Writer: Raodatul - Senin, 01 Desember 2025 10:18:55
FYPMedia.id - Frekuensi buang air besar (BAB) selama ini dianggap sekadar rutinitas harian, namun sebuah penelitian terbaru menunjukkan fakta yang jauh lebih serius. Studi yang dipublikasikan pada tahun 2024 menemukan bahwa ritme BAB dapat menjadi indikator penting kesehatan tubuh, bahkan terkait langsung dengan risiko kerusakan organ vital seperti ginjal dan liver.
Penelitian besar ini menjadi peringatan keras bahwa kebiasaan BAB bukan sekadar soal kenyamanan, tetapi penanda kesehatan sistemik yang tidak boleh diabaikan.
Studi tersebut melibatkan 1.425 responden sehat, dan hasilnya menunjukkan bahwa peserta paling sehat memiliki frekuensi BAB 1–2 kali sehari, yang oleh peneliti disebut sebagai “zona goldilocks”, yaitu kondisi ideal yang menandakan keseimbangan pencernaan dan stabilitas metabolisme tubuh.
BAB Terlalu Sering atau Terlalu Jarang Berbahaya
Para ilmuwan dari Institute for Systems Biology (ISB) menemukan bahwa frekuensi BAB yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah sama-sama berhubungan dengan masalah kesehatan.
Penelitian ini bahkan menghubungkan pola BAB dengan perubahan pada kimia darah, mikrobioma usus, hingga risiko penyakit kronis yang berkembang secara diam-diam.
Ahli mikrobiologi ISB, Sean Gibbons, menegaskan bahwa temuan ini sangat penting untuk deteksi dini kesehatan internal tubuh.
Ia mengatakan: "Studi ini menunjukkan bagaimana frekuensi buang air besar dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh, dan bagaimana frekuensi BAB yang tidak normal bisa menjadi faktor risiko penting dalam perkembangan penyakit kronis."
Pernyataan ini memperkuat argumen bahwa frekuensi BAB bukan hal sepele. Ketidakseimbangan dapat menandakan adanya gangguan metabolisme, ketidakseimbangan mikrobiota, atau bahkan kerusakan organ yang sedang terjadi di balik layar.
Baca Juga: 4 Kebiasaan Malam Hari yang Diam-diam Merusak Ginjal dan Picu Risiko Serius
Klasifikasi Frekuensi BAB: Mana yang Masuk Zona Risiko?
Penelitian tersebut mengelompokkan frekuensi BAB menjadi empat kategori utama:
1. Konstipasi
- 1–2 kali BAB per minggu
- Menandakan pergerakan usus sangat lambat dan feses berada terlalu lama di usus besar.
2. Normal-rendah
- 3–6 kali per minggu
- Masih dianggap normal, tetapi cenderung menunjukkan ritme pencernaan yang lebih lambat.
3. Normal-tinggi
- 1–3 kali per hari
- Ini adalah kelompok paling sehat menurut penelitian, termasuk dalam “zona goldilocks”.
4. Diare
- 4 kali atau lebih BAB cair dalam sehari
- Menandakan pergerakan usus terlalu cepat dan penyerapan nutrisi berkurang drastis.
Pengelompokan ini menjadi dasar untuk mengidentifikasi risiko kesehatan yang mungkin muncul pada tiap kategori.
Bagaimana Studi Ini Dilakukan? Analisis Mendalam yang Komprehensif
Tidak hanya mencatat frekuensi BAB, peneliti melakukan analisis yang sangat komprehensif. Mereka memeriksa:
- Metabolit darah
- Kimia darah
- Data genetik responden
- Mikrobioma usus dari sampel tinja
Penelitian ini bertujuan menemukan keterkaitan antara frekuensi BAB dan perubahan biologis tubuh. Faktor usia, jenis kelamin, hingga indeks massa tubuh juga diperhitungkan agar hasil lebih akurat.
Penelitian menemukan bahwa peserta yang BAB-nya jarang cenderung perempuan, lebih muda, dan memiliki BMI lebih rendah. Namun, setelah penyesuaian faktor dilakukan, tetap terlihat bahwa kedua ekstrem, konstipasi dan diare berkaitan erat dengan berbagai penanda penyakit.
Baca Juga: Rekomendasi Buah Segar untuk Sarapan
Risiko Diare: Bakteri dari Saluran Atas & Potensi Kerusakan Liver
Pada kelompok yang mengalami diare, peneliti menemukan bakteri yang biasanya berasal dari saluran pencernaan bagian atas dalam jumlah lebih banyak pada sampel tinja mereka. Ini menunjukkan adanya gangguan pada integritas sistem pencernaan.
Yang lebih mengejutkan, sampel darah mereka juga menunjukkan biomarker yang terkait dengan kerusakan hati (liver).
Artinya, frekuensi BAB yang terlalu tinggi dapat memperburuk stabilitas metabolisme dan membebani organ seperti hati yang berfungsi menyaring toksin.
Risiko Konstipasi: Fermentasi Protein & Ancaman Racun di Darah
Sementara itu, peserta dengan konstipasi menunjukkan tanda-tanda berbeda. Dalam sampel tinja mereka, ditemukan bakteri yang terkait dengan fermentasi protein dalam kadar yang lebih tinggi. Ini adalah kondisi yang sering terjadi ketika feses terlalu lama berada di usus.
Johannes Johnson-Martinez, insinyur biologi di ISB, menjelaskan: "Jika feses terlalu lama berada di usus, mikroba akan menghabiskan seluruh serat makanan yang tersedia, yang biasanya mereka fermentasi menjadi asam lemak rantai pendek yang bermanfaat."
Ia melanjutkan: "Setelah itu, ekosistem usus beralih memfermentasi protein, yang menghasilkan berbagai racun yang bisa masuk ke aliran darah."
Benar saja, peneliti menemukan bahwa produk sampingan fermentasi protein masuk ke darah para peserta, dan yang paling meningkat adalah indoxyl-sulfate, metabolit berbahaya yang dikenal dapat merusak ginjal.
Dengan kata lain, konstipasi kronis bukan hanya soal ketidaknyamanan—tetapi ancaman serius bagi ginjal.
Apa Artinya untuk Kesehatan Anda?
Hasil penelitian ini memberikan beberapa implikasi penting:
1. BAB adalah indikator sistemik, bukan sekadar pencernaan: Frekuensi BAB yang abnormal bisa menjadi tanda awal penyakit metabolik, peradangan, hingga kerusakan organ.
2. Keseimbangan mikrobiota usus sangat memengaruhi kesehatan organ vital: Baik liver maupun ginjal ternyata bisa terdampak oleh metabolit yang dihasilkan mikroba usus.
3. Perubahan kecil pada kebiasaan BAB harus diperhatikan: Jika BAB terlalu jarang atau terlalu sering selama beberapa minggu, ini patut diperiksa.
4. Pola makan, hidrasi, dan gaya hidup sangat berpengaruh: Serat, probiotik, hidrasi cukup, dan manajemen stres terbukti membantu menyeimbangkan pola BAB.
Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa frekuensi BAB adalah sinyal penting kondisi tubuh, bukan hanya soal pencernaan.
Baik diare maupun konstipasi dapat mencerminkan ketidakseimbangan mikrobiome yang memicu racun dalam darah serta biomarker kerusakan hati dan ginjal.
Dengan lebih memahami ritme BAB, masyarakat dapat mendeteksi gangguan kesehatan lebih dini dan mengambil langkah pencegahan sebelum penyakit kronis berkembang.