FYP Media.ID – Pernah membayangkan harus berangkat kerja sebelum matahari terbit dan pulang saat malam tiba, lalu sebagian besar gaji habis hanya untuk ongkos? Inilah realita yang dijalani ribuan pekerja dari kota penyangga seperti Bekasi yang setiap hari harus menembus kemacetan demi mencari nafkah di Jakarta.
Salah satunya adalah Rina (29), pekerja swasta asal Bekasi yang telah menjalani rutinitas pulang-pergi Bekasi-Jakarta selama hampir 9 tahun. Cerita Rina adalah gambaran nyata betapa beratnya perjuangan para pekerja urban, yang tidak hanya mengorbankan waktu dan tenaga, tetapi juga finansial demi bertahan hidup di tengah mahalnya biaya hidup di Jabodetabek.
PP Bekasi-Jakarta Hampir 9 Tahun: Lelah dan Biaya yang Menguras
Setiap hari, Rina harus meninggalkan rumahnya sebelum pukul 5 pagi demi bisa tiba di kantor yang berada di kawasan Jakarta Pusat tepat waktu. Rutinitas ini bukan hanya menyita energi, tapi juga menekan secara emosional. Bahkan, ia harus pandai-pandai mengatur keuangan karena biaya transportasi yang tidak murah.
“Selama hampir 9 tahun ini saya selalu pulang-pergi kerja. Lelah sih pasti, tapi mau bagaimana lagi,” ujar Rina saat diwawancarai Liputan6.com pada Selasa, 5 Agustus 2025.
Rina mengandalkan transportasi umum seperti Kereta Rel Listrik (KRL) dan TransJakarta. Namun, karena jarak rumah ke stasiun cukup jauh, ia masih harus menggunakan ojek online (ojol) yang biayanya tak bisa dibilang ringan. Dalam sehari, ongkos perjalanan Rina bisa mencapai Rp50.000 hingga Rp65.000. Dalam sebulan, ia harus mengalokasikan Rp1,5 juta hingga Rp2 juta hanya untuk transportasi.
Detail Moda Transportasi Harian Rina dan Biayanya
Transportasi yang digunakan Rina sangat tergantung pada kondisi hari itu. Berikut adalah skema perjalanan harian Rina:
-
Dari rumah ke Stasiun Bekasi: Menggunakan ojol dengan tarif rata-rata Rp37.500.
-
Stasiun Bekasi ke Jakarta Pusat: Menggunakan KRL, tarif Rp3.500 – Rp5.000.
-
Stasiun ke kantor: Ojol lagi dengan tarif sekitar Rp12.000 – Rp14.000.
Kadang, untuk menekan pengeluaran, Rina memilih TransJakarta karena tarifnya hanya Rp3.500 sekali jalan. Jika tidak sedang terburu-buru, ia mengubah rute dan mengandalkan TransJakarta, yang membuat total biaya harian hanya Rp21.000. Namun, waktu tempuh bisa lebih lama.
“Kalau pakai TransJakarta pulang-pergi cuma habis Rp21.000. Tapi kalau telat, ya tetap harus pakai KRL dan ojol,” ungkapnya.
Demi Hemat: Kurangi Jajan, Tidak Nongkrong, Jarang Beli Barang
Dengan pengeluaran transportasi yang tinggi, Rina mengaku harus berhemat di aspek lain. Ia membatasi pengeluaran untuk makan, jajan, hingga kegiatan sosial bersama teman. Bahkan, ia memilih untuk tidak membeli barang-barang yang dianggap tidak mendesak.
“Biasanya saya hemat makan dan jajan. Jarang banget main atau nongkrong. Beli barang juga mikir banget,” katanya sambil tersenyum.
Ingin Dekat Kantor Tapi Tak Bisa: Alasan Kuat Tetap Tinggal di Rumah
Meski tempat kerja jauh dari rumah, Rina belum pernah berpikir untuk indekos atau pindah ke Jakarta. Selain karena biaya hidup di ibu kota yang lebih mahal, ia memilih untuk tetap tinggal bersama ibunya di Bekasi.
“Biaya kos di Jakarta mahal banget, belum lagi makan dan listrik. Lagipula saya tinggal sama mama, jadi harus temani beliau,” kata Rina mantap.
Transportasi Umum Masih Belum Terintegrasi: Beban Ongkos di Akses Awal
Salah satu keluhan utama Rina dan para komuter lainnya adalah soal integrasi transportasi umum. Meski KRL dan TransJakarta relatif terjangkau, akses menuju stasiun atau halte utama seringkali justru memakan biaya besar karena tidak ada transportasi pengumpan (feeder) resmi dengan tarif murah.
“Banyak orang tinggalnya jauh dari stasiun. Harus naik ojek, dan itu mahal. Kalau ada shuttle resmi murah, pasti lebih terbantu,” harap Rina.
Solusi dari Pemerintah Masih Dalam Proses
Direktur Jenderal Integrasi Transportasi Multimoda Kementerian Perhubungan, Risal Wasal, mengakui bahwa biaya transportasi para pekerja di kawasan aglomerasi seperti Jabodetabek sangat tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh biaya tambahan di luar tarif resmi transportasi umum.
“Naik keretanya memang cuma Rp3.500, tapi untuk menuju ke stasiun dan dari stasiun ke kantor, banyak yang harus naik ojek, dan itu yang mahal. Ini yang sedang kami upayakan untuk diperbaiki,” ujar Risal dalam sebuah diskusi media pada Kamis, 31 Juli 2025.
Data: Bekasi Jadi Kota dengan Ongkos Transportasi Tertinggi
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), warga Bekasi mengeluarkan biaya transportasi tertinggi dibanding wilayah lain di Jabodetabek. Berikut adalah data lengkapnya:
-
Bekasi: Rp1.918.142 per bulan
-
Depok: Rp1.802.751 per bulan
-
Jakarta: Rp1.590.544 per bulan
-
Bogor: Rp1.235.613 per bulan
-
Surabaya: Rp1.629.219 per bulan
Artinya, pekerja dari Bekasi seperti Rina harus mengeluarkan sekitar 20% dari penghasilan UMR mereka hanya untuk biaya transportasi. Beban ini menjadi semakin berat jika mereka juga menanggung cicilan atau biaya hidup lainnya.
Harapan Para Pekerja: Transportasi Umum Terjangkau dan Merata
Kasus Rina mencerminkan kebutuhan mendesak akan sistem transportasi yang terintegrasi, terjangkau, dan ramah bagi pekerja dari wilayah penyangga. Keberadaan feeder bus, jalur sepeda, dan pengembangan rute TransJakarta ke pinggiran kota bisa menjadi solusi konkret.
“Kalau semua lebih terhubung, pasti lebih hemat. Kita bisa kerja dengan lebih tenang,” pungkas Rina.
Kesimpulan: Transportasi Jabodetabek Butuh Reformasi Nyata
Cerita Rina hanyalah satu dari ribuan suara hati pekerja urban yang berjuang setiap hari menembus padatnya Ibu Kota. Pengeluaran tinggi untuk transportasi menjadi beban berat yang harus segera dicarikan solusinya.
Dengan integrasi sistem transportasi yang lebih baik, subsidi tepat sasaran, serta dukungan dari pemerintah daerah dan pusat, harapan para pekerja untuk hidup lebih layak bukanlah angan belaka. Pekerja seperti Rina layak mendapatkan akses transportasi publik yang murah, cepat, aman, dan nyaman.