FYP Media.id – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang tengah dibahas oleh DPRD DKI Jakarta menuai kontroversi dan gelombang penolakan. Pasal-pasal baru yang memperluas zona larangan merokok dan penjualan rokok, terutama di sekitar pasar tradisional dan sekolah, dianggap membahayakan mata pencaharian jutaan pedagang kecil.
Salah satu yang paling vokal adalah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) dan Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI). Mereka menilai beberapa pasal dalam Raperda ini berpotensi “mematikan napas ekonomi pedagang kecil” di Jakarta dan bahkan di seluruh Indonesia.
Berikut ini adalah 6 dampak besar dan mengejutkan dari Raperda KTR yang menuai reaksi keras dari para pelaku UMKM dan pedagang tradisional:
1. Pasar Tradisional Jadi Kawasan Tanpa Rokok: Omzet Pedagang Terancam Turun Tajam
Salah satu poin krusial dalam Raperda KTR adalah Pasal 14, yang menetapkan pasar tradisional sebagai kawasan tanpa rokok. Sekjen APPSI, Mujiburohman, menegaskan bahwa aturan ini bisa menghantam langsung pendapatan para pedagang.
“Anggota kami keberatan jika pasar tradisional dimasukkan dalam perluasan KTR. Ini jelas akan mengurangi pendapatan. Kami belum pernah dimintai masukan,” ujar Mujiburohman dalam keterangan resminya, Kamis (9/10/2025).
Menurutnya, kebijakan ini dibuat tanpa partisipasi dari pelaku pasar, yang justru akan paling terdampak.
2. Larangan Jual Rokok 200 Meter dari Sekolah Dinilai Tidak Realistis
Pasal 17 Raperda KTR menyebut larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak. Meskipun terlihat mulia untuk tujuan kesehatan, namun bagi para pedagang, ini adalah pukulan berat.
“Bagaimana mungkin aturan seperti itu diterapkan?” tanya Mujiburohman.
“Pemerintah seharusnya fokus pada pengaturan tempat merokok, bukan melarang penjualan rokok yang legal dan bercukai.”
Ia mengklaim bahwa aturan ini berpotensi mengancam mata pencaharian 12 juta pedagang di seluruh Indonesia, dari Jakarta hingga Papua.
3. Rokok Jadi Produk Penarik Pembeli: Larangan Berarti Kehilangan Konsumen
Bagi pedagang kecil, seperti warung, kaki lima, hingga pasar tradisional, rokok bukan sekadar produk utama, tapi juga penarik pembeli.
Seorang pedagang kaki lima bernama Yono mengungkapkan keresahannya:
“Jualan rokok bantu banget buat mutarin dagangan lain. Orang beli rokok, biasanya beli jajanan lain. Kalau dilarang, ya sudah. Habis sudah.”
Yono menggambarkan kondisi saat ini sudah sulit, dengan modal yang susah diputar dan pembeli yang makin berkurang.
4. Izin Khusus Penjualan Rokok Dikhawatirkan Mematikan UMKM
Selain larangan zonasi, para pedagang juga khawatir dengan wacana pemberlakuan izin khusus untuk penjualan rokok.
Menurut Andi, pedagang di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara:
“Kalau makin diribetin dengan aturan dan izin-izin begini, kebutuhan hari-hari makin sulit dipenuhi. Kita sudah susah, jangan dipersulit.”
Dengan daya beli masyarakat yang sedang melemah, kebijakan tambahan dianggap bukan solusi tapi malah menambah beban.
5. APKLI Geruduk DPRD Jakarta: Raperda KTR Dianggap Tidak Berpihak pada Rakyat Kecil
Penolakan terhadap Raperda KTR bukan hanya dari APPSI. Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) juga secara resmi mendatangi DPRD DKI Jakarta pada Selasa (7/10/2025).
Ketua Umum APKLI, Ali Mahsun, menyatakan bahwa aksi ini adalah bentuk nyata perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap menindas.
“Ini adalah lanjutan dari Deklarasi Penolakan Raperda KTR oleh pedagang. Kita menyuarakan hak hidup, hak berjualan, dan hak mencari nafkah,” tegasnya.
6. Solusi Alternatif: Edukasi dan Regulasi yang Berkeadilan, Bukan Pelarangan Sepihak
Meski menolak sejumlah pasal dalam Raperda KTR, para pedagang tidak menolak sepenuhnya niat baik untuk mengurangi dampak buruk rokok.
APPSI dan APKLI menyatakan komitmen untuk tidak menjual rokok kepada anak di bawah umur, dan mendorong pemerintah untuk fokus pada edukasi, sosialisasi, serta pengaturan ruang merokok, alih-alih pelarangan ekstrem.
“Mari kita tingkatkan edukasi, bukan malah fokus melarang penjualan produk legal yang dikenai cukai,” ujar Mujiburohman.
Analisis Singkat: Apakah Raperda KTR Perlu Diperbaiki?
Tujuan utama Raperda KTR sejatinya adalah mewujudkan lingkungan yang lebih sehat, terutama bagi anak-anak. Namun, jika regulasi dibuat tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi, terutama pada sektor informal dan UMKM, maka akan memunculkan konflik kepentingan yang besar.
Beberapa poin penting untuk direnungkan:
-
Apakah pelarangan akan efektif tanpa edukasi yang menyeluruh?
-
Apakah aturan zonasi akan adil diterapkan di kota padat seperti Jakarta?
-
Siapa yang akan mengawasi dan menindak pelanggaran dengan sumber daya terbatas?
Jika tidak hati-hati, kebijakan yang bermaksud baik bisa berubah menjadi alat penindasan terhadap rakyat kecil.
Penutup: Regulasi Harus Bijak, Bukan Sekadar Larangan
Raperda KTR perlu dibahas lebih inklusif, melibatkan pelaku usaha kecil, asosiasi pedagang, dan warga terdampak secara langsung. Pemerintah juga harus membuka ruang dialog terbuka, bukan hanya mendengar dari satu sisi.
Karena pada akhirnya, kesehatan masyarakat penting, tapi keberlangsungan hidup ekonomi rakyat juga tak kalah penting.
Jangan sampai rokok menjadi kambing hitam atas kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Atur dengan adil, bukan larang sepihak.