FYPMedia.id — Otoritas pangan Taiwan kembali mengeluarkan peringatan keras terhadap produk makanan asal Indonesia. Kali ini, ribuan kilogram bakso goreng atau basreng produksi Isya Food dilaporkan mengandung pengawet asam benzoat melebihi batas aman, sehingga seluruh pengiriman ditahan di perbatasan.
Temuan tersebut disampaikan langsung oleh Taiwan Food and Drug Administration (TFDA) dalam laporan resminya, Kamis (30/10/2025).
Menurut lembaga itu, hasil uji laboratorium mendapati bahwa dua jenis produk basreng asal Indonesia tidak memenuhi standar keamanan pangan Taiwan dan melanggar Undang-Undang Keamanan dan Sanitasi Pangan.
“Produk yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen akan dikembalikan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan,” tegas TFDA dalam keterangan resminya.
Basreng Indonesia Ditolak Dua Kali dalam Sebulan
Dalam laporan tersebut, TFDA menjelaskan bahwa kasus ini bukan kali pertama produk basreng Indonesia ditolak masuk ke Taiwan. Penahanan terbaru pada Selasa (28/10/2025) merupakan yang kedua kalinya dalam sepekan.
Pada pemeriksaan kali ini, sebanyak 1.072 kilogram produk bakso goreng dan 1.008 kilogram basreng gurih asal Indonesia ditemukan mengandung asam benzoat dengan konsentrasi antara 0,02 hingga 0,05 gram per kilogram.
Produk tersebut diimpor oleh Taiwan Sheba Enterprise Co., sedangkan produsen di Indonesia tercatat berasal dari Isya Food, sebuah perusahaan pengolah makanan kering berbasis di Jawa Barat.
“Bakso goreng dengan jumlah 1.072 kilogram ditemukan mengandung asam benzoat 0,05 g/kg, sedangkan basreng gurih 1.008 kilogram mengandung 0,02 g/kg,” tulis TFDA.
Asam benzoat memang dikenal sebagai bahan pengawet yang banyak digunakan pada makanan olahan untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
Namun, penggunaan zat ini pada kategori makanan seperti bakso goreng tidak diperbolehkan di Taiwan karena tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan pangan yang diizinkan dalam Standar Spesifikasi, Cakupan, Penerapan, dan Batasan Bahan Tambahan Pangan Taiwan.
Baca Juga: Tarif Transjakarta Naik Jadi Rp5.000–7.000 di 2025, DPRD Sebut Masih Wajar dan Strategis
Pelanggaran terhadap Regulasi Keamanan Pangan Taiwan
Menurut TFDA, pelanggaran tersebut dianggap serius karena bertentangan langsung dengan Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Keamanan dan Sanitasi Pangan Taiwan, yang mengatur penggunaan bahan aditif pada produk konsumsi.
“Berdasarkan ‘Ruang Lingkup, Batasan, dan Spesifikasi Bahan Tambahan Pangan’, produk-produk yang disebutkan dalam laporan ini tidak termasuk dalam daftar makanan yang diizinkan,” ungkap TFDA dalam laporan lanjutan.
Pemerintah Taiwan menegaskan tidak akan memberikan toleransi terhadap pelanggaran yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen.
Karena itu, ribuan kilogram basreng asal Indonesia tersebut akan dikembalikan atau dimusnahkan sepenuhnya.
Kasus Serupa Sudah Terjadi Pekan Lalu
Yang menarik, insiden kali ini terjadi hanya seminggu setelah penahanan produk serupa. Pada Selasa (21/10/2025), TFDA juga telah menolak masuknya 1.008 kilogram “Basreng Cracker” dari perusahaan yang sama.
Dalam pengujian sebelumnya, kadar asam benzoat pada produk itu bahkan jauh lebih tinggi, yakni 0,93 gram per kilogram—hampir 20 kali lipat lebih besar dari temuan terbaru.
“Sebanyak 1.008 kilogram produk ‘Basreng Cracker’ kala itu ditemukan mengandung pengawet asam benzoat sebesar 0,93 gram per kilogram,” tulis TFDA.
Dengan dua kali penolakan dalam waktu singkat, otoritas Taiwan kini mulai memperketat pengawasan terhadap semua produk olahan asal Indonesia, khususnya makanan ringan berbahan tepung dan daging.
Dampak bagi Citra Ekspor Makanan Indonesia
Temuan ini menjadi peringatan keras bagi industri makanan Indonesia, terutama produsen yang mengekspor produk olahan ke luar negeri.
Taiwan merupakan salah satu pasar potensial di Asia Timur untuk produk kuliner khas Indonesia, termasuk keripik, basreng, dan camilan pedas.
Namun, insiden berulang seperti ini dapat mencoreng citra keamanan pangan Indonesia di mata dunia.
Pasalnya, kasus yang berkaitan dengan penggunaan bahan kimia berlebih dapat menurunkan kepercayaan importir dan konsumen luar negeri terhadap merek-merek asal Tanah Air.
Pakar pangan dan keamanan produk ekspor, Dr. Andri Wibowo, menjelaskan bahwa setiap negara memiliki batas aman penggunaan bahan pengawet yang berbeda.
Produsen di Indonesia perlu menyesuaikan komposisi produk dengan regulasi negara tujuan ekspor.
Asam benzoat memang diizinkan dalam batas tertentu di beberapa kategori makanan. Namun, di Taiwan, penggunaannya sangat ketat dan tidak boleh diterapkan untuk semua jenis makanan.
Ia menambahkan, industri makanan Indonesia harus mulai bertransformasi menuju produksi yang lebih higienis dan transparan, termasuk memperhatikan sertifikasi dan uji laboratorium sebelum pengiriman.
Baca Juga: Bahlil Soroti 1 Tambang Emas Ilegal di Pegunungan Arfak, ESDM Siap Legalkan Melalui Skema Rakyat
Produk dari Negara Lain Juga Gagal Lolos Pemeriksaan
Menariknya, basreng asal Indonesia bukan satu-satunya produk yang ditahan oleh otoritas Taiwan.
TFDA juga mencatat beberapa produk impor dari negara lain gagal memenuhi standar keamanan pangan.
Di antaranya, keju asal Prancis dan Swiss yang ditemukan mengandung bakteri Escherichia coli dalam jumlah berlebihan.
Selain itu, melon dari Jepang, daun lobak dan kepiting bulu asal China, serta selada dari Malaysia juga ditolak karena tidak memenuhi kriteria sanitasi.
Langkah tegas TFDA ini memperlihatkan komitmen Taiwan terhadap keamanan pangan nasional.
Negara tersebut dikenal memiliki standar ketat terhadap bahan pengawet, pestisida, dan mikroorganisme berbahaya dalam produk impor.
Peringatan bagi Industri Kuliner Tanah Air
Kasus basreng ini menjadi wake-up call bagi para produsen makanan Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam penggunaan bahan tambahan.
Isya Food sebagai produsen yang terlibat belum mengeluarkan pernyataan resmi, namun publik menuntut adanya klarifikasi dan komitmen peningkatan mutu produksi.
Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga diharapkan meningkatkan pengawasan terhadap produk ekspor makanan olahan, agar kejadian serupa tidak terulang.
Pengamat industri pangan, Ratri Ananda, menilai kasus ini bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperbaiki rantai pasok pangan dan sistem sertifikasi ekspor.
Kalau Indonesia ingin memperluas ekspor makanan, maka standardisasi harus jadi prioritas. Tidak cukup enak dan laku di dalam negeri, tapi juga harus memenuhi standar global.
 
				
 
		 
		