Keputusan Mahkamah Konstitusi Menghapus Ambang Batas 4% Tahun 2029

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan MK adalah Menghapus Parliamentary Treshold 4% tahun 2029.
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Penghapusan Ambang Batas Parlemen 4% tahun 2029.

Jakarta, FYPMediaKamis, 29 Februari 2024, MK (Mahkamah Konstitusi) memutuskan menghapus ketentuan Ambang Batas Parlemen atau biasa disebut parliamentary threshold sebesar 4%. Ambang Batas Parlemen digunakan untuk pemilihan umum (pemilu) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Putusan MK ini berlaku untuk tahun 2029. Artinya mulai dari 2029 hingga seterusnya penentuan partai politik yang berhak menduduki kursi DPR tidak diharuskan memiliki suara nasional 4%. Bisa jadi lebih atau kurang, tergantung pada keputusan MK selanjutnya mengenai ambang batas parlemen. Namun, putusan ini menuai banyak kontroversi dikalangan masyarakat.

Apa itu parliamentary threshold?

 

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 48/PUU-XVIII/2020, parliamentary threshold adalah ambang batas parlemen. Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen adalah syarat yang ditentukan MK bagi partai politik, agar mendapat jatah di bangku DPR

Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 414 ayat (1) UU Pemilu, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”.

Namun pada putusan ambang batas kemarin, Mahkamah Konstitusi merasa bahwa ketentuan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen yang sebesar 4% itu tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

Isi putusan MK kemarin yakni  “norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum  adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan.

Alasan penghapusan 4% ini karena mahkamah tidak menemukan dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional.

“Namun secara faktual prinsip-prinsip tersebut telah tercederai karena berakibat banyak suara pemilih yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR, sehingga menciptakan disproporsionalitas sistem pemilu proporsional yang dianut. Hal demikian disadari atau tidak, baik langsung atau tidak telah menciderai makna kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih. Berdasarkan hal tersebut, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumen yang memadai pada dasarnya dapat dipahami oleh Mahkamah,” jelas Saldi.

Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan ambang batas parlemen jelas memiliki dampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR, yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu.

Sebagai contoh, pada Pemilu 2004 suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18% (delapan belas persen) dari suara sah secara nasional. Begitu pula dalam Pemilu 2019, terdapat 13.595.842 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 9,7% (sembilan koma tujuh persen) suara sah secara nasional. Meski pada Pemilu 2014 “hanya” terdapat 2.964.975 suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR, atau sekitar 2.4% (dua koma empat persen) dari suara sah secara nasional.

Kemudian, Saldi menjelaskan Mahkamah tetap pada pendirian bahwa ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang sepanjang penentuan tersebut menggunakan dasar metode dan argumentasi yang memadai.

Namun, apabila ketentuan ini berlaku dan pada akhirnya tidak ada batasan syarat dalam presentase suara nasional, maka kemungkinan partai-partai kecil bisa menduduki parlemen DPR.

Hal ini bisa menjadi kontroversi mengingat terdapat sebuah parta yang diketuai oleh putra presiden saat ini. Namun, suara nasional untuk partai ini sangat kecil. Dan apabila tahun 2029 nanti tidak ada syarat threshold maka putra presiden ini punya peluang untuk naik di kursi DPR.

Lantas apakah putusan MK mengenai penghapusan ambang batas ini adalah sebuah skenario belaka presiden untuk menjadikan anggota keluarganya berkuasa? Atau benar-benar hanya ingin menghapus suara nasional yang terbuang?

 

Sumber:

https://www.mkri.id