FYPMEDIA.ID – Kembali terjadi, video diduga tenaga kerja Indonesia (TKI) yang sedang berada di Myanmar memohon untuk dipulangkan di Indonesia. Video ini tentunya menarik perhatian netizen dan ramai diperbincangkan di media sosial. Pasalnya diduga mereka menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan mengalami tindakan kekerasan, seperti disiksa dan disekap.
Kesebelas WNI dalam video tersebut mengaku keberadaannya di Myawaddy, Myanmar dan sudah berada di sana lebih dari dua minggu. Myawaddy merupakan wilayah yang berada di lokasi konflik bersenjata dan saat ini dikuasai pihak pemberontak. Mengetahui hal ini, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) langsung memonitor video yang beredar tersebut. Untuk kemudian, ditindaklanjuti oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon untuk melakukan komunikasi dengan pemerintah Myanmar.
“KBRI Yangon telah lakukan koordinasi dan komunikasi dengan menindaklanjuti dengan otoritas Myanmar. KBRI juga melakukan komunikasi informal ke jejaring yg berada di Myawaddy.” Ungkap Judha Nugraha selaku Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri.
Berdasarkan video 11 WNI yang disekap, diketahui mereka berasal dari Jawa Barat, yaitu Kabupaten Sukabumi. Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Jejen Nurjanah, mengungkapkan bahwa korban mengalami penipuan pekerjaan yang awalnya akan ditempatkan di Thailand sebagai pelayan bisnis investasi mata uang kripto dengan iming gaji sebesar Rp35 juta/bulan. Namun, para korban justru dibawa ke Myanmar dan menjadi scammer online tanpa digaji.
“Menurut informasi, warga Sukabumi ini awalnya diajak temannya yang sudah bekerja terlebih dahulu di Thailand. Mereka ditawari pekerjaan sebagai admin di sebuah perusahaan, namun tidak di Thailand akan tetapi di daerah Myawaddy Myanmar sebagai scammer online,” tutur Jejen Nurjanah.
Bahkan setelah sekitar seminggu video tersebut beredar, pihak pelaku TPPO meminta tebusan berupa uang sebesar Rp550 juta untuk membebaskan para korban. Nilai tebusan tersebut sudah diinformasikan langsung oleh pihak TPPO kepada keluarga korban. Lawannya tebusan tersebut digunakan sebagai biaya denda penyebrang para korban dari Thailand ke Myanmar.
“Jaringan TPPO meminta tebusan Rp50 juta per orang sehingga totalnya Rp550 juta untuk mempercepat proses pembebasan 11 warga Kabupaten Sukabumi yang disekap mereka,” Kata Jejen.
Kenapa kasus TPPO masih terus ada hingga kini?
Kasus TPPO dapat dikatakan tidak ada habis-habisnya. Meskipun sudah banyak warga Indonesia yang menjadi korban TPPO, tidak menutup alasan untuk bertambahnya korban TPPO di Indonesia. Hal ini seakan tidak ingin berkaca dari kasus-kasus yang pernah terjadi. Sejak tahun 2020 hingga Maret 2034, Kementerian Luar Negeri telah menangani 3.703 WNI yang menjadi korban TPPO dan terlibat scam online (penipuan secara online). Untuk kasus yang terjadi di Myanmar terdapat 107 pengaduan dengan 44 WNI diantaranya telah berhasil kembali ke Indonesia.
Banyak faktor yang melatar belakangi kenapa kasus TPPO masih terus terjadi, diantaranya faktor lingkungan, faktor ekonomi, dan pendidikan. Dapat dikatakan ketiga faktor tersebut saling berkaitan. Ketika mengalami kendala ekonomi, maka seseorang akan berinisiatif untuk mencari pekerjaan. Ketika melihat lingkungan sekitar (tetangga) yang bekerja di luar negeri dan mendapatkan gaji yang lumayan, maka seseorang akan tergiur untuk mendapatkan pekerjaan yang serupa. Namun, karena pendidikan yang kurang mereka akan rawan untuk mengalami penipuan karena hanya berfokus pada gaji yang jumlahnya tidak sedikit.
Kementerian Luar Negeri pun tidak lelah untuk menghimbau kepada masyarakat Indonesia untuk berhati-hati ketika mendapatkan tawaran pekerjaan di luar negeri, tetapi tidak dilengkapi visa kerja resmi dan kontrak kerja yang jelas sebelum berangkat.
“Diimbau para WNI meminta informasi dan prosedur resmi bekerja ke luar negeri melalui Ketenagakerjaan (Kemnaker), BP2MI, atau Dinas Tenaga Kerja setempat,” kata Judha Nugraha.
Berdasarkan data United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), TPPO merupakan kejahatan terbesar ke-3 di dunia. Oleh karena itu, kasus TPPO bukanlah masalah yang dapat disepelekan. Terlebih TPPO dapat melanggar tujuh jenis hak, yaitu hak untuk hidup, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak perempuan, dan hak anak. Maka dari itu, jangan pernah mudah untuk tergiur dengan gaji yang fantastis, tetapi kejelasan pekerjaannya terlalu mudah, seperti tidak membutuh kualifikasi khusus dan pendaftaran yang cenderung aman.