Writer: Raodatul - Jumat, 05 Desember 2025 11:54:44
FYPMedia.id - Fenomena emotional eating di Indonesia kini menjadi alarm serius yang bukan hanya berdampak pada pola makan, tetapi juga memicu ledakan food waste nasional.
Temuan ini diangkat kembali oleh para pakar gastronomi yang menilai bahwa perilaku konsumsi masyarakat +62 mulai menjauh dari kebutuhan nutrisi dan semakin dikendalikan oleh emosi serta tren.
Dalam sebuah pernyataan penting, Sekretaris Jenderal Indonesian Gastronomy Community (IGC), Dr dr Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, menekankan bahwa masalah pemborosan makanan di Indonesia tidak bisa dilihat sebagai isu teknis semata. Menurutnya, ada akar budaya dan perilaku yang jauh lebih dalam.
"Pola makan kita adalah faktor besar yang sering diabaikan," ujar Ray dikutip dari detikcom, Jumat (5/12/2025).
Pernyataan ini diperkuat dengan riset Health Collaborative Center (HCC) tahun 2024 yang mengungkapkan bahwa 5 dari 10 orang Indonesia mengalami emotional eating, yaitu kebiasaan makan berlebih atau impulsif yang dipicu oleh tekanan emosional, bukan rasa lapar. Dampaknya sangat signifikan: food waste di rumah bisa meningkat hingga 3 kali lipat.
Emotional Eating Picu Lonjakan Food Waste 3 Kali Lipat
Menurut Ray, food waste meningkat ketika makanan dipilih berdasarkan lifestyle dan tren media sosial, bukan kebutuhan nutrisi.
Ia menjelaskan bahwa masyarakat kini makin sering memesan makanan dalam porsi besar untuk alasan estetika, demi foto yang bagus atau karena gengsi menggunakan piring besar, bukan karena benar-benar akan dihabiskan.
"Ini bukan sekadar urusan teknis dapur, tapi transformasi pola makan masyarakat," tegasnya.
Pola konsumsi yang berorientasi tampilan ini menyebabkan banyak makanan terbuang, terutama di rumah tangga dan restoran yang mengikuti gaya hidup visual di media sosial.
Ray menambahkan bahwa perubahan perilaku ini harus dikembalikan ke edukasi dasar yang dimulai sejak usia dini, terutama dari lingkungan keluarga.
Baca Juga: Penyebab Dahak Berdarah yang Wajib Diwaspadai, Plus Fakta & Riset Baru 2025
IGC: Edukasi Makan Sejak Dini adalah Kunci
Ketua Umum IGC, Ria Musiawan, memiliki pandangan senada. Menurutnya, edukasi tentang menghargai makanan sebenarnya bisa dilakukan melalui program pemerintah yang tengah berjalan, salah satunya program makan bergizi gratis (MBG) yang disalurkan di berbagai sekolah.
Guru menjadi ujung tombak dalam program edukasi ini karena mereka berinteraksi langsung dengan anak-anak setiap hari.
Ria mengatakan bahwa banyak nilai budaya Indonesia yang masih sangat relevan untuk mengajarkan pentingnya menghargai makanan. Salah satunya menggunakan pesan-pesan kearifan lokal yang sudah diwariskan turun-temurun.
"Kami mengangkat lagi pesan-pesan lama yang biasa nenek moyang kita pakai. Misalnya, 'Ayo makanannya dihabiskan, kalau tidak Dewi Sri menangis'. Pesan simpel tapi melekat," ujarnya.
Dewi Sri: Simbol Kearifan Lokal untuk Menghargai Pangan
Dalam mitologi Nusantara, Dewi Sri adalah dewi padi dan kesuburan, tokoh yang sejak dulu dipandang sebagai simbol keberlimpahan pangan. Karena itu, pesan semacam “Dewi Sri menangis jika makanan disia-siakan” menjadi cara lembut namun efektif yang diwariskan orang tua untuk mendidik anak.
"Nasihat itu nempel banget sampai sekarang, termasuk buat saya. Dan kami ingin guru-guru menyampaikan kembali pesan-pesan seperti ini agar anak sadar bahwa makanan itu harus dihabiskan," lanjut Ria.
Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai lokal, IGC percaya bahwa perubahan perilaku makan bisa dilakukan tanpa harus bergantung sepenuhnya pada pendekatan modern atau teknologis.
Program Edukasi IGC Meluas ke 5 Kota Besar
Program edukasi makan yang dijalankan IGC saat ini telah menjangkau sejumlah kota besar, antara lain:
- Jakarta
- Bandung
- Cirebon
- Bogor
- Yogyakarta
Program tersebut juga telah mendapatkan dukungan penuh dari Badan Gizi Nasional (BGN).
"Kami presentasikan dulu programnya ke BGN dan mereka mendukung. Jadi setiap kegiatan selalu dikawal dan mereka tahu persis apa yang kami lakukan," tambah Ria.
Dengan keterlibatan BGN, setiap aktivitas edukasi dipastikan sesuai standar kesehatan dan memiliki dampak nyata.
Baca Juga: Temuan Mengejutkan: Ternyata Makan Sendiri Terlalu Sering Bisa Picu Gangguan Mental-Fisik
Edukasi Makan: Dari Etika Hingga Kesehatan
Selain mengajarkan menghargai makanan, program ini juga membekali anak-anak dengan pemahaman mengenai etika makan yang baik. Hal ini meliputi:
- Cara duduk yang benar saat makan,
- Tidak membawa alat makan ke mana-mana,
- Cara mengunyah yang baik dan aman, serta
- Memahami bahwa makan tidak hanya mengenyangkan, tetapi juga penting untuk tumbuh kembang.
Ria menegaskan pentingnya hal ini untuk masa depan generasi muda. "Harapannya, anak-anak sadar bahwa makanan itu sangat penting buat perkembangan kognitif mereka. Cara makan yang benar itu sama pentingnya dengan makanan itu sendiri," tutup Ria.
Mengapa Isu Food Waste Harus Disikapi Serius?
Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang food waste terbesar di dunia. Data dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan sampah makanan 23–48 juta ton per tahun, yang menyebabkan:
- Kerugian ekonomi triliunan rupiah,
- Emisi karbon berlebih,
- Dampak lingkungan jangka panjang,
- Ketimpangan distribusi pangan, hingga
- Ancaman kekurangan gizi di beberapa daerah.
Fenomena emotional eating memperburuk masalah ini karena makanan dipesan dalam jumlah besar sebagai pelarian stres, bukan karena lapar.
Dengan 5 dari 10 orang Indonesia mengalami kondisi ini, lonjakan food waste bahkan bisa mencapai tiga kali lipat, terutama di kalangan anak muda yang aktif mengikuti tren kuliner viral.