Writer: Raodatul - Minggu, 21 Desember 2025 08:00:00
FYPMedia.id - Kasus kusta kembali menjadi sorotan publik internasional setelah penyakit yang lama dianggap “hilang” ini terdeteksi di Rumania untuk pertama kalinya dalam 44 tahun terakhir.
Mengejutkannya, dua pasien yang teridentifikasi merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di sebuah tempat spa.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) memastikan telah berkoordinasi dengan otoritas kesehatan setempat untuk memulangkan kedua WNI tersebut ke Indonesia agar dapat menjalani pengobatan lanjutan.
Laporan kasus ini diterima pada awal Desember 2025, dan dari hasil penelusuran epidemiologis, diketahui bahwa penularan terjadi di Bali, bukan di Eropa, dan bersumber dari kontak keluarga, yakni ibu pasien.
Munculnya kembali kasus ini memicu kekhawatiran masyarakat luas. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah: apakah kusta benar-benar mudah menular dan berbahaya bagi lingkungan sekitar?
Kusta Tidak Semudah Itu Menular: Penjelasan Resmi WHO
Kusta, atau lepra, hingga kini masih menjadi salah satu penyakit yang paling banyak disalahpahami. Banyak orang mengira kusta sangat menular, mudah menyebar lewat sentuhan, bahkan dianggap sebagai “kutukan”. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan sebaliknya.
WHO menyatakan bahwa kusta bukan penyakit yang mudah menular, dan dapat sembuh total apabila didiagnosis serta diobati sejak dini dengan terapi yang tepat.
“Kusta menular melalui droplet atau percikan air liur dari hidung dan mulut pengidap kusta yang belum diobati, mengandung bakteri Mycobacterium leprae. Penularan ini terjadi setelah kontak dekat dan berkepanjangan,” jelas WHO, dilansir dari detikcom, Minggu (21/12/2025).
Artinya, penularan tidak terjadi secara instan dan bukan lewat interaksi sosial biasa. Dibutuhkan kontak erat dalam jangka panjang, seperti tinggal serumah atau berinteraksi intens selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun dengan penderita yang belum mendapatkan pengobatan.
Baca Juga: Waspada Kusta: Gejala Awal di Kulit yang Sering Diabaikan Masyarakat
WHO juga menegaskan bahwa kusta tidak menyebar melalui kontak kasual, seperti:
- berjabat tangan,
- berpelukan,
- makan bersama,
- duduk berdekatan,
- menggunakan transportasi umum.
Fakta penting lainnya, pasien kusta berhenti menularkan penyakit setelah mengonsumsi obat pertama dalam pengobatan standar.
Apa Itu Kusta? Lebih dari Sekadar Penyakit Kulit
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi, selaput lendir saluran pernapasan atas, dan mata.
Kusta juga dikenal sebagai penyakit Hansen, diambil dari nama ilmuwan Gerhard Armauer Hansen yang menemukan bakteri penyebabnya pada tahun 1873.
Meski dapat menyebabkan kecacatan permanen jika terlambat ditangani, kusta sejatinya bisa disembuhkan sepenuhnya.
Masalah utama yang masih terjadi hingga kini bukanlah pada pengobatannya, melainkan pada keterlambatan diagnosis dan stigma sosial.
Gejala Kusta yang Sering Tidak Disadari
Salah satu tantangan terbesar dalam pengendalian kusta adalah gejalanya yang berkembang sangat lambat. Banyak penderita tidak menyadari infeksi pada tahap awal.
Gejala awal yang perlu diwaspadai antara lain:
- Bercak putih atau kemerahan pada kulit yang mati rasa
- Penurunan sensasi sentuhan, nyeri, atau suhu
- Kelemahan otot, terutama di tangan dan kaki
- Penebalan saraf tepi yang terasa seperti benjolan
- Mata kering atau jarang berkedip
- Hidung tersumbat kronis atau mimisan
WHO menyebut diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan setidaknya satu dari tiga tanda utama:
- Hilangnya rasa pada bercak kulit,
- Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi,
- Ditemukannya basil kusta pada pemeriksaan apus kulit.
Jenis Kusta Menurut WHO
Untuk keperluan terapi, WHO mengelompokkan kusta menjadi dua kategori utama:
1. Paucibacillary (PB)
- 1–5 lesi kulit
- Tidak ditemukan bakteri pada apus kulit
2. Multibacillary (MB)
- Lebih dari 5 lesi kulit, atau
- Ada keterlibatan saraf, atau
- Bakteri terdeteksi, terlepas dari jumlah lesi
Klasifikasi ini sangat penting karena menentukan lama dan jenis pengobatan.
Pengobatan Kusta: Bisa Sembuh Total
WHO menegaskan bahwa kusta adalah penyakit yang dapat disembuhkan dengan terapi standar bernama Multi-Drug Therapy (MDT).
MDT terdiri dari kombinasi:
- dapsone,
- rifampisin,
- clofazimine.
Durasi pengobatan:
- 6 bulan untuk kasus PB,
- 12 bulan untuk kasus MB.
“Diagnosis dini dan pengobatan cepat sangat penting untuk mencegah kecacatan,” tegas WHO.
Kabar baiknya, obat kusta tersedia secara gratis di banyak negara, termasuk Indonesia. Pasien yang menjalani pengobatan dengan patuh dapat sembuh dan kembali menjalani kehidupan normal tanpa risiko menularkan penyakit.
Mengapa Kusta Masih Muncul? Ini Faktor Risikonya
Meski tidak mudah menular, kusta masih ditemukan di beberapa wilayah karena sejumlah faktor risiko, antara lain:
1. Kontak Erat Jangka Panjang: Tinggal serumah dengan penderita kusta aktif yang belum diobati menjadi faktor risiko terbesar.
2. Sistem Imun Lemah: Malnutrisi, penyakit kronis, atau penggunaan obat imunosupresan dapat meningkatkan kerentanan.
3. Tinggal di Daerah Endemik: Wilayah dengan sanitasi buruk dan akses kesehatan terbatas meningkatkan risiko paparan jangka panjang.
Penting dipahami, kusta bukan penyakit keturunan dan bukan aib.
Cara Efektif Mencegah Kusta Menurut WHO
WHO menilai bahwa penemuan dan pengobatan kasus saja belum cukup untuk memutus rantai penularan. Oleh karena itu, langkah pencegahan menjadi krusial.
Rekomendasi WHO meliputi:
- Pelacakan kontak keluarga dan lingkungan dekat pasien,
- Deteksi dini,
- Pemberian rifampisin dosis tunggal (SDR-PEP) sebagai pencegahan pasca-pajanan pada kontak yang memenuhi syarat.
Baca Juga: Eksim Dishidrotik: Penyakit Kulit dengan Lepuhan Gatal, ini 4 Pemicunya!
Langkah ini terbukti menurunkan risiko penularan secara signifikan. Selain itu, pencegahan sehari-hari yang dapat dilakukan masyarakat meliputi:
- Menjaga kebersihan diri
- Mengonsumsi makanan bergizi
- Istirahat cukup dan olahraga
- Melakukan skrining jika tinggal di daerah endemik
- Mempertimbangkan vaksinasi BCG sesuai anjuran dokter
Stigma Justru Lebih Berbahaya dari Penyakitnya
WHO menekankan bahwa stigma dan diskriminasi adalah hambatan terbesar dalam pengendalian kusta. Banyak pasien enggan berobat karena takut dikucilkan.
“Kusta bukan kutukan, bukan penyakit turunan, dan bukan aib,” tegas WHO.
Dengan pengobatan yang tepat dan tuntas, pasien kusta bisa sembuh total dan kembali beraktivitas seperti biasa.
Kesimpulan
Kasus kusta pada dua WNI di Rumania menjadi pengingat bahwa edukasi publik masih sangat dibutuhkan. Kusta memang penyakit menular, tetapi tidak mudah menyebar, dan bisa disembuhkan sepenuhnya.
Pemahaman yang benar, deteksi dini, pengobatan tepat, serta penghapusan stigma adalah kunci utama untuk melindungi diri dan lingkungan sekitar. Ketakutan berlebihan justru hanya memperburuk keadaan.
Dengan informasi yang akurat dan sikap yang bijak, kusta bukan lagi ancaman menakutkan, melainkan penyakit yang dapat dikendalikan dan disembuhkan.