FYP Media.ID – Senin, 5 Mei 2025 – Dalam pernyataan terbaru yang mengejutkan dunia perfilman dan mempertegas kembali strategi politik proteksionisnya menjelang Pemilu Presiden 2024, mantan Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, menyampaikan ancaman bahwa jika ia terpilih kembali sebagai pemimpin negara adidaya tersebut, maka ia akan mengenakan tarif sebesar 100% terhadap film-film Hollywood yang diproduksi di luar negeri, sebuah langkah yang ia klaim bertujuan untuk “mengembalikan pekerjaan kepada rakyat Amerika” dan “menghentikan penyalahgunaan label ‘film Amerika’ oleh rumah produksi yang secara terang-terangan lebih memilih membelanjakan anggarannya di negara lain ketimbang di tanah airnya sendiri,” pernyataan yang sontak menimbulkan gelombang kritik dan kekhawatiran di kalangan pelaku industri hiburan, karena pada kenyataannya, praktik produksi lintas negara telah lama menjadi bagian integral dari ekonomi kreatif global, di mana berbagai rumah produksi besar seperti Warner Bros, Paramount, Universal, dan Disney kerap memanfaatkan insentif pajak, biaya produksi yang lebih rendah, serta keberagaman lokasi yang ditawarkan oleh negara-negara seperti Kanada, Inggris, Australia, Selandia Baru, bahkan Hungaria dan Afrika Selatan, yang tidak hanya membantu menekan biaya produksi tetapi juga memperkaya nilai estetika dan budaya dari film yang dihasilkan,
Baca Juga : Trump Bebaskan Top 3 Smartphone & Chip dari Tarif Impor China, Industri Teknologi AS Langsung “Nafas Lega
sementara bagi Trump, praktik tersebut dianggap sebagai bentuk pelarian ekonomi yang merugikan pekerja dalam negeri, padahal kenyataannya industri perfilman AS tetap menjadi penggerak utama bagi ekspor budaya Amerika di seluruh dunia dan menyumbang miliaran dolar setiap tahunnya, baik melalui pendapatan box office, distribusi digital, maupun merchandise, dan apabila ancaman tarif 100% ini benar-benar diwujudkan, maka kemungkinan besar akan menimbulkan gangguan serius terhadap ekosistem produksi film global yang telah dibangun selama puluhan tahun, di mana banyak proyek berskala besar seperti film Marvel, franchise Fast and Furious, hingga film-film independen bertaraf internasional telah sangat bergantung pada kerja sama lintas negara untuk mendapatkan kualitas maksimal dengan anggaran yang efisien, dan langkah Trump ini juga dikhawatirkan akan memicu retaliasi dagang dari negara-negara yang merasa terdampak, yang bisa berujung pada pembatasan distribusi, hambatan diplomatik, atau bahkan disrupsi pada penyiaran film-film Amerika di luar negeri, sehingga memperlemah daya saing budaya AS secara global, apalagi mengingat perkembangan platform streaming seperti Netflix, Disney+, Amazon Prime, hingga Apple TV+ yang semakin memperluas pasar film lintas batas geografis, menjadikan konsep “film Amerika” tidak lagi terikat secara mutlak pada lokasi fisik produksinya, melainkan pada nilai, tema, dan kreativitas yang ditanamkan oleh para pembuat filmnya, serta distribusinya yang menjangkau penonton dari berbagai belahan dunia tanpa memedulikan lokasi syuting atau pos produksi, sehingga ancaman Trump ini dinilai oleh banyak pihak sebagai langkah simbolis yang lebih ditujukan untuk menarik simpati politik dari basis pemilih nasionalis dan proteksionis, ketimbang sebuah kebijakan praktis yang dapat diterapkan secara efektif tanpa menimbulkan dampak negatif yang luas, dan sejumlah tokoh perfilman pun langsung menyampaikan keprihatinan mereka terhadap pernyataan ini, termasuk sutradara-sutradara pemenang Oscar yang menyuarakan pentingnya mempertahankan kebebasan kreatif serta fleksibilitas ekonomi dalam proses produksi film, sementara asosiasi profesional seperti Producers Guild of America (PGA) dan Directors Guild of America (DGA) juga menekankan bahwa kerja sama internasional telah menjadi tulang punggung keberhasilan banyak film Amerika dan bahwa pembatasan dengan alasan nasionalisme ekonomi hanya akan mempersempit cakrawala sinema Amerika serta melemahkan posisi dominannya dalam peta budaya global, terlebih dengan meningkatnya kemampuan negara-negara lain dalam memproduksi film berkualitas tinggi, baik dari sisi teknis maupun artistik, sehingga apabila industri Hollywood mulai tersendat karena hambatan tarif, maka bukan tidak mungkin negara-negara lain seperti Korea Selatan, India, Jerman, hingga Nigeria (Nollywood) akan mengisi kekosongan tersebut dengan cepat dan memperbesar pengaruhnya dalam pasar global, yang pada akhirnya justru merugikan posisi AS dalam “soft power” budaya dunia, dan perlu dicatat pula bahwa selama masa kepresidenannya,
Baca Juga : Rupiah Menguat ke Rp 16.787 Per Dollar AS, Pengecualian Tarif Trump Pemicunya
Trump telah berkali-kali menunjukkan ketidaksukaannya terhadap industri hiburan arus utama yang ia anggap terlalu liberal, elitis, dan tidak mewakili nilai-nilai Amerika tradisional, yang membuat banyak pengamat menduga bahwa ancaman ini juga merupakan bagian dari upaya lebih besar untuk membungkam suara-suara kritis dari dunia seni dan budaya yang selama ini dikenal vokal menentangnya, sehingga ketika ancaman tarif ini muncul, tidak hanya para pelaku industri hiburan yang bereaksi, tetapi juga para aktivis kebebasan berekspresi, akademisi, hingga masyarakat sipil yang khawatir bahwa kebijakan semacam ini bisa menjadi bentuk sensor ekonomi terselubung yang membatasi kreativitas dengan dalih ekonomi nasional, dan pada akhirnya, pertanyaan besar yang muncul dari pernyataan Trump ini adalah: apakah negara dengan warisan budaya sinema yang kuat seperti Amerika Serikat akan terus memimpin dunia melalui keterbukaan, inovasi, dan kerja sama lintas batas, atau justru mundur ke dalam semangat proteksionisme sempit yang mengorbankan keunggulan kreatif demi kepentingan politik jangka pendek, sementara para pembuat film, seniman, dan penonton global terus berharap bahwa seni tetap dapat menjadi ruang bebas yang melampaui sekat politik, ekonomi, dan ideologi, sebagai cerminan jujur dari kemanusiaan yang bersifat universal.