Writer: Raodatul - Selasa, 25 November 2025 08:00:00
FYPMedia.id — Dunia kesehatan kembali dikejutkan oleh temuan ilmiah terbaru mengenai dampak pola makan modern terhadap kesehatan mental. Makanan ultraolahan, dari ayam goreng krispi hingga es krim, selama ini dikenal sebagai makanan pemicu obesitas dan penyakit kronis.
Namun kini, penelitian global menunjukkan bahwa makanan ultra-processed food (UPF) berpotensi mendorong risiko depresi hingga 20%–50%. Temuan ini memperkuat kekhawatiran bahwa krisis kesehatan akibat junk food sudah merambah ke ranah kesehatan psikologis.
Penelitian terbaru dari Pakistan yang dimuat dalam European Medical Journal Gastroenterology menjadi sorotan dunia.
Studi ini menganalisis lebih dari 79.700 peserta dari berbagai penelitian internasional dan menemukan hubungan konsisten antara konsumsi makanan ultra-olahan dan meningkatnya gejala depresi.
Makanan Ultra-Olahan Bukan Sekadar Membahayakan Fisik, tetapi Juga Emosi
Makanan ultraolahan seperti pizza cepat saji, burger, kentang goreng, makanan beku siap saji, hingga minuman manis selama ini telah dicap sebagai penyumbang utama penyakit kronis global.
Menurut berbagai penelitian, makanan ini umumnya:
Tinggi kalori
Tinggi lemak jenuh
Kaya gula tambahan
Mengandung garam berlebih
Minim nutrisi penting
Akibatnya, konsumsi rutin makanan ultraolahan meningkatkan risiko berbagai penyakit mematikan seperti obesitas, jantung koroner, stroke, hingga diabetes tipe 2.
Para ahli bahkan meyakini bahwa makanan UPF juga menjadi pemicu berbagai penyakit lain seperti penyakit ginjal, inflamasi usus, dan beberapa jenis kanker.
Namun di balik semua risiko fisik itu, ada ancaman lain yang lebih senyap—yaitu penurunan kesehatan mental.
Baca Juga: [Waspada!] 7 Fakta Pikiran Buruk Tiba-Tiba: Normal atau Tanda Bahaya Mental?
Depresi: Dampak Utama yang Selama Ini Diabaikan
Dikutip dari New York Post, penelitian Pakistan menemukan bahwa konsumsi makanan ultraolahan secara berlebihan dapat meningkatkan risiko depresi hingga 50%. Depresi ini ditandai dengan:
Kehilangan ketertarikan pada aktivitas sehari-hari
Perasaan sedih berkepanjangan
Putus asa
Kehilangan energi
Gangguan konsentrasi
Dalam laporan mereka, para peneliti menuliskan: "Hubungan ini tetap signifikan bahkan setelah disesuaikan dengan potensi faktor pengganggu," tulis para penulis studi minggu ini di European Medical Journal Gastroenterology.
Artinya, bahkan ketika faktor lain seperti gaya hidup, stres, atau riwayat kesehatan diperhitungkan, makanan ultra olahan tetap menjadi faktor risiko kuat terhadap depresi.
Tinjauan 9 Studi, 79.700 Peserta: Bukti Ilmiah yang Tidak Bisa Diabaikan
Para peneliti melakukan tinjauan sistematis terhadap 9 penelitian besar yang melibatkan lebih dari 79 ribu responden. Dengan skala analisis yang luas ini, kesimpulan yang dihasilkan menjadi cukup kuat untuk menunjukkan adanya hubungan signifikan antara pola makan dan kesehatan mental.
Beberapa teori ilmiah mendukung hubungan ini, antara lain:
1. Lonjakan Gula Darah dan Gangguan Mood
Makanan cepat saji sering menyebabkan lonjakan gula darah yang tiba-tiba. Lonjakan dan penurunan drastis gula darah ini telah dikaitkan dengan:
Mood negatif
Kemarahan
Cemas berlebih
Sensasi stres
Ketidakstabilan kadar glukosa dapat memicu reaksi hormonal yang berdampak langsung pada suasana hati.
2. Minim Nutrisi untuk Kesehatan Otak
Makanan ultraolahan biasanya miskin vitamin dan mineral penting seperti:
Vitamin B kompleks
Vitamin D
Magnesium
Omega-3
Semua nutrisi ini adalah komponen penting untuk fungsi otak, pembentukan neurotransmitter, dan kestabilan emosi.
3. Hubungan Otak–Usus (Gut-Brain Axis)
Inilah aspek yang semakin mendapat perhatian dalam riset modern. Kondisi mikrobiota usus sangat menentukan kesehatan mental seseorang.
Para peneliti dari Pakistan menulis: "Penelitian menunjukkan bahwa mikrobiota usus individu yang depresi berbeda secara signifikan dibandingkan individu yang sehat."
Dan mereka juga menambahkan: "Dari data yang ada, penulis dapat menyimpulkan bahwa bakteri usus dapat bereaksi dengan sistem saraf dan mengakibatkan depresi."
Makanan ultra olahan menghancurkan keseimbangan bakteri usus sehat, sehingga memengaruhi sinyal yang dikirim ke otak.
Baca Juga: Angka Depresi Jakarta Sentuh 1,5%: Fakta Baru, 5 Temuan Penting, dan Peringatan Keras Kemenkes
Peran Neurotransmitter: Dari Usus ke Suasana Hati
Para penulis studi menegaskan bahwa bakteri usus menghasilkan berbagai zat kimia penting yang mengatur mood, seperti:
Serotonin
Dopamin
Gamma-Aminobutyric Acid (GABA)
Jika makanan ultraolahan mengganggu komposisi bakteri sehat, kadar neurotransmitter pun ikut berubah sehingga memicu:
Depresi
Kecemasan
Mudah marah
Gangguan tidur
Dikutip dari Cleveland Clinic, neurotransmitter bekerja dengan cara membawa pesan dari satu sel saraf ke sel saraf berikutnya. Mereka berperan dalam:
Gerakan tubuh
Perasaan
Sensasi
Respon tubuh terhadap lingkungan
Ketika keseimbangan neurotransmitter terganggu, kesehatan mental seseorang akan ikut terpengaruh.
Mengapa Ancaman Ini Makin Serius?
Ada sejumlah faktor mengapa penelitian ini mendapat perhatian besar:
1. Tren Konsumsi UPF Meningkat Drastis: Di berbagai negara, lebih dari 60% asupan kalori harian masyarakat berasal dari makanan ultraolahan.
2. Efek Ketagihan: UPF dirancang untuk sangat lezat dan sulit dihentikan, meningkatkan risiko makan berlebihan.
3. Dampaknya Senyap: Tidak seperti obesitas atau diabetes yang gejalanya terlihat, depresi sering berkembang perlahan dan tidak disadari.
4. Kaitan yang Konsisten dari Berbagai Negara: Studi serupa sudah dilakukan di AS, Brasil, Inggris, dan Eropa, semuanya menghasilkan kesimpulan serupa: UPF = risiko depresi meningkat signifikan.
Baca Juga: 10 Cara Self Love untuk Menjaga Kesehatan Mental dan Emosional
Makanan Ultra-Olahan sebagai ‘Pandemi Baru’
Para ahli sudah mengingatkan bahwa konsumsi UPF dapat menciptakan “pandemi kesehatan global” bila tidak dikendalikan. Dengan tingginya kandungan aditif, gula, dan bahan sintetis, makanan ini telah menjadi bagian besar dari diet masyarakat modern.
Kini, temuan terbaru menunjukkan bahwa dampaknya tidak hanya menyerang tubuh, tetapi juga pikiran.
Kesimpulan: Waspada, Makan Tidak Sehat Bisa Mengubah Cara Otak Bekerja
Studi besar ini memperkuat data bahwa makanan ultra-olahan memiliki dampak serius bagi kesehatan mental.
Dengan meningkatnya risiko depresi hingga 50%, pola makan sehat kini bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.
Penelitian tersebut tidak hanya memperingatkan bahaya makanan modern, tetapi juga membuka mata dunia bahwa apa yang kita makan memengaruhi cara otak berpikir, merasa, dan bereaksi.
Dengan pemahaman baru ini, masyarakat diharapkan lebih sadar untuk menyeimbangkan pola makan dan mengurangi konsumsi junk food demi menjaga kesehatan mental jangka panjang.