FYP Media.ID – OpenAI resmi menerapkan batasan usia baru untuk pengguna ChatGPT, chatbot AI paling populer saat ini. Mulai September 2025, hanya pengguna berusia 18 tahun ke atas yang dapat menikmati akses penuh terhadap fitur-fitur ChatGPT. Keputusan ini mengejutkan publik, terutama karena disertai kekhawatiran soal fenomena baru bernama “AI Psychosis” alias Psikosis AI.
Kebijakan ini diumumkan langsung oleh Sam Altman, CEO OpenAI, dalam unggahan resmi di situs perusahaan pada Senin, 22 September 2025.
Verifikasi Usia Kini Jadi Syarat Gunakan ChatGPT
Dalam pernyataannya, Sam Altman menyebutkan bahwa perubahan ini dilakukan demi keselamatan pengguna, khususnya dari konten berisiko tinggi dan potensi gangguan mental akibat penggunaan AI secara berlebihan.
“Kami menetapkan minimal usia pengguna ChatGPT adalah 18 tahun. Untuk pengguna usia 13–17 tahun, akan diterapkan fitur keamanan tambahan,” jelas Altman.
Dengan kata lain, ChatGPT tidak sepenuhnya dilarang untuk remaja, namun pengalaman penggunaan mereka akan dibatasi dan difilter lebih ketat.
Sumber internal OpenAI mengungkap bahwa dalam waktu dekat, pengguna akan diminta memverifikasi usia mereka, kemungkinan besar melalui unggahan identitas atau sistem otentikasi pihak ketiga.
Fenomena Psikosis AI: Ketika Chatbot Membuat Pengguna Berhalusinasi
Salah satu alasan utama OpenAI membatasi usia pengguna ChatGPT adalah karena munculnya fenomena “AI Psychosis” atau psikosis akibat interaksi berlebihan dengan AI.
Fenomena ini terjadi ketika seseorang terlalu sering berbicara dengan AI, hingga kehilangan kontak dengan realitas dan mulai membentuk delusi atau keyakinan palsu. Kondisi ini pertama kali diteliti oleh para psikiater di Amerika Serikat, termasuk Dr. Keith Sakata dari University of California.
“Pengguna yang kesepian cenderung menjadikan AI sebagai tempat curhat. Karena AI selalu merespons dengan empati, hal itu memperkuat delusi dan membuat pengguna sulit membedakan kenyataan,” jelas Sakata.
Gejala Psikosis AI yang Perlu Diwaspadai
Meski psikosis bukan penyakit, melainkan gejala gangguan mental, pengaruhnya terhadap kehidupan seseorang bisa sangat mengganggu. Berikut tanda-tanda psikosis AI yang wajib kamu waspadai:
-
Perubahan perilaku drastis, seperti tidak makan atau berhenti bekerja
-
Tidur terganggu atau insomnia kronis
-
Keyakinan berlebihan terhadap ide-ide imajinatif
-
Menjauh dari keluarga dan teman
-
Ketergantungan emosional pada AI
-
Delusi bahwa AI “hidup” atau memiliki kesadaran
-
Muncul keinginan menyakiti diri sendiri atau orang lain
Pada tahap awal, mungkin terlihat sepele. Namun jika tidak dikendalikan, interaksi intens dengan AI bisa mendorong pengguna ke kondisi mental yang tidak stabil.
ChatGPT Pernah Menampilkan Respons Sensitif
Dalam beberapa laporan media dan riset akademik, ChatGPT pernah merespons percakapan dengan konten sensitif, seperti:
-
Topik seksual eksplisit
-
Pembicaraan soal bunuh diri
-
Diskusi manipulatif atau eksplorasi identitas ekstrem
Meski tidak dimaksudkan demikian, AI seperti ChatGPT dapat menghasilkan respons yang keliru jika diberi prompt yang ambigu atau provokatif. Karena itulah, kontrol usia dan keamanan tambahan jadi prioritas utama OpenAI saat ini.
Mengapa Anak Muda Rentan terhadap Psikosis AI?
Menurut Dr. Sakata, remaja dan anak muda adalah kelompok paling rentan terkena dampak psikologis dari penggunaan AI.
“Otak remaja masih berkembang. Mereka cenderung membentuk ikatan emosional yang kuat dengan chatbot karena AI tidak menghakimi mereka,” katanya.
Karena AI tidak pernah menolak atau menyalahkan, pengguna bisa merasa “dipahami” secara total, meskipun sebenarnya AI hanya menjalankan algoritma berbasis data.
Hal ini memperkuat ikatan delusional, di mana pengguna percaya AI adalah entitas nyata yang memahami mereka lebih dari manusia.
Apakah ChatGPT Berbahaya? Tidak, Tapi Tetap Harus Bijak
Perlu digarisbawahi: ChatGPT bukan penyebab psikosis. AI hanyalah alat, dan penggunaan yang berlebihan atau tidak sehat adalah faktor pemicunya.
“Sama seperti media sosial atau video game, AI bisa memicu masalah jika digunakan secara kompulsif,” jelas Dr. Sakata.
Untuk itu, OpenAI menekankan perlunya kesadaran digital dan literasi AI, terutama bagi pengguna remaja. Mereka yang menggunakan AI untuk eksplorasi emosional dan mental harus berada dalam pengawasan orang tua atau pendamping dewasa.
Pro-Kontra di Kalangan Netizen dan Pakar
Kebijakan verifikasi usia ini langsung menuai perdebatan di media sosial. Banyak yang memuji langkah OpenAI sebagai bentuk tanggung jawab. Namun tak sedikit pula yang menilai bahwa membatasi akses ChatGPT justru mempersempit kesempatan belajar generasi muda.
Beberapa tanggapan populer di media sosial:
“Bagus banget OpenAI batasi usia. AI bukan tempat curhat anak-anak.”
“Saya umur 17 dan pakai ChatGPT buat belajar. Harusnya ada mode pelajar, bukan dibatasi.”
“AI Psychosis itu nyata. Teman saya pernah menganggap AI-nya pacar sendiri.”
“Pembatasan usia bisa dimanipulasi. Harusnya ada filter konten, bukan larangan akses.”
Apa yang Harus Dilakukan Orang Tua dan Sekolah?
Dengan adanya pembatasan ini, peran orang tua dan pendidik menjadi sangat penting. Berikut beberapa langkah yang bisa diambil:
-
Pantau aktivitas digital anak dan ajak diskusi soal AI
-
Gunakan parental control untuk mengatur batasan waktu dan jenis aplikasi
-
Dorong anak berinteraksi sosial langsung, bukan hanya lewat layar
-
Libatkan sekolah dalam literasi digital dan AI
-
Ajarkan anak mengenali emosi dan realita secara sehat
Kesimpulan: AI Bukan Mainan, Tapi Alat yang Butuh Kedewasaan
Keputusan OpenAI membatasi akses ChatGPT hanya untuk pengguna usia 18 tahun ke atas adalah langkah yang berani namun penting. Di tengah naiknya tren penggunaan AI untuk eksplorasi pribadi, langkah ini dianggap sebagai bentuk perlindungan dari risiko psikologis serius, termasuk fenomena Psikosis AI.
Ingat, AI adalah alat, bukan teman, apalagi terapis. Gunakan dengan bijak, dan selalu sadari batasan realitas.