FYPMedia.id – Indonesia terus mencatat angka impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang tinggi setiap tahunnya, mencapai 6,5 hingga 7 juta ton.
Data ini diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, dalam acara Minerba Convex di Jakarta International Convention Center (JICC), Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2025).
“Total konsumsi kita 8,6 juta ton per tahun. Kapasitas produksi kita hanya 1,3 juta ton per tahun. Impor kita kurang lebih sekitar 6,5 sampai 7 juta ton,” kata Bahlil, menegaskan besarnya ketergantungan Indonesia terhadap pasokan LPG dari luar negeri.
Konsumsi domestik LPG yang terus meningkat, khususnya untuk keperluan rumah tangga dan industri, menjadi faktor utama tingginya kebutuhan impor.
Padahal, kapasitas produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sebagian kecil, yakni sekitar 15% dari total konsumsi.
Hal ini menimbulkan tantangan besar bagi pemerintah untuk menjaga ketersediaan energi yang stabil sekaligus menekan biaya impor.
Mengapa Impor LPG RI Begitu Tinggi?
Ketergantungan Indonesia pada impor LPG bukan tanpa alasan. Konsumsi nasional yang terus bertumbuh mencapai 8,6 juta ton per tahun, sementara produksi domestik hanya 1,3 juta ton. Artinya, defisit pasokan hampir 7 juta ton setiap tahunnya.
Selain itu, keterbatasan gas alam sebagai bahan baku LPG menjadi kendala utama.
“Sementara gas kita itu untuk bahan baku LPG itu tidak banyak,” ujar Bahlil.
Kondisi ini membuat pemerintah mencari alternatif inovatif untuk menekan kebutuhan impor sambil tetap menjaga ketersediaan energi bagi masyarakat dan industri.
Proyek Gasifikasi Batu Bara Menjadi DME
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG, pemerintah tengah mengembangkan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME).
Teknologi DME diyakini dapat menjadi solusi strategis karena bersifat substitusi LPG yang ramah lingkungan.
Bahlil menekankan, “Ke depan batu bara ini tidak hanya dipakai untuk bahan bakar daripada smelter, atau power plant, tapi juga menjadi substitusi untuk membangun DME. Ini salah satu contoh yang kita akan berikan, kita akan lakukan, untuk bisa kita dorong ke sana.”
Proyek ini sekaligus menjadi upaya hilirisasi batu bara untuk memaksimalkan nilai tambah sumber daya domestik.
DME sendiri dapat digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga maupun industri, sehingga diharapkan bisa menekan angka impor LPG secara signifikan dalam beberapa tahun ke depan.
Tahapan Studi Proyek DME
Feasibility study (FS) terhadap proyek DME saat ini tengah dilakukan oleh perusahaan Danantara, setelah Satgas Hilirisasi menyerahkan 18 dokumen pra-feasibility study (pra-FS) yang memuat rencana industri DME.
“DME sekarang kita sudah serahkan kepada, kan pra-FS-nya kan sudah, FS-nya sekarang lagi dilakukan oleh Danantara sampai selesai,” jelas Bahlil.
Studi kelayakan ini menjadi langkah penting untuk memastikan proyek DME tidak hanya layak secara teknis, tetapi juga efisien secara ekonomi.
Analisis akan mencakup aspek produksi, distribusi, pengelolaan limbah, hingga potensi penciptaan lapangan kerja.
Lokasi dan Investasi Proyek DME
Proyek industri DME rencananya akan dibangun di enam lokasi strategis di Indonesia, yakni Bulungan, Kutai Timur, Kota Baru, Muara Enim, PALI, dan Banyuasin.
Proyek ini memiliki nilai investasi yang fantastis, diperkirakan mencapai Rp164 triliun, sekaligus menciptakan 34.800 lapangan kerja baru.
Investasi besar ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendorong hilirisasi batu bara dan menekan impor LPG, sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.
Dengan adanya proyek ini, Indonesia diharapkan tidak lagi terlalu bergantung pada impor LPG, sekaligus memanfaatkan sumber daya alam domestik secara optimal.
Dampak Proyek DME bagi Ketahanan Energi Nasional
Proyek DME tidak hanya menjadi solusi pengurangan impor LPG, tetapi juga mendorong ketahanan energi jangka panjang.
Dengan memanfaatkan batu bara domestik sebagai bahan baku, Indonesia dapat mengurangi risiko fluktuasi harga energi global dan ketergantungan pada pasokan luar negeri.
Selain itu, DME memiliki karakteristik ramah lingkungan karena emisi yang dihasilkan lebih rendah dibanding LPG konvensional.
Hal ini selaras dengan target pemerintah untuk mendorong energi bersih dan berkelanjutan, sambil tetap memenuhi kebutuhan rumah tangga dan industri.
Tantangan dan Strategi Pemerintah
Meskipun prospeknya menjanjikan, pengembangan DME juga menghadapi sejumlah tantangan.
Salah satunya adalah kesiapan infrastruktur dan distribusi, mengingat DME membutuhkan jaringan pasokan yang berbeda dengan LPG.
Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian ESDM dan Satgas Hilirisasi mendorong kolaborasi dengan perusahaan energi nasional maupun internasional, memastikan teknologi gasifikasi dan produksi DME dapat diterapkan secara efisien.
Selain itu, penyiapan tenaga kerja terampil dan regulasi yang mendukung menjadi fokus utama agar proyek ini berjalan sesuai target.
Bahlil menegaskan, keberhasilan proyek DME akan berdampak luas, tidak hanya pada pengurangan impor, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi lokal melalui penciptaan lapangan kerja dan pengembangan industri terkait.
