FYPMedia.id – Memasuki momentum tahun – tahun politik membuat suasana hiruk pikuk kampanye politik mulai bergeliat. Ini tampak dari banyaknya berseliweran baliho – baliho bakal calon legislatif, partai politik, dan juga bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden dimana – mana. Banyak dari partai politik yang membuka pendaftaran bakal calon legislatif untuk melenggang menuju Senayan maupun menduduki posisi wakil rakyat di tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi. Namun, perlu diketahui dalam memilih calon wakil rakyat harus mengetahui rekam jejak masing – masing calon. Tidak sedikit dari mereka yang menyampaikan janji – janji yang akan direalisasikan jika terpilih. Tetapi, tidak jarang juga ada yang tidak menepati janji – janji mereka saat berkampanye.
Seperti dikutip dari CNNIndonesia, Jumat (20/10), hasil studi dari para pakar mengungkapkan kecenderungan politikus akan kehilangan kepercayaan di mata masyarakat jika melakukan suatu kebohongan namun bukan berarti mereka akan kehilangan para pemilihnya. Para ilmuwan pun mewanti – wanti soal fenomena gap antara janji politikus dan realisasinya. Penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat dan bukan di negara Indonesia. Studi Ipsos Global Trustworthiness Monitor 2023 mengungkapkan pemerintah menjadi sektor yang paling tidak dipercaya sebesar 45% sementara farmasi jadi paling tinggi dalam hal indeks kepercayaan sebesar 34%. Professor Psikologi Kognitif Ullrich Ecker dan Postdoctoral Research Associate Toby Prike dari The University of Western Australia menjelaskan alasan kebohongan merupakan bagian dari keseharian manusia, tidak hanya politikus. Lebih lanjut, studi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), misalnya mengungkapkan rata – rata seseorang berbohong sebanyak dua kali dalam sehari. Menurut Ecker dan Prike, sebagian besar kebohongan sebenarnya tidak berbahaya dan berfungsi untuk menghindari ketidaknyamanan, membantu orang agar terlihat lebih baik, atau membuat orang lain senang. Namun, kebohongan juga dapat menjadi sesuatu yang jahat dan kejam.
Pada kasus politik, para peneliti menyebut kebohongan sebagai salah satu cara yang digunakan untuk membangun keyakinan palsu dan mengumpulkan dukungan. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa walaupun politikus berbohong kepada masyarakat, mereka tetap tidak akan kehilangan suara pemilihnya. Jurnal karya Ecker dkk tersebut terbit di Jurnal The Royal Society tahun 2017, yang berisi menunjukkan kepada responden di Amerika Serikat soal kebohongan (dan pernyataan benar) yang dibuat oleh Trump menjelang Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016. Penelitian lanjutan dari Ecker, dkk pada tahun 2019 mengonfirmasi hal tersebut.
Secara terpisah, penelitian dari peneliti Psikologi Bella DePaulo dari University of California menyebutkan bahwa kebohongan dari politikus dianggap benar karena hal tersebut merupakan pernyataan yang ingin masyarakat dengar. Lebih lanjut, ia menyatakan kebohongan akan menjadi candu apabila kebohongan tersebut berhasil. Ketika kebohongan berhasil, akan ada rasa untuk membuat ‘lebih menggoda untuk berbohong’. Kebohongan dadpat melekat, meskipun kebohongan tersebut dibantah.
(riz/riy)