5 Kehidupan Diselamatkan: Kisah Terakhir Penulis 35 Tahun Baek Se‑hee

Kisah Terakhir Penulis 35 Tahun Baek Se‑hee

FYP Media.id – Pada 16 Oktober 2025, dunia literasi dan komunitas kesehatan mental dikejutkan oleh kabar duka: Baek Se‑hee, penulis bestseller I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki, meninggal dunia di usia 35 tahun. Namun kisahnya tak berakhir hanya dengan kepergian — melalui tindakan mulianya, ia menyelamatkan lima nyawa lewat donasi organ, menyumbangkan jantung, paru‑paru, hati, dan kedua ginjalnya.

Kabar ini menyentak publik tak hanya karena usia Baek yang masih muda, tetapi juga karena warisan tulisannya yang telah menyentuh jutaan pembaca di seluruh dunia. Di artikel ini, kita menyelami perjalanan hidupnya, implikasi dari donasi organ, dan makna mendalam yang ditinggalkan bagi dunia literasi serta perjuangan kesehatan mental.

1. Siapakah Baek Se‑hee? Dari Utara Seoul ke Panggung Dunia

Baek Se‑hee lahir pada 25 Februari 1990 di Goyang, Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan. Sebelum menjadi penulis penuh waktu, ia bekerja di industri penerbitan selama lima tahun—pengalaman yang kemudian membentuk kecintaannya terhadap dunia buku dan kata.

Sebelum terjun penuh ke dunia literasi, Baek memasuki fase kelam: ia mengalami distimia — bentuk depresi kronis ringan namun persisten — selama lebih dari satu dekade.  Ia memilih untuk melakukan terapi, dan konsep terapi (termasuk catatan sesi) itu akhirnya menjadi bahan utama dalam karyanya.

Pada 2018, ia menerbitkan memoir I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki, yang menggabungkan dialog antara dirinya dan psikiater serta refleksi jujur tentang pergulatan batin. Buku ini memikat karena keberanian Baek membuka luka pribadinya tanpa malu atau tabir.

2. Bestseller Global: Jejak Katalis Perubahan

Sejak terbit, buku itu menjelma fenomena literasi. Di Korea, ia terjual sekitar 600.000 eksemplar.  Tak hanya itu: buku tersebut diterjemahkan dan diterbitkan di lebih dari 25 negara, termasuk Inggris, Jerman, Spanyol, Italia, Belgia, dan Polandia.

Buku ini dianggap sebagai “jembatan” antara penderita depresi dan masyarakat luas, karena dapat menghadirkan suara yang selama ini sering dibungkam: “Saya tidak baik‑baik saja.” Banyak pembaca yang merasa “akhirnya ada yang memahami saya.” I Still Want to Eat Tteokbokki, serta beberapa kolaborasi buku lain seperti No One Will Ever Love You as Much as I Do (2021) dan I Want to Write, I Don’t Want to Write (2022).  Ia juga sempat mempublikasikan karya fiksi pendek berjudul A Will from Barcelona pada 2025.

3. Donasi Organ: Kehidupan dari Kepergian

Momen keberanian tertinggi Baek terjadi setelah kepergiannya. Menurut Korea Organ Donation Agency, Baek mendonasikan jantung, paru‑paru, hati, dan kedua ginjalnya, yang berhasil menyelamatkan lima orang.

Detail tentang penyebab kematiannya belum diumumkan publik.  Beberapa laporan menyebutkan bahwa ia dinyatakan dalam keadaan kematian otak (brain death) sebelum proses donasi dilakukan di Rumah Sakit Layanan Asuransi Kesehatan Nasional Ilsan, tempat juga ia dilahirkan.

Donasi organ bukan tindakan yang mudah—banyak pertimbangan medis, pemilihan penerima, hingga kesiapan teknis. Namun, keputusan Baek menunjukkan bahwa dalam kepergiannya pun, ia memilih untuk memberi kehidupan bagi yang lain. Tindakan ini memberi makna lanjutan: dari tulisan yang menyembuhkan jiwa ke organ yang menyelamatkan raga.

4. Refleksi Mendalam: Depresi, Tabu, dan Keberanian Mengungkap Luka

Sebuah tren yang mencuat dari kehidupan Baek adalah bagaimana ia menghadirkan narasi penyakit mental di tengah budaya yang sering menutupinya. Di Korea dan beberapa negara Asia, stigma terhadap depresi dan bunuh diri masih kuat — kematian atau penderitaan mental seringkali disembunyikan.

Baek sendiri pernah menyatakan bahwa ia merasa bersalah karena meskipun ia pernah ingin mati, ia masih memiliki nafsu untuk makan tteokbokki—gambaran paradoks dalam depresi: antara ingin menyerah dan tetap merasakan kehidupan lewat hal kecil.  Dalam esainya, ia menyingkap luka yang tak nampak di luar: orang yang tampak “baik-baik saja” belum tentu baik dari dalam.

Keberanian Baek membuka dirinya lewat tulisan menciptakan ruang bagi pembaca yang terluka untuk merasa tidak sendiri. Ia membuktikan bahwa sebuah buku bukan sekadar objek jualan — bisa menjadi sahabat bagi mereka yang berpikir “Saya tak layak diselamatkan.”

5. Warisan Abadi: Dari Buku ke Kehidupan

Apa yang bisa kita warisi dari Baek Se‑hee?

  • Inspirasi keberanian — membuka luka pribadi di depan publik bukan hal yang ringan.

  • Kesadaran baru akan donasi organ — kematian tak selalu berakhir dengan hampa; bisa menjadi awal baru bagi orang lain.

  • Ruang diskusi tentang kesehatan mental — orang makin berani bicara, mencari bantuan, dan tidak merasa dipinggirkan.

  • Kekuatan narasi jujur — tulisan yang bersih, tanpa kepura-puraan, punya daya untuk menyembuhkan banyak hati.

Kini, jutaan pembaca di 25+ negara masih memeluk buku Baek, menyelimuti diri mereka dengan kata-kata yang dulu ia tulis untuk dirinya sendiri.

6. Penutup: Saat Kata & Kehidupan Bertemu

Kematian Baek Se‑hee adalah kehilangan besar bagi dunia literasi dan komunitas kesehatan mental. Namun lebih dari itu: kisah hidupnya berpadu dengan kematian menjadi aksi—memberi makna baru bahwa dari akhir bisa datang kehidupan.

Saat kita menangisi kepergiannya, mari juga merenungkan pesan yang ditinggalkannya: bahwa luka batin bukan aib, bahwa mencari pertolongan adalah bukti keberanian, dan bahwa kehidupan, sekalipun rapuh, bisa menjadi hadiah bagi orang lain.

Semoga Baek Se‑hee sekarang beristirahat dalam damai — dan semoga tteokbokki tetap hangat di setiap jiwa yang dibelai tulisannya.