FYP Media -Dalam kehidupan, kita sering bertemu dengan berbagai macam perbedaan, mulai dari warna kulit, bahasa, budaya, bahkan agama sekalipun yang menandakan heterogenitas kehidupan dunia. Kehidupan kita sehari-hari sebelum dicampuri oleh kepentingan tertentu -agama, politik, ekonomi- berjalan wajar sebagaimana adanya, tanpa banyak mempertimbangkan apakan ini benah atau salah, bid’ah atau tidak, boleh atau tidak boleh. Sikap toleransi beragama disebut pluralisme Agama.
Tatkala manusia telah memiliki kepentingan -anggaplah kepentingan politik, ideologi, agama dan lainnya- yang mengangkat sampai pada batas “kesadaran” manusia, maka pluralitas yang awalnya dianggap biasa saja, wajar dan alamiah seketika berubah menjadi begitu problematik. Berbagai macam tolak ukur, sudut pandang dan keputusan dapat diambil secara sepihak dengan memperhitungkan keuntungan (maslahat) dari setiap kelompok.{Baca: Dinamika Islam Kultural}
Al-Qur’an tidak pernah luput dalam menanggapi fenomena pluralisme tersebut. Bahwa persatuan dan perpecahan memang terjadi di setiap masa pengutusan nabi. Pernyataan tersebut tidak perlu dianggap begitu serius, bahwa setiap agama memang memiliki keyakinan kebenarannya sendiri (truth claim) yang diyakini oleh pemeluk agamanya.
Dengan menyadari heterogenitas agama yang ada dan dampak yang mungkin timbul dari pada perbedaan tersebut, maka Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia memberikan solusi yang praksis, konstruktif untuk menumbuhkan tenggang rasa dan simpati antara satu dengan yang lain.
Misal dalam surat al An’am ayat 108, bahwa seorang muslim tidak boleh menghina sesembahan agama lain “Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”
Imam al-Qurthubi dalam tafsir al-Qurthubi menjelaskan bahwa perbuatan menghina sesembahan agama lain hanya akan menjauhkan mereka dari agama Islam, serta bertambahnya kekafiran mereka terhadap Allah Swt. Dalam konteks keindonesiaan dapat kita pahami bahwa bahwa menghina agama lain, tidak akan membuat keimanan mereka runtuh, sebaliknya, mereka akan semakin jauh dan hanya menciptakan ketegangan rasa di antara penganut agama.
Al-Hajj ayat 40, tentang larangan perusakan tempat ibadah agama lain, “…Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah…”
Dijelaskan dalam tafsir al-Qurthubi, bahwa ayat ini menerangkan tentang larangan menghancurkan tempat-tempat ibadah (gereja) ahl dzhimmah (non-muslim yang mendapatkan jaminan keamanan). Demikian bunyi ungkapan tersebut,
تضمنت هذه الآية المنع من هدم كنائس أهل الذمة ، وبيعهم، وبيوت نيرانهم
“Ayat ini mengandung makna tentang larangan menghancurkan gereja-gereja ahl dzimmah, biara-biara dan rumah peribadan untuk api (majusi)”.
Dalam konteks keindonesiaan, terdapat 6 agama yang di akui di Indonesia, semuanya itu memiliki tempat peribadatannya masing-masing. Islam dengan masjidnya, Kristen dan Katolik dengan gerejanya, Hindu dengan pura, Budha dengan vihara, dan Khonghucu dengan klenteng/litangnya. Semua tempat peribadatan tersebut perlu dihormati dan dijaga dengan penuh rasa aman. Sebab kondisi negara Indonesia tidaklah dalam kondisi perang, melainkan damai. Sehingga yang perlu dilakukan ialah saling menghargai untuk menumbuhkan tenggang rasa di antara pemeluk agama.
Selain itu terdapat dalam surah Al-Baqarah 256, bahwa keimanan tidak dilandasi dengan paksaan. Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Bahwa keimanan seseorang tidak berdiri di atas paksaan dan tekanan, iman berdiri di atas keyakinan terhadap Allah Swt.
Nabi adalah presenden nyata bagi umatnya dalam menyerukan kedamaian. Tatkala di madinah, Islam telah menjadi mayoritas, namun nabi tetap bersikap baik kepada umat nasrani dan yahudi, bahkan menjamin keamanan mereka melalui deklarasi madinah.
Mengakui eksistensi agama lain merupakan kesadaran kita sebagai makhluk yang lemah di sisi-Nya.
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ
“Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin?” Qs. Yunus: 99