Generasi Z Tertarik Nulis Buku Digital, Bukan Cetak?

gen z

FYPmedia – Di tengah perkembangan teknologi dan pergeseran gaya hidup, generasi Z (lahir 1997–2012) menunjukkan ketertarikan besar pada dunia tulis-menulis, namun bukan lewat jalur konvensional seperti buku cetak. Sebaliknya, mereka justru lebih memilih buku digital (e-book) sebagai media utama untuk menyalurkan karya dan ide mereka.

Lebih Nyaman, Lebih Cepat, Lebih Fleksibel

Bagi Gen Z, menulis buku digital menawarkan banyak keuntungan praktis. Proses penerbitan tidak serumit buku cetak—cukup dengan naskah final, cover digital, dan platform self-publishing, mereka sudah bisa merilis karya ke publik dalam hitungan hari. Platform seperti Google Play Books, Wattpad, Storial, hingga Kindle Direct Publishing menjadi tempat favorit bagi penulis muda ini untuk mempublikasikan karya mereka secara mandiri.

Buku digital juga memungkinkan interaksi yang lebih aktif dengan pembaca. Fitur komentar, voting, dan rating membuat Gen Z merasa lebih dekat dan terkoneksi secara langsung dengan audiens mereka. Hal ini memberi motivasi tambahan bagi mereka untuk terus berkarya dan meningkatkan kualitas tulisannya dari waktu ke waktu.

Tema yang Dekat dengan Realita Gen Z

Berbeda dari generasi sebelumnya yang banyak menulis buku akademik atau fiksi panjang bernuansa klasik, Gen Z lebih sering memilih tema yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti mental health, quarter life crisis, self-improvement, kisah romansa modern, atau pengalaman sekolah dan kuliah.

Banyak dari mereka yang juga membagikan pengalaman pribadi dalam bentuk narasi reflektif, puisi bebas, bahkan komik digital. Ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak hanya tertarik menulis demi diterbitkan, tetapi juga untuk mengekspresikan diri dan menghubungkan pengalaman pribadinya dengan orang lain melalui medium digital.

Tren yang Didukung Data

Sebuah survei oleh Lembaga Penelitian Literasi Digital Indonesia (LPLDI) pada awal 2025 mencatat bahwa 62% responden usia 15–27 tahun lebih memilih menulis dan membaca buku digital daripada versi cetak. Selain karena alasan biaya dan akses, mereka juga menganggap buku digital lebih ramah lingkungan dan mendukung gaya hidup minimalis yang sedang tren.

Menariknya, sebagian besar dari penulis Gen Z ini memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan karya mereka. Instagram, TikTok, dan Twitter digunakan untuk membagikan kutipan, cuplikan, hingga review pembaca, yang membuat buku digital mereka semakin dikenal luas tanpa perlu promosi besar-besaran.

Bukan Anti-Cetak, Tapi Lebih Strategis

Meski lebih menyukai buku digital, bukan berarti Gen Z menolak buku cetak sepenuhnya. Banyak di antara mereka yang menjadikan buku digital sebagai batu loncatan. Setelah karya digital mereka mendapatkan pembaca setia atau viral, barulah mereka mempertimbangkan mencetak versi fisik sebagai bentuk dokumentasi atau permintaan pasar.

Strategi ini justru menguntungkan, karena mereka sudah membangun basis pembaca sejak awal. Bahkan beberapa penerbit lokal mulai menjadikan buku digital viral sebagai bahan pertimbangan untuk dicetak massal. Artinya, digital menjadi pintu masuk utama, sementara cetak menjadi pelengkap yang bersifat prestisius.

Masa Depan Dunia Kepenulisan?

Melihat tren ini, masa depan dunia menulis tampaknya akan semakin inklusif dan fleksibel. Generasi Z tidak dibatasi oleh aturan konvensional atau standar penerbitan lama. Mereka bebas bereksperimen, berkolaborasi, dan merilis karya dalam format dan tema yang mereka sukai.

Bagi para pelaku industri penerbitan, komunitas literasi, dan pendidikan, tren ini bisa menjadi peluang untuk membuka ruang-ruang baru dalam mendukung penulis muda. Dukungan dalam bentuk pelatihan penulisan digital, monetisasi e-book, dan pendampingan branding pribadi bisa menjadi jembatan yang baik untuk memperkuat budaya literasi digital di Indonesia. (ra)