FYPmedia.id – Skill dunia kerja terus berubah dengan cepat, dan tahun 2025 menjadi momen krusial dalam transformasi kebutuhan tenaga kerja. Perusahaan-perusahaan kini tidak hanya mencari kandidat dengan ijazah akademik semata, tetapi juga menekankan keterampilan spesifik yang relevan dengan tantangan industri digital. Berdasarkan laporan terbaru dari World Economic Forum dan observasi berbagai HRD di Indonesia, keterampilan seperti penguasaan artificial intelligence (AI), kemampuan mengelola data, dan pola pikir adaptif menjadi yang paling dicari tahun ini.
Penguasaan teknologi AI kini tak lagi menjadi keahlian khusus untuk programmer atau engineer saja. Banyak perusahaan mulai mengintegrasikan AI ke dalam proses kerja harian seperti otomatisasi customer service, analisis data pemasaran, hingga pengambilan keputusan strategis berbasis machine learning. Oleh karena itu, calon pekerja yang memahami dasar-dasar AI, mulai dari penggunaan tools generatif seperti ChatGPT hingga pemahaman etika penggunaan AI, dinilai memiliki nilai tambah yang signifikan. Kursus singkat atau sertifikasi AI kini bahkan dijadikan syarat dalam beberapa rekrutmen posisi non-teknis, seperti marketing, content creation, dan HR analytics.
Di sisi lain, keterampilan dalam mengelola dan menafsirkan data (data literacy) menjadi kompetensi yang wajib dikuasai. Tidak hanya untuk profesi data analyst, bahkan staf administrasi hingga manajer operasional kini dituntut untuk mampu membaca insight dari dashboard, mengoperasikan perangkat lunak spreadsheet canggih, hingga memahami pola tren berdasarkan data penjualan dan perilaku konsumen. Di tengah banjir data digital, kemampuan menyaring informasi yang relevan dan mengambil keputusan berbasis bukti (evidence-based decision making) menjadi kekuatan kompetitif.
Namun lebih dari sekadar teknologi dan data, HRD masa kini juga sangat mempertimbangkan keterampilan non-teknis, terutama adaptif thinking—kemampuan untuk cepat menyesuaikan diri dengan perubahan, berpikir solutif di tengah ketidakpastian, serta terus belajar tanpa perlu disuruh. Adaptif thinking mencerminkan fleksibilitas mental, yang sangat diperlukan ketika pekerja menghadapi tantangan baru seperti perubahan sistem kerja hybrid, target pasar yang dinamis, hingga tekanan kompetitif dari perusahaan global.
Perubahan preferensi ini tercermin dari sistem seleksi kerja yang semakin mengedepankan penilaian berbasis keterampilan (skill-based hiring). Banyak perusahaan tidak lagi kaku dengan latar belakang pendidikan, dan lebih menilai kesiapan kandidat dari portofolio kerja, sertifikasi mandiri, hingga pengalaman dalam menyelesaikan studi kasus. Platform seperti LinkedIn dan JobStreet juga menunjukkan peningkatan minat perusahaan terhadap kandidat dengan badge skill tertentu seperti “AI for Business,” “Advanced Excel,” atau “Agile Thinking.”
HRD dari berbagai sektor juga menyampaikan bahwa ke depan, keterampilan kolaboratif, literasi digital, dan kepemimpinan berbasis empati juga akan makin dihargai. Mereka tidak mencari kandidat yang sempurna, tetapi individu yang mau tumbuh, terbuka terhadap umpan balik, dan punya komitmen terhadap pembelajaran berkelanjutan.
Dengan kondisi dunia kerja yang semakin kompetitif dan serba digital, lulusan baru dan profesional yang ingin naik jenjang karier perlu mempersiapkan diri dengan keterampilan yang relevan. Mendaftar pelatihan daring, membangun portofolio digital, serta aktif mengikuti perubahan tren industri akan menjadi kunci untuk tetap relevan di era 2025 dan seterusnya. (Ra)