Writer: Raodatul - Sabtu, 08 November 2025
FYPMedia.id- Korea Selatan kembali menunjukkan ketegasannya dalam menangani kasus bullying di sekolah, kali ini melalui kebijakan pendidikan tinggi yang mengguncang publik.
Sebanyak 45 calon mahasiswa gagal masuk ke universitas nasional unggulan hanya karena memiliki catatan kekerasan di sekolah, meskipun banyak di antara mereka memiliki nilai akademik yang luar biasa.
Kebijakan ini menjadi tonggak baru dalam dunia pendidikan Korea Selatan, di mana rekam jejak moral dan karakter siswa kini memiliki bobot sebesar nilai akademik.
SNU dan Universitas Elite Terapkan Aturan Ketat
Mengutip laporan The Korea Herald, data yang diperoleh dari kantor anggota parlemen Rep. Kang Kyung-sook mengungkapkan bahwa enam dari sepuluh universitas nasional unggulan menolak 45 pelamar pada siklus penerimaan tahun 2025 karena memiliki catatan school violence.
“Dua pelamar ditolak oleh Seoul National University (SNU),” tulis laporan itu. Sementara Kyungpook National University (KNU) menolak 22 pelamar, menjadikannya kampus dengan aturan penalti paling ketat di antara universitas lain.
Daftar universitas yang menolak pelamar dengan catatan bullying meliputi:
- Seoul National University (SNU): 2 pelamar
- Pusan National University: 8 pelamar
- Kangwon National University: 5 pelamar
- Jeonbuk National University: 5 pelamar
- Gyeongsang National University: 3 pelamar
- Kyungpook National University: 22 pelamar
Sementara empat universitas lain seperti Chonnam, Jeju, Chungnam, dan Chungbuk National University, belum menerapkan kebijakan ini secara menyeluruh dan hanya mempertimbangkannya pada jalur khusus, seperti penerimaan atlet.
Baca Juga: 3 Film Indonesia Tembus Korea: Saat "Agak Laen" dan Kawan-kawan Siap Go Global
Aturan Baru: Semua Universitas Wajib Tolak Pelaku Kekerasan Mulai 2026
Mulai tahun 2026, seluruh universitas di Korea Selatan diwajibkan mempertimbangkan catatan kekerasan di sekolah sebagai faktor seleksi utama dalam proses penerimaan mahasiswa.
“Ini baru permulaan,” ujar seorang petugas penerimaan universitas yang dikutip dari JoongAng Daily.
“Standarnya akan semakin tinggi, dan para pelaku kekerasan di sekolah diharapkan menanggung tanggung jawab yang lebih besar,” tambahnya.
Aturan ini menandai perubahan besar dalam kebijakan pendidikan Korea Selatan, yang selama ini dikenal sangat kompetitif dan berorientasi pada prestasi akademik semata.
Sanksi Bullying di Korsel, dari Level 1 hingga 9
Korea Selatan memiliki sistem klasifikasi sanksi kekerasan sekolah dalam sembilan level.
- Level 1: Permintaan maaf tertulis
- Level 2–5: Pelanggaran sedang seperti isolasi sosial atau kekerasan verbal
- Level 6–9: Termasuk kekerasan fisik berat dan pengeluaran permanen dari sekolah
Pelanggaran Level 6 ke atas wajib dicatat secara permanen dalam dokumen pendidikan siswa. Catatan inilah yang kini menjadi alasan utama penolakan oleh universitas.
Salah satu universitas paling ketat, Kyungpook National University, menetapkan sistem penalti poin dalam seleksi:
- Minus 10 poin untuk pelanggaran Level 1–3
- Minus 50 poin untuk Level 4–7
- Minus 150 poin untuk Level 8–9 (ekspulsi)
Pihak universitas menyatakan; “Kekerasan sekolah adalah pelanggaran terhadap kepercayaan sosial. Kami percaya universitas memiliki tanggung jawab untuk menjunjung tinggi nilai-nilai komunitas,” tulis pernyataan resmi Kyungpook National University.
Baca Juga: 5 Dampak Psikologis yang Dihadapi Korban Bullying
Langkah Tegas untuk Lindungi Korban dan Ubah Budaya Sekolah
Kebijakan ini lahir dari kesadaran nasional atas efek jangka panjang bullying terhadap korban.
Pemerintah menilai, langkah tegas seperti ini diperlukan untuk memutus rantai kekerasan di lingkungan pendidikan yang selama ini kerap tersembunyi di balik tekanan akademik.
Studi psikologi di Seoul menunjukkan bahwa korban bullying memiliki risiko dua kali lipat mengalami depresi dan gangguan kecemasan dibanding siswa lain.
Dalam beberapa kasus, trauma akibat perundungan bahkan bertahan hingga dewasa dan memengaruhi kemampuan bekerja serta bersosialisasi.
“Korban sering kali kehilangan rasa percaya diri dan menarik diri dari lingkungan sosial,” tulis laporan Journal of Child Psychology and Psychiatry Korea.
Hal ini berdampak langsung pada penurunan motivasi belajar dan kemampuan membentuk hubungan sosial yang sehat.
Selain itu, bullying juga memunculkan dampak ekonomi jangka panjang. Korban yang mengalami gangguan psikologis cenderung mengalami kesulitan dalam mencapai stabilitas pekerjaan, yang pada akhirnya menghambat mobilitas sosial dan produktivitas nasional.
Universitas Keguruan Lebih Tegas: Nol Toleransi
Langkah paling drastis justru datang dari sepuluh universitas keguruan nasional, termasuk Seoul National University of Education dan Gyeongin National University of Education.
Mereka mengumumkan bahwa mulai tahun depan, pelamar dengan catatan kekerasan apa pun, tanpa memandang levelnya, akan didiskualifikasi otomatis.
Langkah ini dipandang sebagai pencegahan dini terhadap munculnya guru-guru masa depan yang memiliki riwayat kekerasan, mengingat guru memiliki peran vital dalam membentuk karakter generasi muda.
Bullying Kini Jadi Faktor Penentu Masa Depan Akademik
Kebijakan baru ini menandai pergeseran nilai besar dalam sistem pendidikan Korea Selatan.
Bila sebelumnya nilai ujian dan prestasi akademik menjadi tolok ukur utama, kini catatan moral dan perilaku sosial juga menjadi indikator penting kesuksesan masa depan.
Pemerintah berharap, kebijakan ini menjadi peringatan keras bagi pelaku bullying di sekolah-sekolah, bahwa tindakan mereka akan membawa konsekuensi nyata terhadap masa depan pendidikan dan karier mereka.
Selain itu, publik Korea Selatan menilai langkah ini bisa menjadi pijakan menuju lingkungan belajar yang lebih aman, sehat, dan berkeadilan.
Kesimpulan: Kebijakan Pendidikan Berbasis Karakter Jadi Keniscayaan
Dengan diberlakukannya aturan ini secara nasional pada 2026, bullying bukan lagi dianggap sekadar kenakalan remaja, melainkan pelanggaran serius yang berdampak langsung pada masa depan seseorang.
Korea Selatan kini memasuki era pendidikan berbasis karakter dan integritas sosial, di mana empati, tanggung jawab, dan kejujuran menjadi pondasi utama selain kecerdasan akademik.
Kebijakan ini, meski menuai pro dan kontra, menjadi refleksi dari semangat bangsa Korea Selatan untuk membangun generasi cerdas sekaligus berakhlak.