FYPMEDIA.ID – Di era digital saat ini, teknologi informasi dan komunikasi telah memberikan banyak kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Namun, di balik kemajuan teknologi tersebut, muncul pula berbagai tantangan dan ancaman baru salah satunya kekerasan seksual berbasis siber. Kekerasan seksual berbasis siber adalah segala bentuk tindakan kekerasan seksual yang dilakukan melalui platform digital atau teknologi informasi dan komunikasi. Adapun istilah lain, yaitu Kekerasan Berbasis Gender Online yang disingkat menjadi KBGO. Komnas Perempuan menyebut sebagai Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG) sedangkan dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dikenal dengan istilah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE).
Menurut catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023, angka kasus Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG) terhadap perempuan berdasar aduan yang diterima Komnas Perempuan tahun 2023 sebanyak 1.272 kasus. Terjadi penurunan jumlah kasus sebanyak 25% dibanding tahun 2022 (1.697 kasus). Penurunan jumlah kasus KSBG ini tidak dapat diartikan bahwa kasus secara umum berkurang. Data KSBG yang dilaporkan ke Komnas Perempuan mayoritas terjadi di ranah publik, yaitu sebanyak 927 kasus atau 73% dari total kasus. Riska Carolia, ahli hukum persekusi di Indonesia dari SGRC, menyatakan ada 10 bentuk kekerasan berbasis siber yang dapat terjadi pada siapa saja, yaitu:
- Doxing, yaitu perilaku mengambil data pribadi seseorang tanpa izin. Kemudian, memublikasikannya tanpa seizin pemilik data tersebut. Doxing paling mudah dilakukan melalui media sosial karena kita sering memublikasikan konten di sana. Namun, kejahatan ini tidak jarang dilakukan dengan proses hacking.
- Deflamation, yaitu pencemaran nama baik yang dilakukan beramai-ramai secara terorganisir dengan tujuan membanjiri media sosial seseorang atau laman tertentu dengan ulasan buruk sampai dengan niatan fitnah dan kabar bohong (hoaks). Upaya pencemaran nama baik ini bisa menyerang siapa saja, tetapi biasanya tokoh dengan pengaruh tertentu dengan tujuan merendahkan.
- Flaming, apabila deflamation berciri pengeroyokan secara publik, flaming menyerang personal message atau direct message. Isinya tidak jauh-jauh dari ancaman, hinaan, cercaan, pelecehan, video porno, kalimat tak senonoh, hingga GIF porno. Flaming paling sering dialami perempuan dan dilakukan tanpa persetujuan perempuan. Seorang lelaki mengirimkan foto genitalnya secara personal dengan tujuan mengajak berhubungan seks. Foto kelamin dikirimkan bersamaan dengan ajakan berhubungan seks dan apabila tidak ditanggapi, pelaku justru semakin sering melakukan flaming disertai hinaan, cercaan, ataupun pengiriman video porno.
- Hate Speech, apabila jenis pencemaran nama baik di ranah dunia maya adalah hinaan dan cercaan, hate speech dilakukan oleh individu/grup yang menyasar identitas diri seseorang dengan ciri berisi hasutan untuk kekerasan. Biasanya, hate speech terjadi pada kelompok minoritas seksual atau seseorang yang dituduh sebagai bagian dari minoritas gender dan seksual.
- Impersonating, yakni pemalsuan akun. Pemalsuan akun ini mengatasnamakan seseorang dengan tujuan pencemaran nama baik ataupun sering dilakukan oleh fan yang obsesif. Beberapa cosplayer ternama sering mengalaminya; akun-akun mereka dipalsukan dengan mengatasnamakan diri mereka dan juga menggunakan foto-foto mereka. Tentunya, akun tersebut tidak dikelola oleh mereka. Beberapa media sosial, seperti Facebook dan Instagram, sudah menindaklanjuti perilaku ini sehingga kita bisa melaporkan akun tersebut untuk ditutup.
- Deadnaming, biasanya menyerang minoritas seksual transgender, baik waria maupun transman. Deadnaming adalah perilaku melecehkan nama yang dipilih oleh minoritas gender dan memublikasikan nama lahir mereka dengan tujuan untuk menghina, mencemarkan, hingga ajakan melakukan kekerasan kepada mereka.
- Out-ing, sebuah pengertian baru dan lumayan populer. Out-ing diambil dari istilah coming-out yang biasanya dilakukan oleh minoritas seksual kepada orang terdekatnya. Perilaku out-ing dilakukan tanpa persetujuan orang yang bersangkutan dan bertujuan untuk mempermalukan orang tersebut berdasarkan identitas gender dan orientasi seksual mereka. Pelaku out-ing dengan sengaja memublikasikannya melalui dunia maya.
- Online Shaming, bentuk kejahatan ini bisa berupa gambar (dibuat meme) atau caption dengan konten dari olok-olok, hinaan, pencemaran, kabar bohong (hoaks), sampai sayembara untuk mengajak melakukan kekerasan terhadap seseorang. Online shaming adalah bentuk yang paling sering ditemui dan menyerang tokoh-tokoh tertentu. Perilaku online shaming paling sering menyasar perempuan dan keperempuanannya.
- Honey Trapping, Online dating adalah sebuah fenomena sosial yang muncul akibat perkembangan teknologi dan semakin terbatasnya waktu manusia untuk berinteraksi. Ada berbagai situs atau aplikasi kencan daring yang populer di Indonesia, sebut saja Tinder, Setipe, OkCupid, dan lainnya. Aplikasi dan situs web kencan sering disalahgunakan menjadi tindakan kekerasan yang disebut honey trapping. Ketika sudah berjanji untuk kencan darat dan bertemu luring, maka yang terjadi malah kekerasan fisik dan sering kali disertai ancaman dan pemerasan.
- Revenge porn, merupakan kasus yang paling sering dialami remaja dan dewasa muda perempuan. Contohnya, ketika sebuah hubungan berakhir dan sang mantan tidak terima, ia menyebarkan konten seksual berupa gambar telanjang, video seks, dan sebagainya sebagai ancaman agar korban kembali kepada dirinya atau sekadar mempermalukan korban. Apabila korban menolak, maka konten tersebut disebarkan ke media sosial dan internet yang lebih luas.