Writer: Astriyani Sijabat - Rabu, 19 November 2025
FYP Media - Kasus penganiayaan yang dilakukan seorang pria bernama Abraham (25) terhadap pacarnya sendiri kembali membuka mata publik tentang bahaya love scamming, kekerasan dalam hubungan, serta eksploitasi yang terjadi melalui aplikasi kencan. Peristiwa yang terungkap oleh Polda Metro Jaya ini bukan hanya soal kekerasan fisik, tetapi juga manipulasi dan pemaksaan korban untuk melakukan tindak kejahatan.
Berikut ulasan lengkap mengenai 9 fakta mengerikan dari kasus yang tengah menjadi sorotan nasional pada November 2025.
1. Korban Dipaksa Melakukan Love Scamming Sejak Awal Hubungan
Kisah kelam ini bermula ketika Abraham dan kekasihnya memulai hubungan asmara pada Agustus 2024. Tidak lama setelah mereka tinggal bersama di Depok, pelaku mulai memaksa korban untuk terlibat dalam love scamming, sebuah modus penipuan berbasis asmara yang kerap dilakukan melalui aplikasi kencan.
Menurut keterangan AKBP Putu Kholis, pelaku sengaja menggunakan identitas korban sebagai “umpan” untuk menjebak pria-pria lain.
“Korban mengakui bahwa pernah dipaksa melakukan tindak pidana dengan modus identitasnya digunakan tersangka,” ujar Putu.
Modus ini menjadi awal dari serangkaian manipulasi, ancaman, hingga kekerasan yang terjadi selama bertahun-tahun.
2. Pelaku Berpura-pura Menjadi Perempuan di Aplikasi Kencan
Salah satu fakta paling mengejutkan adalah cara pelaku menjalankan operasi love scamming. Ia mengaku sebagai perempuan di aplikasi kencan, menggunakan profil palsu untuk mendekati calon korban laki-laki.
Setelah target terpancing, Abraham mengatur agar kekasihnya menjadi “figur nyata” yang akan ditemui oleh calon korban.
Langkah ini digunakan untuk membangun kepercayaan dan menciptakan situasi yang terlihat meyakinkan sehingga membuat korban laki-laki lengah.
3. Korban Diminta Merayu Pria Lain Demi Mendapat PIN ATM
Metode love scamming yang dilakukan Abraham terbilang sangat sistematis. Ia menyuruh pacarnya untuk merayu dan membujuk calon korban agar memberikan PIN ATM, kode keamanan, atau bahkan akses informasi keuangan lainnya.
“Tersangka mengatur agar korban membujuk rayu calon korban untuk memberikan PIN ATM,” jelas Putu.
Skenario ini menunjukkan adanya pemaksaan dan eksploitasi yang serius, di mana korban perempuan dijadikan alat untuk melakukan kejahatan.
4. Skema Penipuan: Ajak Berenang, Lalu ATM Korban Digasak
Dalam skenario lain yang terungkap, korban kerap diarahkan pelaku untuk mengajak pria target ke fasilitas apartemen, seperti kolam renang.
Ketika korban sedang mengalihkan perhatian target, pelaku masuk ke kamar apartemen yang sudah disewa dan mengambil ATM calon korban. Karena PIN sudah diketahui sebelumnya, pengurasan saldo berjalan mulus.
“Tersangka menguras isi ATM tersebut,” ungkap Putu.
Modus ini dilakukan berulang kali, menunjukkan bahwa Abraham menjalankan skema terstruktur, bukan sekadar aksi impulsif.
5. Korban Menolak Melanjutkan Love Scamming, Pelaku Mengamuk
Puncak kejadian terjadi pada September 2025. Korban akhirnya menolak ajakan pelaku untuk kembali melakukan love scamming. Penolakan itu langsung memicu kemarahan Abraham yang kemudian melakukan serangkaian penganiayaan brutal.
Tak hanya memukul dan menendang, pelaku juga melakukan intimidasi psikologis terhadap korban.
“Korban menolak, lalu terjadilah kekerasan fisik sebagaimana dilaporkan di Polsek Cimanggis,” kata Putu.
6. Ancaman Menyebarkan Foto Korban: Kekerasan Psikologis yang Menghancurkan
Tidak berhenti pada kekerasan fisik, Abraham diketahui juga mengancam akan menyebarkan foto-foto pribadi korban yang ada dalam penguasaannya.
Ancaman seperti ini merupakan bentuk kekerasan dalam hubungan yang sangat serius, biasanya dilakukan pelaku untuk mengontrol dan membuat korban takut melawan.
“Tersangka mengancam akan menyebarkan foto-foto korban IN,” tegas Putu.
Ancaman cyber-harassment ini menjadi alasan tambahan mengapa kasus Abraham dianggap ekstrem dan harus diproses hukum seberat-beratnya.
7. Ada Korban Lain, Perempuan Berinisial CYL
Dalam penyelidikan yang diperluas, polisi menemukan fakta bahwa Abraham bukan pertama kali melakukan kekerasan terhadap pasangan.
Ada satu korban lain berinisial CYL, seorang perempuan yang ternyata mengalami penganiayaan dari tahun 2019 hingga 2022. Rentang waktu yang panjang ini menunjukkan pola kekerasan yang konsisten dan mengarah pada perilaku predator.
Temuan ini mempertegas bahwa Abraham bukan sekadar tersangka kasus tunggal, tetapi pelaku kekerasan yang berulang.
8. Polisi Bergerak Cepat, Abraham Ditangkap Polda Metro Jaya
Setelah laporan masuk ke Polsek Cimanggis dan pemeriksaan dilakukan, Polda Metro Jaya langsung bergerak dan menangkap Abraham.
Penangkapan ini menjadi bentuk respons cepat dari aparat karena kasusnya mencakup:
- penganiayaan fisik,
- manipulasi,
- pemaksaan,
- eksploitasi seksual,
- hingga penipuan melalui aplikasi kencan.
Kasus ini kini masuk ke ranah hukum, dan pelaku terancam dijerat pasal berlapis.
9. Love Scamming: Modus Baru yang Mengintai Pengguna Aplikasi Kencan
Kasus Abraham memperlihatkan betapa berbahayanya love scamming—modus kejahatan yang memanfaatkan kepercayaan dan perasaan seseorang demi keuntungan finansial.
Love scamming sering kali memakan korban yang tidak sadar bahwa hubungan yang dijalani ternyata hanyalah skema penipuan.
Modus ini mencakup:
- identitas palsu,
- rayuan intens,
- manipulasi emosional,
- permintaan uang atau akses finansial,
- hingga kekerasan seperti kasus Abraham.
Kasus ini menjadi peringatan penting bagi masyarakat untuk lebih berhati-hati menggunakan aplikasi kencan, terutama ketika seseorang baru dikenal tiba-tiba meminta akses keuangan atau informasi pribadi.
Kesimpulan: Kasus Abraham Ungkap Bahaya Ganda – Kekerasan Pacaran & Modus Love Scamming
Penganiayaan yang dilakukan Abraham bukan sekadar kasus kekerasan fisik. Ada lapisan isu yang jauh lebih gelap: manipulasi, eksploitasi, ancaman, dan pemaksaan korban untuk melakukan kejahatan finansial.
Dengan terungkapnya fakta-fakta ini, masyarakat diharapkan semakin waspada terhadap modus love scamming yang kini semakin marak, terutama di platform digital.
Kasus ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kekerasan dalam hubungan tidak boleh ditoleransi dalam bentuk apa pun—baik fisik, verbal, psikologis, maupun digital.