580 Pendaki Dievakuasi dari Everest: Anomali Cuaca Tewaskan 2 Orang & Guncang Himalaya

580 Pendaki Dievakuasi dari Everest

FYP Media.ID – Keindahan Himalaya berubah menjadi neraka putih bagi ratusan pendaki yang terjebak dalam badai salju paling ekstrem dalam dua dekade terakhir. Sedikitnya dua orang pendaki dilaporkan tewas, dan lebih dari 580 orang lainnya berhasil dievakuasi secara dramatis ke Tibet, setelah badai salju ganas melanda lereng timur Gunung Everest.

Biasanya, Oktober adalah bulan terbaik untuk mendaki Everest. Cuaca cerah, suhu bersahabat, dan langit biru menjadi daya tarik pendaki profesional maupun amatir dari seluruh dunia. Namun, tahun ini berbeda—dan sangat mematikan.

Badai Salju Mengejutkan di Lembah Karma

Badai salju mulai menggulung wilayah Lembah Karma, salah satu jalur pendakian indah namun tidak banyak dikenal di lereng timur Gunung Everest, pada malam Jumat, 3 Oktober 2025. Salju turun lebat dan terus bertambah deras sepanjang akhir pekan.

Lembah Karma dikenal sebagai rute yang menawarkan pemandangan menakjubkan dari puncak Everest, namun lokasinya yang terpencil dan kurang infrastruktur membuat evakuasi menjadi tantangan besar.

Menurut media resmi China CCTV, hingga Selasa, 7 Oktober 2025, 580 pendaki bersama 300 pemandu lokal, pawang yak, dan staf pendukung berhasil diselamatkan dan dibawa ke wilayah Qudang dan desa sekitarnya di Tibet.

Operasi Evakuasi Terbesar: Penyelamatan di Ketinggian 4.900 Meter

Kelompok terakhir yang terdiri dari sekitar 10 orang pendaki belum tiba di Qudang, namun telah mencapai titik pertemuan darurat yang dilengkapi dengan pemanas, oksigen, dan perlengkapan medis.

Mereka sempat terdampar di ketinggian lebih dari 4.900 meter, dan berjuang menghadapi suhu ekstrem, salju tebal, serta kekurangan logistik.

Ratusan petugas penyelamat termasuk polisi, pemadam kebakaran, dan relawan lokal dari Tibet dikerahkan dalam operasi penyelamatan lintas negara ini.

“Kami semua adalah pendaki berpengalaman, namun badai ini benar-benar di luar dugaan,” — Chen Geshuang, salah satu pendaki yang selamat.

Anomali Cuaca Ekstrem di Himalaya: Belum Pernah Terjadi

Menurut laporan BBC, para pendaki tidak menduga akan menghadapi badai salju, karena Oktober biasanya adalah musim pendakian terbaik. Namun cuaca berubah drastis.

Seorang pendaki veteran, Dong Shuchang (27), mengatakan bahwa cuaca ekstrem ini belum pernah ia alami, meskipun telah mendaki Himalaya lebih dari selusin kali.

“Beberapa rekan menunjukkan tanda-tanda hipotermia. Kami tidak bisa tidur karena harus membersihkan salju setiap 10 menit agar tenda tidak roboh,” ujar Eric Wen, pendaki lain yang berhasil selamat.

Korban Jiwa: Pendaki Asal Korea Selatan Tewas di Nepal

Sementara itu, di wilayah Nepal, yang terletak di sisi selatan Pegunungan Himalaya, seorang pendaki asal Korea Selatan dilaporkan tewas setelah terkena badai saat mendaki Puncak Mera yang setinggi 6.476 meter.

Pendaki tersebut ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa oleh helikopter penyelamat pada Senin, 6 Oktober 2025, sementara pemandunya berhasil diselamatkan.

“Korban sudah dievakuasi ke rumah sakit di Kathmandu dan keluarga telah diberi bantuan konsuler oleh Kedutaan Korea,” menurut pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Korea Selatan.

Tragedi di Qinghai: 1 Pendaki Meninggal, 137 Dievakuasi

Tak hanya di Everest dan Nepal, cuaca buruk juga menerjang wilayah pegunungan di Provinsi Qinghai, China Barat. Di sana, seorang pendaki meninggal akibat hipotermia dan penyakit ketinggian, dan 137 lainnya harus dievakuasi.

Serangkaian peristiwa ini mempertegas bahwa anomali iklim dan cuaca ekstrem mulai mengubah wajah Himalaya, yang sebelumnya dianggap sebagai ‘ladang permainan’ para petualang, kini berubah menjadi zona bahaya berisiko tinggi.

Golden Week yang Berubah Menjadi Mimpi Buruk

Para pendaki yang terkena badai sebagian besar merupakan bagian dari rombongan yang melakukan perjalanan saat Golden Week, liburan nasional selama 8 hari di China.

Biasanya, ribuan orang memanfaatkan waktu ini untuk bepergian ke tempat-tempat eksotis seperti Tibet dan Himalaya. Namun pada tahun ini, banyak dari mereka malah mendapati diri mereka berjuang untuk bertahan hidup di bawah tenda, di tengah badai yang menggila.

“Kami hampir tidak tidur semalaman. Salju terus turun dan kami harus menyekop tenda agar tidak tertimbun,” kata seorang pendaki kepada Reuters.

Cuaca Ekstrem di Himalaya: Tanda Krisis Iklim?

Para ahli menduga bahwa cuaca aneh ini bisa menjadi indikasi awal dampak dari perubahan iklim terhadap kawasan Himalaya.

Himalaya yang selama ini dikenal memiliki pola musim yang cukup stabil kini menunjukkan anomali pola angin dan curah salju yang lebih berbahaya.

Studi terbaru menunjukkan bahwa suhu rata-rata di Himalaya meningkat lebih cepat dibandingkan wilayah lain di dunia, yang bisa memperparah intensitas badai, longsor, dan banjir di masa depan.

Penutup: Everest Bukan Lagi Sekadar Petualangan

Tragedi yang terjadi di Gunung Everest, Nepal, dan Qinghai adalah peringatan nyata bahwa pendakian ke puncak tertinggi dunia kini tidak lagi sekadar soal persiapan fisik dan logistik, tetapi juga kesiapan terhadap cuaca ekstrem yang bisa berubah dalam hitungan jam.

Untuk para pendaki, operator tur, dan pemerintah setempat, penting untuk memperbarui sistem peringatan dini, memperkuat protokol evakuasi, serta meningkatkan kesadaran akan risiko iklim yang kini menjadi kenyataan nyata di Himalaya.

Karena seperti yang kita lihat minggu ini, petualangan bisa berubah menjadi tragedi dalam sekejap.