FYPMedia.id – Pemerintah resmi menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang menandai babak baru dalam perjalanan transisi energi Indonesia.
Salah satu poin krusial dari beleid yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 15 September 2025 ini adalah penerapan pajak karbon bagi pemanfaatan energi fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam.
Kebijakan ini bukan sekadar instrumen fiskal, tetapi juga strategi jangka panjang untuk menekan emisi karbon, memperkuat fondasi ekonomi hijau, dan meningkatkan likuiditas bursa karbon Indonesia.
Pemerintah Mulai Terapkan Pajak Karbon untuk Energi Fosil
Berdasarkan isi Pasal 83 PP 40/2025, pemerintah pusat dapat mengenakan pajak karbon terhadap penggunaan energi tak terbarukan secara bertahap, dengan mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan.
“Pengenaan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,” bunyi Pasal 83 ayat 2 beleid tersebut.
Langkah ini menegaskan arah baru kebijakan energi nasional yang lebih berorientasi pada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mendorong pelaku industri beralih ke energi bersih.
Selain mekanisme pajak, pemerintah juga menyiapkan skema insentif atau pembayaran berbasis kinerja (result-based payment) bagi pelaku usaha yang berhasil menurunkan emisi di sektor energi.
Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 84, yang menyebut bahwa baik pemerintah pusat, daerah, maupun badan usaha dapat memperoleh imbal hasil atas upaya pengurangan emisi melalui mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya memberi tekanan pada sektor pengguna energi fosil, tetapi juga membuka peluang besar bagi sektor yang berinvestasi dalam proyek energi terbarukan dan konservasi energi.
Baca Juga: Gaji Bebas Pajak Hingga Rp10 Juta, Stimulus Ekonomi bagi Sektor Padat Karya
Pajak Karbon 2025 Jadi Momentum Besar Bagi Bursa Karbon
Kehadiran PP 40/2025 mendapat sambutan positif dari kalangan analis dan pelaku pasar. Hendra Wardana, Analis sekaligus Founder Stocknow.id, menilai kebijakan ini akan menjadi katalis penting bagi pertumbuhan perdagangan karbon di Indonesia, khususnya di IDX Carbon—bursa karbon yang dikelola oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Dengan adanya kepastian hukum, pasar karbon yang sebelumnya berjalan terbatas kini memiliki dasar regulasi yang lebih kuat untuk tumbuh dan menjadi instrumen penting dalam pembiayaan transisi energi hijau,” ujar Hendra, dikutip dari KONTAN, Selasa (21/10/2025).
Menurutnya, regulasi ini memberi dua opsi strategis bagi pelaku usaha:
- Membayar pajak karbon jika tetap mengandalkan energi fosil.
- Mengompensasi emisi dengan membeli kredit karbon dari proyek-proyek yang berhasil menurunkan emisi.
Skema ini akan menciptakan permintaan nyata terhadap kredit karbon, mendorong terbentuknya harga pasar yang lebih wajar, serta meningkatkan peran swasta dalam pembiayaan proyek hijau.
“Kondisi ini akan menciptakan permintaan riil terhadap kredit karbon, mendorong terbentuknya harga pasar yang lebih wajar, serta meningkatkan peran sektor swasta dalam mendanai proyek hijau,” lanjut Hendra.
Selain itu, kejelasan regulasi membuat investor, baik domestik maupun asing, lebih percaya diri dalam berpartisipasi. Risiko regulasi yang sebelumnya tinggi kini menurun, menjadikan pasar karbon Indonesia semakin menarik di kawasan Asia Tenggara.
Tiga Dampak Ekonomi Langsung dari PP 40/2025
1. Meningkatkan Likuiditas Bursa Karbon
Hendra menyebut, kejelasan hukum dan mekanisme pajak karbon akan meningkatkan transaksi kredit karbon di bursa.
Dengan adanya kewajiban dan insentif yang jelas, perdagangan tidak lagi bersifat sukarela, tetapi menjadi kebutuhan industri.
“Dari sisi bursa karbon, kejelasan regulasi ini berpotensi besar meningkatkan likuiditas perdagangan,” ungkapnya.
2. Mendorong Dekarbonisasi di Dunia Usaha
Banyak perusahaan energi, manufaktur, dan pertambangan kini mulai mengintegrasikan strategi dekarbonisasi ke dalam model bisnisnya.
Kewajiban pajak karbon dan peluang mendapatkan insentif menjadikan efisiensi energi bukan sekadar citra korporasi, tetapi juga keputusan ekonomi strategis.
3. Meningkatkan Daya Tarik Investasi Hijau
Lembaga keuangan mulai melirik peluang dari sektor karbon, dengan merancang produk derivatif berbasis karbon serta skema pembiayaan ramah lingkungan.
Hal ini akan memperluas basis investor dan memperkuat arus modal ke sektor hijau.
Nilai Perdagangan Karbon Meningkat 483% di 2025
Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, total nilai perdagangan karbon di IDX Carbon sepanjang 1 Januari – 22 Agustus 2025 telah mencapai Rp 24,74 miliar, setara 696.763 ton CO₂ ekuivalen (tCO₂e).
Angka ini melonjak 483% dibanding periode yang sama tahun 2024, yang hanya sebesar Rp 6,14 miliar atau 119.463 tCO₂e.
Kenaikan signifikan ini menunjukkan antusiasme pasar terhadap potensi ekonomi karbon nasional.
Dengan adanya payung hukum baru melalui PP 40/2025, tren ini diperkirakan akan terus meningkat, seiring dengan bertambahnya perusahaan yang wajib melakukan kompensasi emisi.
Baca Juga: Kenaikan Pajak Properti di 2025: Apa yang Berubah?
Kebijakan Energi Nasional: Antara Pajak dan Insentif
Melalui PP 40/2025, pemerintah menegaskan keseimbangan antara pendekatan fiskal dan pendekatan insentif.
Pajak karbon berfungsi sebagai “tongkat” yang mendorong perubahan perilaku industri, sementara insentif berbasis kinerja berfungsi sebagai “hadiah” bagi mereka yang proaktif menurunkan emisi.
Pendekatan ganda ini sejalan dengan strategi transisi energi berkeadilan (just energy transition) yang diusung pemerintah.
Artinya, perubahan menuju energi bersih dilakukan secara bertahap, tanpa menimbulkan guncangan besar bagi sektor ekonomi dan sosial.
Menuju Ekonomi Rendah Karbon dan Target Net Zero Emission 2060
Hendra menilai, dengan kombinasi antara pajak karbon, insentif, dan regulasi perdagangan karbon, Indonesia kini memiliki fondasi yang lebih kuat untuk mencapai target net zero emission pada 2060.
“Dengan kombinasi faktor tersebut, bursa karbon Indonesia berpeluang tumbuh di kawasan Asia Tenggara, sekaligus menjadi instrumen strategis dalam mendukung target net zero emission pada 2060,” jelas Hendra.
Lebih jauh, penerapan pajak karbon juga akan mendorong pemerintah mempercepat investasi di sektor energi terbarukan, teknologi penangkapan karbon (CCS), serta inovasi energi bersih lainnya.
