FYP
Media
Memuat Halaman...
0%
Persaingan AI Kian Memanas: 7 Sinyal China–AS Harus Batasi Teknologi dan Kembali Berdialog

News

Persaingan AI Kian Memanas: 7 Sinyal China–AS Harus Batasi Teknologi dan Kembali Berdialog

Writer: Raodatul - Rabu, 19 November 2025

Persaingan AI Kian Memanas: 7 Sinyal China–AS Harus Batasi Teknologi dan Kembali Berdialog
Sumber gambar: Ilustrasi AI/Freepik

FYPMedia.id- Persaingan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) antara Amerika Serikat dan China terus meningkat dan kini memasuki fase yang dianggap para pakar sebagai perlombaan berisiko tinggi. 

Di tengah percepatan adopsi AI, khususnya di sektor pertahanan, para ahli dari kedua negara kembali mendesak Washington dan Beijing untuk membatasi penggunaan AI militer dan segera membuka jalur dialog baru.

Desakan ini mencuat dalam berbagai forum internasional, termasuk diskusi akademik di Hong Kong dan pertemuan strategis yang digelar di Asia. 

Kekhawatiran utama bukan hanya soal keamanan global, tetapi juga terkait etika, akuntabilitas, dan potensi AI menciptakan ketidakstabilan geopolitik yang sulit dikendalikan.

AI Jadi Senjata Baru Persaingan Global

Penggunaan AI dalam industri pertahanan melonjak signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Teknologi ini kini menyentuh berbagai sektor, mulai dari sistem persenjataan otomatis, analisis intelijen berbasis data besar, hingga pengembangan sistem operasi militer yang mampu mengambil keputusan secara mandiri.

Fenomena tersebut memicu alarm global. Para peneliti memperingatkan bahwa persaingan tanpa batas antara AS dan China dalam teknologi transformatif ini berpotensi menciptakan “lomba senjata AI” yang lebih berbahaya dibandingkan perlombaan nuklir era Perang Dingin.

Peneliti Pusat Keamanan Internasional dan Strategi Universitas Tsinghua, Sun Chenghao, menegaskan bahwa regulasi AI di sektor militer dapat menjadi titik temu penting kedua negara.

Dalam kutipannya, Sun mengatakan: "Keterlibatan aktif negara-negara besar dalam tata kelola adalah dasar bagi negara-negara Global South untuk ikut berpartisipasi. Namun, ketegangan antara China dan AS, dua negara yang memimpin pengembangan AI membuat kerja sama tata kelola AI yang efektif menjadi sulit secara logika."

Pernyataan ini menggambarkan betapa rumitnya dinamika geopolitik yang mengikat dua negara superpower tersebut. Meski sama-sama memiliki kepentingan besar dalam transformasi AI, keduanya terjebak dalam ketegangan struktural yang membuat kerja sama menjadi tantangan tersendiri.

Baca Juga: 10 Aplikasi Penunjang Produktivitas Terbaik untuk Mahasiswa dan Pekerja

Dorongan Agar China dan AS Segera Kembali Berdialog

Desakan terhadap dibukanya kembali jalur komunikasi bukan hanya datang dari Sun, tetapi juga dari akademisi senior Tsinghua lainnya, Zhang Tuosheng, yang menilai dialog antarpemerintah adalah satu-satunya jalan untuk menghindari eskalasi yang tidak terkendali.

Menurut Zhang: "Beijing dan Washington harus segera melanjutkan dialog antarpemerintah tentang AI sesegera mungkin dan mempertimbangkan untuk menjadikan penerapan AI militer sebagai komponen penting dari percakapan tersebut."

Pandangan itu merujuk pada dialog pertama yang pernah digelar pada Mei tahun sebelumnya—dialog yang membahas risiko dan mitigasi penggunaan AI dalam konteks geopolitik. 

Namun dialog lanjutan hingga kini tidak pernah terjadi, memperlihatkan betapa rapuhnya komitmen kerja sama kedua negara.

Kesepakatan AI dan Nuklir: Manusia Harus Tetap Memegang Kendali

Dalam sebuah pertemuan di Lima, Peru, Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS saat itu, Joe Biden, pernah mencapai kesepakatan penting: keputusan terkait penggunaan senjata nuklir tidak boleh diserahkan kepada AI. Kesepakatan itu disebut-sebut sebagai tonggak penting dalam pembahasan AI global.

Keduanya sepakat bahwa: Manusia, bukan kecerdasan buatan, harus memutuskan penggunaan senjata nuklir.

Namun kesepakatan tersebut tidak cukup untuk memperbaiki jurang perbedaan pandangan kedua negara. Pada September 2024, China menolak menandatangani pakta global non-mengikat mengenai penggunaan AI secara bertanggung jawab di sektor militer pada KTT Seoul. Penolakan tersebut menunjukkan bahwa Beijing melihat risiko strategis apabila mengikuti standar yang didorong AS dan sekutunya.

Ketegangan Meningkat: AS Perketat Ekspor Chip, China Percepat Teknologi

Salah satu pemicu utama ketegangan adalah kebijakan kontrol ekspor yang diberlakukan Washington terhadap China. 

AS menahan penjualan chip AI kelas atas serta peralatan manufaktur semikonduktor yang dianggap dapat memperkuat kemampuan militer China.

Dalam pandangan Sun Chenghao: "Sulit membayangkan pemerintah Tiongkok memutuskan untuk bekerja sama erat dengan AS dalam hal tata kelola, sementara menghadapi pembatasan perangkat keras dari AS. Secara logis, itu tidak masuk akal."

Namun meski dibatasi, China justru mempercepat inovasi domestik. Pada Agustus tahun lalu, Beijing meluncurkan inisiatif “AI+”, sebuah program ambisius untuk meningkatkan berbagai sektor industri dan mendorong hadirnya produk serta layanan berbasis AI yang baru.

Kemajuan pesat ini bahkan memicu kekhawatiran di Washington bahwa strategi pembatasan ekspor mungkin tidak efektif lagi karena China sudah mendekati kemandirian chip.

Pendekatan AI: AS Kejar AGI, China Pilih Kolaborasi Praktis

Selain ketegangan politik, perbedaan filosofi pengembangan AI juga menjadi faktor yang memperuncing jurang antara kedua negara.

Menurut Lee Kai-Fu, CEO 01.AI dan mantan kepala Google China, perusahaan-perusahaan AS cenderung mengejar AGI (Artificial General Intelligence)—AI supercanggih dengan kemampuan menyamai manusia—melalui strategi “lompatan raksasa” ala Silicon Valley.

Lee mengatakan: "Sementara AS menghabiskan triliunan dolar untuk bermimpi atau berharap membangun satu model AGI raksasa untuk menghancurkan semua yang lain, Tiongkok seperti berkolaborasi dan membangun perangkat lunak sumber terbuka, dan mencoba mencari cara untuk menghasilkan uang."

Ia menambahkan bahwa pendekatan AS didorong oleh mentalitas kompetitif “winner-takes-all”, sementara perusahaan China lebih fokus pada pengembangan bertahap, open-source, serta persaingan berbasis pengguna.

Lee menegaskan bahwa: "Persaingan AS-Tiongkok akan lebih baik dan lebih konstruktif jika lebih banyak orang memahami, dan mungkin merangkul, pendekatan Tiongkok."

Perbedaannya bukan hanya teknis, tetapi juga ideologis. Silicon Valley percaya bahwa jika satu perusahaan kalah, negara pun bisa kalah. 

Sementara ekosistem AI China lebih menekankan dinamika pemimpin–pengikut yang bersifat organik dan kolaboratif.

Baca Juga: Harga Chip Melejit 60%: 7 Dampak Global dari Lonjakan Memori Samsung akibat AI

Ancaman AI di Bidang Biologis: Kekhawatiran Baru

Dalam forum yang sama, Christopher Nixon Cox dari Richard Nixon Foundation memperingatkan bahwa AI memiliki potensi berbahaya jika digunakan dalam bioteknologi, terutama senjata biologis.

Ia mengatakan dengan tegas: “Tidak ada manfaatnya jika AI mengembangkan senjata biologis yang mudah direplikasi, atau disebarkan ke seluruh dunia.”

Cox menilai bahwa bidang ini merupakan “area yang jelas” di mana AS dan China harus bekerja sama tanpa kompromi.

Mengapa Dunia Mendesak China–AS Menahan Ego Teknologi

Ada tujuh alasan utama mengapa persaingan AI antara China dan AS kini dinilai berbahaya dan perlu diatur segera:

  1. AI militer berpotensi memicu eskalasi tanpa kendali manusia
  2. Kurangnya standar global membuat penggunaan AI menjadi liar dan tidak transparan
  3. Adopsi AI persenjataan menimbulkan dilema etika dan risiko salah komputasi
  4. Ketegangan geopolitik meningkat akibat kontrol ekspor dan saling curiga
  5. Perbedaan filosofi AI membuat dialog teknis sulit dilakukan
  6. Negara-negara berkembang (Global South) membutuhkan kepastian tata kelola yang adil
  7. Potensi penyalahgunaan AI untuk senjata biologis dapat mengancam stabilitas global

Namun tantangan terbesar tetap pada kemauan politik kedua negara untuk kembali ke meja dialog. Tanpa itu, ruang kerja sama akan terus menyempit.

Akankah China dan AS Mampu Menemukan Jalan Tengah?

Meski kompetisi keduanya tampak mustahil dihentikan, sebagian pakar tetap optimistis bahwa ruang dialog tetap terbuka, terutama jika tekanan internasional meningkat dan risiko teknologi semakin nyata.

China kini mulai menutup kesenjangan teknologi chip dengan AS, sementara AS juga menilai kembali efektivitas strategi pengetatan ekspor. Di sisi lain, kedua negara sadar bahwa perlombaan AI tanpa aturan justru dapat merugikan keduanya.

Dengan ancaman AI militer dan biologis yang kian nyata, dunia kini menunggu apakah Washington dan Beijing dapat menahan ego masing-masing dan memilih jalan kolaborasi.

Karena pada akhirnya, masa depan AI global tidak hanya soal inovasi atau kekuatan ekonomi, tetapi juga soal stabilitas, etika, dan keselamatan umat manusia.

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait.

Mau Diskusi Project Baru?

Contact Us