FYPMEDIA.ID – Ketika perkembangan teknologi sudah begitu maju maka apalagi yang harus diperbarui? Mungkin itu yang dipikirkan sebagian orang, tetapi tidak dengan ide yang dirumuskan oleh pemerintah Jepang. Perkembangan teknologi yang begitu pesat, bahkan adanya peran manusia yang tergantikan oleh robot cerdas, dianggap dapat mendegradasi peran manusia. Hal ini yang melatarbelakangi lahirnya Society 5.0 yang diperkenalkan di kantor Perdana Menteri Jepang pada hari senin, 21 Januari 2019.
Pada Pidato Shinzo Abe dan World Economic Forum di Davos, Januari 2019 mengatakan bahwa era Society 5.0, yaitu masyarakat yang berpusat pada manusia untuk menyeimbangkan kemajuan ekonomi dan teknologi dengan menyelesaikan masalah melalui sistem yang mengintegrasikan dunia maya dan ruang fisik atau disebut Super Smart Society.
Secara sederhana, era ini dapat diartikan sebagai suatu konsep masyarakat yang berpusat pada manusia dan berbasis teknologi. Sebelum adanya era Society 5.0, era ini merupakan bentuk sejarah perkembangan masyarakat ke-5. Secara kronologis perkembangan masyarakat dimulai dari era perburuan (Society 1.0), berlanjut ke era pertanian (Society 2.0), industri (Society 3.0), dan informasi (Society 4.0). Kemudian, sampailah pada era Society 5.0. Konsep Society 5.0 ini muncul akibat Revolusi Industry 4.0. Society 5.0 merupakan suatu konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered) dan juga berbasis teknologi (technology based) yang telah sukses dikembangkan di Jepang.
Jika pada masa sebelumnya masyarakat Industry 4.0 itu mencari, mengambil, dan menganalisis informasi atau data di dunia maya melalui internet, tetapi pada era Society 5.0 sejumlah besar informasi didapatkan dari sensor ruang fisik kemudian terakumulasi di dunia maya. Tujuan dari Society, yaitu mencapai kesejahteraan manusia, baik fisik maupun nonfisik. Tujuan pembangunan sendiri telah dirumuskan bersama oleh negara-negara dunia yang kemudian dirangkum dalam SDGs.
Perkembangan teknologi tidak dapat dipisahkan dari peran perempuan dan fase ketika menuju era Society 5.0 ini memiliki PR yang ternyata belum tuntas salah satunya yaitu kesetaraan gender. Kesetaraan gender sudah ada sejak lama meskipun sampai saat ini masih banyak orang yang bias gender. Sebelumnya, masih banyak persoalan perempuan yang belum terselesaikan dan hal ini menunjukkan bahwa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) dalam mengatasi kesetaraan gender belum terlaksana.
Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan adalah tujuan kelima dari tujuan pembangunan berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs). Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan, ini mencakup upaya untuk mengakhiri semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan, termasuk praktik perkawinan anak dan budaya patriarki yang membatasi kesempatan perempuan. Maka dari itu, perlu kita lihat kenyataannya bahwa sampai saat ini masih banyak yang bias gender.
Membahas mengenai apa itu gender dan kesetaraan, pengertian dari gender sendiri, yaitu suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi pengaruh sosial budaya atau bisa disebut sebagai suatu bentuk rekayasa masyarakat dan tentunya tidak bersifat kodrati, seperti pada perempuan, yaitu melahirkan, menyusui, menstruasi itu secara biologis atau secara seks.
Konsep dari gender itu sendiri, yaitu suatu sifat yang melekat, baik kaum laki-laki maupun perempuan, yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Misalnya, perempuan dikenal lembut dan cantik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gender pada hakikatnya lebih menekankan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek nonbiologis lainnya. Hal ini bahwa gender lebih menekankan aspek maskulinitas atau feminitas seseorang dalam budaya tertentu.
Perbedaan gender masih banyak yang menganggap kodrati sehingga melahirkan adanya ketidakseimbangan perlakuan jenis kelamin. Perlu digaris bawahi juga kesetaraan gender ini bukan hanya upaya untuk menjadikan laki-laki sebagai musuh yang harus dikalahkan atau menjadi persaingan melainkan bersifat nonkompetitif atau tidak bekerja berdasarkan persaingan. Oleh karena itu, kolaborasi di dalam sebuah masyarakat yang adil gender, menjadikan laki-laki dan perempuan hidup berdampingan dengan adil dan setara.
Persoalan perempuan sampai saat ini masih banyak terjadi diantaranya, yaitu perkawinan anak, diskriminasi perempuan, budaya patriarki, dan kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan, sejumlah media juga melansir bahwa angka kasus kekerasan dalam rumah tangga meningkat selama terjadinya pandemi dan kekerasan seksual yang amat saya sayangkan yaitu ketika terjadi kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang sampai saat ini masih tidak tertangani dengan serius.