FYP Media – Ketika bencana alam, pandemi, atau konflik melanda, perhatian publik biasanya berfokus pada kebutuhan fisik seperti makanan, air bersih, dan tempat tinggal. Namun, ada satu aspek penting yang kerap terabaikan: kesehatan mental. Trauma, stres, hingga gangguan kecemasan sering muncul pada korban maupun tenaga respon bencana, tetapi layanan kesehatan mental tidak selalu tersedia atau mudah diakses.
Bagi generasi muda yang semakin peduli isu kesehatan mental, kesenjangan layanan ini menjadi sorotan. Membicarakan kesehatan mental bukan lagi tabu, melainkan kebutuhan mendesak, terutama di tengah krisis yang mengguncang kehidupan banyak orang.
Krisis tidak hanya menghancurkan fisik, tetapi juga mental. Dampak psikologis yang muncul bisa lebih lama dirasakan dibanding kerugian material.
Beberapa alasan mengapa kesehatan mental harus menjadi prioritas dalam situasi darurat:
-
Trauma Jangka Panjang: korban bencana berisiko mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).
-
Menurunnya Produktivitas dan Ketahanan Diri: stres berlebihan mengganggu kemampuan individu untuk bangkit dari krisis.
-
Kesehatan Fisik Terganggu: gangguan mental sering berhubungan dengan masalah kesehatan fisik, seperti tekanan darah tinggi atau insomnia.
-
Dampak pada Generasi Muda: anak-anak dan remaja sangat rentan terhadap trauma emosional yang dapat memengaruhi tumbuh kembang mereka.
Walaupun penting, layanan kesehatan mental menghadapi banyak hambatan, terutama di daerah terdampak bencana:
-
Keterbatasan Tenaga Profesional
Psikolog dan psikiater tidak selalu tersedia di lokasi darurat. -
Stigma Sosial
Banyak orang masih enggan mencari bantuan karena takut dicap lemah atau “tidak normal”. -
Prioritas Bantuan Fisik
Fasilitas dan logistik biasanya lebih difokuskan pada kebutuhan fisik dibandingkan mental. -
Akses Teknologi yang Terbatas
Telekonseling mungkin sulit dilakukan di daerah yang jaringan komunikasinya terganggu.
Untuk mengatasi hambatan tersebut, diperlukan pendekatan yang terintegrasi dan inovatif. Beberapa strategi yang bisa diterapkan adalah:
-
Integrasi Layanan Kesehatan Mental ke Respon Bencana
Psikolog dan konselor harus dilibatkan dalam tim darurat, berdampingan dengan tenaga medis umum. -
Pemanfaatan Teknologi Digital
Aplikasi konseling online, hotline darurat, dan telemedicine bisa menjadi solusi cepat meski infrastruktur terbatas. -
Pendidikan dan Literasi Mental
Kampanye publik penting untuk mengurangi stigma dan mendorong masyarakat berani mencari bantuan. -
Pelatihan Relawan dan Tenaga Lokal
Memberikan pelatihan dasar kesehatan mental kepada relawan membantu memperluas jangkauan layanan.
Generasi muda memiliki peran besar dalam memperjuangkan akses kesehatan mental yang lebih baik. Dengan keterampilan digital, mereka bisa:
-
Membuat platform online untuk konseling darurat.
-
Mengkampanyekan pentingnya menjaga kesehatan mental di media sosial.
-
Menginisiasi komunitas pendukung sebaya (peer support) di daerah terdampak.
Keterlibatan aktif generasi muda membuat isu ini tidak hanya dibicarakan, tetapi juga diimplementasikan dalam solusi nyata.
Jika kesenjangan layanan kesehatan mental berhasil dijembatani, dampaknya akan signifikan. Korban bencana dapat pulih lebih cepat, masyarakat lebih tangguh menghadapi krisis berikutnya, dan stigma seputar kesehatan mental semakin berkurang.
Dengan dukungan teknologi, kolaborasi lintas sektor, serta kesadaran masyarakat, layanan kesehatan mental akan menjadi bagian tak terpisahkan dari penanganan bencana. Di masa depan, kesehatan mental tidak lagi dianggap tambahan, melainkan kebutuhan dasar yang sama pentingnya dengan makanan dan tempat tinggal. (ra)