lebih luas dan stabil (terutama dari peternak burung kecil), omzet yang dihasilkan bisa tetap tinggi jika skala produksi besar.
Untuk pasar ekspor, ulat Jerman mulai dilirik negara Asia Tenggara karena kandungan gizinya tinggi dan ukuran besar yang disukai pasar reptil. Sementara ulat Hongkong lebih banyak diekspor ke negara-negara dengan industri pakan ikan dan burung hias.
4. Risiko dan Tantangan
Dalam budidaya, ulat Hongkong lebih sensitif terhadap suhu dan kelembapan. Jika lingkungan terlalu lembap, mereka mudah terserang jamur dan mati massal. Sedangkan ulat Jerman lebih tahan terhadap perubahan cuaca, namun membutuhkan pakan tambahan berupa sayuran segar agar tetap tumbuh optimal.
Selain itu, ulat Jerman juga lebih rakus, sehingga biaya pakan bisa lebih tinggi. Tapi keunggulannya, tingkat konversi pakan terhadap berat tubuh juga lebih baik — artinya hasil panen lebih besar dengan risiko kematian lebih rendah.
5. Mana yang Lebih Menguntungkan?
Jika Anda baru memulai usaha budidaya, ulat Hongkong bisa menjadi pilihan tepat karena mudah dirawat dan siklusnya cepat. Namun, jika Anda menargetkan pasar pakan premium atau ekspor, ulat Jerman jauh lebih menguntungkan dalam jangka panjang berkat harga jual yang tinggi dan daya tahan yang kuat.
Banyak peternak profesional kini bahkan menggabungkan keduanya: ulat Hongkong untuk omzet cepat dan ulat Jerman untuk laba besar. Strategi kombinasi ini terbukti membuat bisnis pakan serangga lebih stabil dan berkelanjutan. (ra)