Writer: Raodatul - Minggu, 23 November 2025 08:00:00
FYPMedia.id — Lonjakan kasus depresi di DKI Jakarta kembali menyalakan alarm darurat kesehatan mental. Data terbaru menunjukkan bahwa angka depresi di Jakarta telah mencapai 1,5 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional 1,4 persen.
Meski selisihnya tampak tipis, pakar menilai peningkatan ini adalah sinyal serius tentang kondisi kesehatan mental warga kota megapolitan.
Kementerian Kesehatan RI menegaskan bahwa tren ini menuntut penanganan komprehensif, mulai dari perbaikan sistem layanan, penguatan edukasi publik, hingga upaya menurunkan stigma yang selama ini membuat masyarakat enggan mencari pertolongan.
“Terkait data gangguan depresi, rata-rata nasional 1,4 persen, DKI Jakarta sedikit lebih tinggi, 1,5 persen,” ujar Yunita Arihandayani, Ketua Tim Kerja Deteksi Dini dan Pencegahan Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA, dikutip dari Antara.
Prevalensi Masalah Kesehatan Mental: Jakarta di Atas Rata-Rata Nasional
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mengungkap gambaran yang tidak kalah mencemaskan: gangguan kesehatan mental pada penduduk usia di atas 15 tahun menempati posisi kedua dari 10 penyakit paling umum di Indonesia.
Yunita kembali menegaskan angka tersebut: “Secara nasional rata-ratanya 2 persen. DKI Jakarta sedikit lebih tinggi, 2,2 persen,” jelasnya.
Sementara itu, Provinsi Jawa Barat mencatat prevalensi tertinggi di nasional dengan angka 4,4 persen, lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional.
Data ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental kini bukan lagi isu sampingan, tetapi sudah menjadi tantangan kesehatan publik skala besar yang perlu ditangani secara sistematis.
Baca Juga: [Waspada!] 7 Fakta Pikiran Buruk Tiba-Tiba: Normal atau Tanda Bahaya Mental?
Tinggi, tetapi Minim Pengobatan: Hanya 0,7% Penderita Cemas Mencari Pertolongan
Meski angka prevalensi depresi dan kecemasan meningkat, hanya sebagian kecil penderitanya yang benar-benar mengakses layanan pengobatan.
Yunita menguraikan:
- Hanya 0,7% penderita gangguan kecemasan yang mencari bantuan profesional
- Hanya 12,7% penderita depresi yang mendapatkan pengobatan medis
Angka ini memperlihatkan jurang besar antara jumlah penderita dan mereka yang mendapatkan perawatan yang layak.
Menurut Yunita, penyebab utamanya adalah kurangnya kesadaran terhadap gejala serta stigma negatif yang masih melekat di masyarakat.
Ia menegaskan: “Seseorang tidak mencari pengobatan ke ahlinya, seperti psikolog atau psikiater takut dibilang ODGJ. Misalnya, sering dibilang orang yang sedih terus, orang yang nggak punya semangat, dibilang kurang kuat iman.”
Stigma semacam ini tidak hanya menghambat akses layanan medis, tetapi juga membuat pasien membiarkan gangguan mental berkembang tanpa penanganan hingga memasuki tahap kronis.
“Ketika tidak mencari pengobatan, dibiarkan depresi, ringan awalnya kemudian menjadi semakin parah,” lanjutnya.
Dampak Sosial yang Lebih Luas: Depresi sebagai Ancaman Pembangunan
Ahli kesehatan masyarakat menilai bahwa depresi bukan hanya penyakit individual, melainkan masalah struktural yang memengaruhi produktivitas, relasi sosial, hingga kualitas hidup masyarakat kota besar seperti Jakarta.
Jika dibiarkan, tingginya angka depresi akan menjadi “silent crisis” yang memperberat beban sistem kesehatan nasional dan memengaruhi stabilitas hidup masyarakat urban.
Dalam konteks ini, masalah depresi tidak bisa hanya diperlakukan sebagai isu medis, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari tantangan pembangunan sosial, terutama di kota megapolitan dengan tekanan hidup yang sangat tinggi.
Upaya Pemerintah: Mendorong Skrining dan Akses ke Layanan Konseling
Untuk menekan angka depresi yang kian meningkat, Kementerian Kesehatan mengajak masyarakat mengikuti skrining kesehatan jiwa sebagai langkah deteksi dini.
Langkah ini diyakini dapat mencegah kondisi memburuk dan membantu masyarakat mendapatkan penanganan lebih cepat.
Di Jakarta, upaya ini diperkuat oleh kehadiran layanan konseling JakCare — Jakarta Counseling and Assistance for Resilience and Empowerment.
Layanan ini ditujukan bagi warga yang mengalami tekanan psikologis, kecemasan berkepanjangan, atau membutuhkan pendampingan emosional.
Aksesnya dibuat mudah:
- Melalui aplikasi JAKI
- Melalui hotline bebas pulsa 0800-1500-119
- Tersedia 24 jam untuk situasi darurat psikiatri
JakCare juga terintegrasi dengan layanan krisis dan fasilitas kesehatan agar pasien bisa segera mendapatkan perawatan sesuai prosedur.
Kebijakan ini diharapkan menjadi jaring pengaman sosial bagi warga yang membutuhkan tempat bercerita dan akses bantuan profesional tanpa biaya.
Analisis: Mengapa Angka Depresi di Jakarta Tinggi?
Beberapa faktor yang diperkirakan berkontribusi:
1. Tekanan hidup kota besar. Ritme kehidupan ibu kota yang serba cepat dapat memicu stres kronis.
2. Keterbatasan ruang aman dan ruang hijau. Lingkungan padat penduduk mempengaruhi kesejahteraan emosional.
3. Akses layanan yang belum merata. Walau fasilitas tersedia, stigma dan kurangnya edukasi membuat layanan tidak digunakan.
4. Normalisasi stres. Di Jakarta, banyak yang menganggap stres atau kecemasan adalah “hal biasa”, sehingga mereka tidak menyadari bahwa kondisi mereka termasuk depresi.
Baca Juga: 10 Cara Self Love untuk Menjaga Kesehatan Mental dan Emosional
Peringatan Keras Kemenkes: Jangan Abaikan Gejala!
Kasus depresi ringan yang dibiarkan tanpa pengobatan dapat berkembang menjadi kondisi yang jauh lebih parah. Bahkan dapat berujung pada risiko fatal seperti kecenderungan menyakiti diri.
Kemenkes mendorong masyarakat untuk mulai:
- Lebih sensitif terhadap perubahan emosi
- Tidak menyepelekan gejala seperti kehilangan minat, insomnia, atau rasa putus asa
- Mengakses layanan profesional saat mulai merasa kewalahan
Langkah-langkah sederhana ini dapat menyelamatkan banyak nyawa.
Kesimpulan: Urgensi Menghapus Stigma dan Memperkuat Layanan Mental Health
Temuan terbaru mengenai angka depresi di Jakarta menunjukkan bahwa Indonesia sedang menghadapi tantangan kesehatan mental yang semakin nyata.
Tingginya prevalensi, minimnya pengobatan, serta kuatnya stigma menjadi kombinasi yang harus segera ditangani.
Kesehatan mental bukan hanya urusan tenaga medis, tetapi juga keluarga, sekolah, komunitas, tempat kerja, dan pemerintah daerah.
Saat masyarakat masih merasa takut untuk mencari pertolongan, maka beban krisis ini hanya akan semakin membesar.