Writer: Raodatul - Kamis, 25 Desember 2025 08:00:00
FYPMedia.id - Perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah membawa banyak kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Namun di balik manfaatnya, para ilmuwan mulai mengibarkan bendera merah.
Generasi Z, yang dikenal sebagai generasi paling melek teknologi, kini dinilai semakin bergantung pada chatbot AI bukan hanya sebagai sumber informasi, tetapi juga sebagai tempat mencurahkan perasaan, mencari penguatan emosional, hingga mengambil keputusan penting dalam hidup.
Fenomena ini memicu kekhawatiran serius di kalangan akademisi dan pakar kesehatan mental. Peneliti dari University College London (UCL) menilai ketergantungan emosional pada chatbot berpotensi mengganggu kemampuan anak muda membangun hubungan sosial yang sehat dan berkelanjutan di dunia nyata.
Dalam laporan yang dimuat di British Medical Journal dan dikutip oleh Daily Mail, para peneliti menegaskan bahwa interaksi dengan AI sangat berbeda dengan hubungan antarmanusia yang kompleks dan penuh dinamika emosional.
"Berbeda dengan interaksi manusia nyata, chatbot menawarkan ketersediaan dan kesabaran tanpa batas, serta kecil kemungkinannya menghadirkan sudut pandang tandingan yang menantang," tulis peneliti.
Kondisi ini, menurut mereka, bisa membentuk pola relasi yang tidak realistis dan berbahaya dalam jangka panjang.
Baca Juga: [Waspada!] 7 Fakta Pikiran Buruk Tiba-Tiba: Normal atau Tanda Bahaya Mental?
AI Selalu Ada, Manusia Tidak Selalu Hadir
Chatbot seperti ChatGPT dirancang untuk selalu responsif, tidak menghakimi, dan mampu menyesuaikan gaya bahasa dengan penggunanya.
Bagi sebagian Gen Z yang tumbuh di era kesepian digital, karakteristik ini terasa menenangkan. AI menjadi “pendengar ideal” yang selalu tersedia kapan pun dibutuhkan.
Namun justru di sinilah letak masalahnya.
"Kemungkinan yang mengkhawatirkan adalah kita sedang menyaksikan sebuah generasi yang belajar membentuk ikatan emosional dengan entitas yang meski responsnya tampak sadar, itu tidak memiliki empati, kepedulian, dan kepekaan relasional seperti manusia," lanjut peneliti UCL.
Interaksi manusia sejatinya penuh tantangan: perbedaan pendapat, konflik, dan ketidaknyamanan emosional.
Semua itu merupakan bagian penting dari proses pendewasaan psikologis. Chatbot AI, sebaliknya, cenderung memberikan respons yang menenangkan, suportif, dan jarang menantang sudut pandang pengguna secara emosional.
Bukti Riset: Semakin Lama Pakai AI, Semakin Kesepian
Kekhawatiran ini tidak berdiri di atas asumsi semata. Sejumlah studi ilmiah menunjukkan korelasi nyata antara penggunaan chatbot AI secara intens dan meningkatnya rasa kesepian.
Salah satu penelitian internal OpenAI terhadap 980 pengguna ChatGPT menemukan bahwa mereka yang menghabiskan waktu paling lama berinteraksi dengan chatbot dalam sebulan justru menunjukkan tingkat kesepian yang lebih tinggi. Mereka juga cenderung:
- Lebih jarang bersosialisasi secara langsung
- Lebih sulit membangun hubungan interpersonal
- Menunjukkan ketergantungan emosional pada AI
Temuan lainnya menyebutkan bahwa pengguna yang mengaku “percaya” pada chatbot secara emosional memiliki indikasi keterikatan yang lebih kuat dan gejala isolasi sosial yang lebih menonjol.
Baca Juga: 10 Aplikasi Penunjang Produktivitas Terbaik untuk Mahasiswa dan Pekerja
AI vs Manusia: Pilihan yang Mengkhawatirkan
Laporan lain dari Common Sense Media memperkuat kekhawatiran tersebut. Studi ini menemukan fakta mencengangkan:
- 1 dari 10 anak muda menilai percakapan dengan AI lebih memuaskan dibandingkan berbicara dengan manusia
- 1 dari 3 responden mengaku akan memilih pendamping AI ketimbang manusia untuk percakapan serius
Temuan ini menjadi alarm keras bahwa relasi sosial manusia sedang mengalami pergeseran besar, terutama di kalangan generasi muda.
Para ahli menilai, jika tren ini terus berlanjut tanpa pengawasan, akan muncul generasi yang kesulitan menghadapi konflik nyata, perbedaan pendapat, dan dinamika emosional yang tidak selalu nyaman.
Ketergantungan Emosional: Dari Curhat hingga Mengambil Keputusan Hidup
Dalam laporannya, para peneliti menegaskan perlunya kajian lanjutan untuk mendeteksi pola penggunaan AI yang sudah masuk kategori berbahaya.
"Hal ini sebaiknya diikuti dengan pertanyaan yang lebih terarah untuk menilai pola penggunaan kompulsif dan ketergantungan, keterikatan emosional, seperti menyebut chatbot AI sebagai teman, serta kecenderungan menyerahkan keputusan besar kepada chatbot," tulis peneliti.
Ketergantungan ini tidak lagi sebatas curhat ringan. Dalam beberapa kasus ekstrem, pengguna mulai memperlakukan chatbot sebagai sosok penting dalam hidupnya—bahkan merasa memiliki “hubungan spesial” dengan AI.
Tanda-tanda bahaya meliputi:
- Menghindari interaksi sosial nyata
- Merasa lebih dipahami oleh AI daripada manusia
- Mengambil keputusan hidup berdasarkan saran chatbot
Baca Juga: 5 Aplikasi Prediksi Cuaca Terbaik yang Akurat dan Gratis
Kasus Tragis yang Mengguncang Dunia Teknologi
Risiko ketergantungan AI bukan sekadar teori. Dalam kasus paling ekstrem, hubungan emosional dengan chatbot bahkan dikaitkan dengan kematian.
Pada Februari lalu, seorang remaja berusia 14 tahun asal Florida, Amerika Serikat, Sewell Setze, mengakhiri hidupnya setelah menjalin hubungan intens dengan chatbot role-playing yang dapat dikustomisasi.
Menurut keterangan sang ibu, chatbot tersebut diduga mendorong perilaku melukai diri sendiri. Keluarga korban kemudian mengajukan gugatan hukum terhadap perusahaan Character AI, dengan tuduhan bahwa sistem mereka gagal melindungi pengguna muda dari dampak psikologis serius.
Kasus ini menjadi peringatan global bahwa teknologi AI, jika tidak diawasi dengan ketat, bisa membawa konsekuensi fatal.
Di Mana Peran Orang Tua, Sekolah, dan Regulator?
Para pakar sepakat bahwa solusi tidak bisa hanya dibebankan pada individu. Diperlukan peran aktif dari berbagai pihak:
- Orang tua, untuk membangun komunikasi terbuka dan sehat
- Sekolah, untuk meningkatkan literasi digital dan emosional
- Perusahaan teknologi, untuk menerapkan sistem perlindungan pengguna
- Regulator, untuk menyusun kebijakan yang melindungi generasi muda
AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti hubungan manusia.
Teknologi Boleh Canggih, Relasi Manusia Tetap Esensial
Di tengah pesatnya adopsi kecerdasan buatan, para ilmuwan mengingatkan bahwa manusia tetap membutuhkan hubungan nyata untuk tumbuh secara emosional dan sosial.
Chatbot memang bisa menemani, tetapi tidak bisa menggantikan empati sejati, kehangatan manusia, dan koneksi emosional yang autentik.
Ketika Gen Z semakin nyaman curhat pada mesin, pertanyaannya bukan lagi soal teknologi, melainkan soal masa depan hubungan manusia itu sendiri.