FYPMedia.id – Obesitas anak kini menjadi alarm bahaya kesehatan global, termasuk di Indonesia. Data terbaru UNICEF memperingatkan bahwa obesitas bukan lagi masalah sepele, melainkan bentuk malnutrisi utama yang mengancam generasi muda.
Ironisnya, angka kasus obesitas kini bahkan melampaui kekurangan gizi di berbagai negara, termasuk Tanah Air. Menurut laporan UNICEF berjudul Feeding Profit: How Food Environments are Failing Children, prevalensi kekurangan berat badan pada anak-anak usia 5–19 tahun memang menurun dari hampir 13% menjadi 9,2% sejak tahun 2000.
Namun, di sisi lain, angka obesitas justru melonjak dari 3% menjadi 9,4%. Artinya, obesitas meningkat lebih dari tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara maju, tapi juga di negara berkembang. Bahkan, obesitas kini melampaui kekurangan gizi di hampir seluruh wilayah dunia, kecuali Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan.
Angka Obesitas Anak Dunia dan Indonesia Meningkat Drastis
Secara global, diperkirakan 1 dari 5 anak dan remaja berusia 5–19 tahun atau sekitar 391 juta jiwa mengalami berat badan berlebih. Dari jumlah tersebut, sebagian besar dikategorikan obesitas.
Di Indonesia sendiri, UNICEF Indonesia mencatat 1 dari 5 anak usia sekolah hidup dengan obesitas pada 2024.
Data Kementerian Kesehatan (2018) juga menunjukkan sekitar 18–19% anak usia 5–12 tahun mengalami berat badan berlebih, dan 11% menderita obesitas. Angka ini terus meningkat setiap tahunnya.
Baca Juga: Kurang Tidur Bisa Sebabkan Obesitas dan Penyakit Jantung? Ini Fakta Ilmiahnya
Faktor Lingkungan Jadi Penyebab Utama
Obesitas pada anak tidak terjadi begitu saja. Faktor lingkungan memegang peran besar. Anak-anak kini lebih mudah mengakses makanan cepat saji, minuman manis, camilan tinggi gula, garam, dan lemak, dibanding makanan bergizi seimbang.
Sayangnya, pola hidup ini semakin diperparah dengan gempuran iklan makanan instan yang masif di televisi maupun media sosial.
Belum lagi, banyak lingkungan tempat tinggal anak tidak menyediakan ruang bermain atau fasilitas olahraga yang memadai.
Genetik dan Gaya Hidup Ikut Berkontribusi
Selain faktor lingkungan, genetik juga berpengaruh signifikan. Jika salah satu orang tua obesitas, maka risiko anak obesitas mencapai 40–50%. Bila kedua orang tua obesitas, risiko melonjak menjadi 70–80%.
Namun, faktor gaya hidup menjadi pemicu terbesar. Anak-anak cenderung kurang bergerak karena lebih banyak menonton TV, bermain game, atau menggunakan gawai berjam-jam.
Sebanyak 1 dari 2 anak di Indonesia tidak beraktivitas fisik minimal 30 menit sehari, padahal kebutuhan gerak sangat penting untuk membakar kalori.
Bahaya Obesitas: Dari Fisik hingga Mental
Obesitas bukan sekadar masalah penampilan. Kondisi ini bisa berdampak serius pada kesehatan fisik maupun mental anak.
Beberapa risiko kesehatan akibat obesitas antara lain:
- Diabetes tipe 2 karena resistensi insulin.
- Tekanan darah tinggi dan kolesterol yang bisa memicu penyakit jantung.
- Gangguan pernapasan, seperti sleep apnea dan asma.
- Nyeri sendi akibat berat badan berlebih menekan tulang.
- Kanker tertentu yang berhubungan dengan pola makan tidak sehat.
Dampak pada mental juga tidak kalah serius. Anak obesitas lebih rentan mengalami rendah diri, kesulitan bersosialisasi, depresi, dan kecemasan.
Baca Juga: 7 Gejala Kolesterol Tinggi yang Sering Diabaikan & Cara Ampuh Mencegahnya
Obesitas Anak Berkaitan dengan Ekonomi Global
Pola makan tradisional kini tergeser oleh produk ultra-proses yang lebih murah, praktis, tapi tinggi kalori. Hal ini membuat keluarga dengan pendapatan rendah cenderung memilih makanan instan ketimbang sayur, buah, atau protein berkualitas.
Sebagai perbandingan, di negara maju seperti Chili, 27% anak usia 5–19 tahun mengalami obesitas, sementara di Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab angkanya mencapai 21%.
Angka ini menggambarkan bahwa obesitas sudah menjadi masalah lintas negara yang memengaruhi kualitas generasi mendatang.
Cara Menentukan Obesitas pada Anak
Tidak semua anak yang gemuk bisa langsung disebut obesitas. Diagnosis harus dilakukan melalui Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dihitung dari berat badan (kg) dibagi tinggi badan kuadrat (m²).
Sebagai contoh, seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dengan berat 50 kg dan tinggi 1,2 m memiliki IMT:
50 / (1,2)² = 50 / 1,44 = 34,7 kg/m².
Hasil ini termasuk kategori obesitas.
Rentang IMT ideal berbeda berdasarkan usia anak. Oleh karena itu, konsultasi dengan dokter anak sangat penting untuk mengetahui status gizi secara tepat.
Solusi: Peran Orang Tua Adalah Kunci
Mengatasi obesitas anak tidak bisa dilakukan dengan cara instan. Orang tua memegang peran vital dalam mendampingi anak menjalani pola hidup sehat.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Pola makan seimbang: perbanyak buah, sayur, protein, dan air putih.
- Batasi makanan cepat saji dan minuman manis.
- Aktivitas fisik rutin minimal 30 menit sehari, misalnya bersepeda, berenang, atau berjalan kaki.
- Tidur cukup, 8–10 jam per malam untuk anak usia sekolah.
- Kurangi screen time agar anak lebih banyak bergerak.
- Dukungan emosional: jangan menyalahkan anak, tapi beri semangat dan pujian atas kemajuan kecil.
Program penurunan berat badan pada anak dilakukan bertahap. Dalam banyak kasus, cukup dengan menahan kenaikan berat badan sambil anak bertambah tinggi, sehingga proporsinya kembali normal.
Obesitas pada anak kini bukan sekadar masalah kesehatan, tetapi ancaman serius bagi masa depan bangsa.
Dengan jumlah penderita yang terus meningkat dari tahun ke tahun, perlu adanya langkah cepat dari orang tua, sekolah, hingga pemerintah untuk menciptakan lingkungan sehat bagi generasi muda.
Jika tidak segera ditangani, anak-anak obesitas hari ini bisa menjadi generasi sakit di masa depan, dengan beban penyakit kronis yang tinggi.
Karena itu, mari bersama-sama membangun kesadaran akan pentingnya pola makan sehat, aktivitas fisik, dan dukungan emosional agar anak-anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan bahagia.