7 Penyebab Denial pada Kanker Payudara & Dampak Fatalnya bagi Pasien Indonesia

7 Penyebab Denial pada Kanker Payudara & Dampak Fatalnya bagi Pasien Indonesia

FYP Media.id –  Kanker payudara masih menjadi momok yang menakutkan bagi banyak perempuan Indonesia. Tidak hanya karena penyakitnya yang serius, tetapi juga karena fenomena “denial” atau penolakan terhadap kondisi kesehatan sendiri. Banyak pasien menolak kenyataan bahwa mereka menderita kanker payudara, menunda pengobatan, bahkan berpaling dari medis.

Fenomena ini bukan sekadar soal “tidak percaya diagnosis dokter”, tapi juga hasil dari rasa takut, minimnya informasi, tekanan budaya, hingga pengaruh keluarga. Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI), Linda Amalia Sari, menegaskan bahwa denial adalah hambatan besar dalam penanganan pasien kanker payudara.

1. Ketakutan yang Membelenggu: Bayangan Negatif Kanker

Linda menjelaskan bahwa banyak masyarakat masih memiliki gambaran menakutkan tentang kanker payudara. Stigma yang beredar seolah-olah pengobatan kanker berarti akhir dari segalanya.

“Dalam film, kalau ada karakter perempuan sakit lalu meninggal, sering dikaitkan dengan kanker payudara. Gambaran seperti mata menghitam, kepala botak, dan kondisi buruk lainnya menempel kuat di masyarakat,” ujarnya.

Padahal, kenyataannya berbeda jauh. Banyak pasien kanker payudara yang tetap bisa beraktivitas normal selama menjalani kemoterapi. “Orang kemoterapi juga nggak meninggal, banyak,” tambah Linda.

Namun sayangnya, ketakutan yang sudah tertanam lama ini membuat sebagian perempuan menolak kenyataan atau menunda pengobatan. Mereka memilih menutup mata daripada menghadapi rasa takut akan stigma dan efek samping pengobatan.

2. Kurangnya Informasi: Salah Paham soal Gejala Awal

Selain rasa takut, faktor minimnya informasi dan literasi kesehatan juga menjadi penyebab utama denial. Banyak perempuan tidak tahu bahwa kanker payudara pada stadium awal biasanya tidak menimbulkan rasa sakit.

Mereka tetap beraktivitas seperti biasa, sehingga benjolan di payudara sering dianggap sepele. Padahal, benjolan yang menetap selama berbulan-bulan bisa menjadi tanda bahaya.

Linda menegaskan pentingnya pemeriksaan rutin dengan metode SADARI (Periksa Payudara Sendiri) setiap bulan dan SADANIS (Periksa Payudara Klinis) di fasilitas kesehatan.

“Sebulan, dua bulan, tiga bulan, benjolan nggak ke mana-mana, tetap di situ-situ aja. Itu tandanya harus segera diperiksa,” tegasnya.

Kurangnya edukasi inilah yang membuat banyak kasus kanker payudara di Indonesia baru terdeteksi saat sudah stadium lanjut — ketika pengobatan menjadi lebih berat dan peluang sembuh menurun drastis.

3. Tekanan Keluarga: Ketika Cinta Berubah Jadi Hambatan

Di balik banyak kasus keterlambatan pengobatan, keluarga seringkali menjadi faktor yang tak disadari. Tidak sedikit pasien yang memilih menyembunyikan kondisinya karena takut ditinggalkan pasangan, malu terhadap ipar, atau takut menimbulkan beban bagi keluarga besar.

Ironisnya, ada pula kasus di mana justru keluarga menjadi pihak yang mengalami denial. Linda mengungkapkan salah satu kisah nyata yang terjadi di lapangan:

“Ada seorang pasien yang sudah disarankan untuk menjalani tindakan medis, namun suaminya tidak memberi izin. Ketika akhirnya pasien kembali beberapa tahun kemudian, kondisinya sudah memburuk.”

Situasi ini menunjukkan bahwa banyak perempuan Indonesia masih belum memiliki kendali penuh atas keputusan kesehatannya sendiri. Tekanan budaya dan dominasi keluarga sering kali membuat mereka kehilangan kesempatan untuk mendapat penanganan tepat waktu.

4. Faktor Budaya: Stigma, Malu, dan Tabu

Dalam budaya tertentu, penyakit yang berhubungan dengan organ reproduksi atau payudara masih dianggap tabu untuk dibicarakan. Akibatnya, banyak perempuan enggan memeriksakan diri atau terbuka soal keluhannya.

Ada pula rasa malu yang mendalam karena menganggap kanker payudara akan “mengurangi nilai” mereka di mata pasangan. Padahal, semakin cepat penyakit ini dideteksi, semakin besar peluang untuk sembuh total.

Budaya diam dan tabu ini membuat banyak pasien datang ke rumah sakit saat kondisi sudah parah. Perubahan pola pikir masyarakat tentang pentingnya deteksi dini dan keterbukaan soal kesehatan reproduksi perempuan menjadi hal yang sangat penting.

5. Mitos yang Menyesatkan: Salah Kaprah soal Pengobatan

Masih banyak mitos yang beredar, seperti:

  • “Kalau operasi payudara bisa membuat kanker menyebar.”

  • “Kemoterapi pasti bikin mati.”

  • “Obat herbal bisa menggantikan pengobatan dokter.”

Padahal, semua pernyataan di atas tidak benar secara medis. Kemoterapi tidak selalu menyebabkan efek berat, dan saat ini teknologi pengobatan kanker sudah semakin canggih. Bahkan, banyak pasien yang berhasil sembuh total dan hidup sehat kembali.

Mitos dan informasi palsu inilah yang memperkuat denial. Alih-alih mencari pengobatan medis, banyak pasien justru menghabiskan waktu dan uang untuk terapi alternatif yang belum terbukti.

6. Dampak Denial: Keterlambatan Fatal dan Penyesalan

Denial bukan hanya sikap mental — dampaknya sangat nyata dan berbahaya. Ketika pasien menunda pemeriksaan atau pengobatan, kanker akan terus berkembang tanpa kendali.

Data dari YKPI menunjukkan bahwa sekitar 70% pasien kanker payudara di Indonesia datang dalam kondisi stadium lanjut. Artinya, mereka kehilangan kesempatan untuk menjalani terapi yang lebih ringan dan efektif.

Kondisi ini tidak hanya memperburuk prognosis, tetapi juga meningkatkan beban emosional dan finansial keluarga. Banyak pasien yang akhirnya menyesal, tetapi waktu sudah terlalu terlambat untuk memperbaiki kondisi.

7. Jalan Keluar: Edukasi, Dukungan, dan Keberanian

Fenomena denial ini bisa diatasi — asalkan ada kombinasi antara edukasi yang tepat, dukungan sosial, dan keberanian pribadi.

  1. Edukasi: Pemerintah, lembaga kesehatan, dan media perlu terus menyebarkan informasi yang benar soal kanker payudara, terutama pentingnya deteksi dini.
  2. Dukungan keluarga: Pasangan dan keluarga harus menjadi support system, bukan hambatan.
  3. Keberanian pasien: Mengakui kondisi dan mengambil tindakan medis adalah langkah penyelamatan diri, bukan tanda kelemahan.

YKPI terus mendorong masyarakat untuk aktif melakukan pemeriksaan mandiri dan rutin. Dengan deteksi dini, peluang kesembuhan bisa mencapai lebih dari 90%.

Kesimpulan: Saatnya Berani Tahu, Bukan Takut Tahu

Denial terhadap kanker payudara adalah musuh senyap yang berbahaya. Ia membuat pasien menunda, menghindar, dan kehilangan kesempatan hidup lebih lama.

Sudah saatnya perempuan Indonesia berani menghadapi kenyataan, karena pengetahuan adalah kekuatan. Jangan biarkan rasa takut, tekanan budaya, atau stigma sosial menghalangi langkah untuk sembuh.

  1.  Lakukan SADARI setiap bulan.
  2. Jika ada benjolan yang tak hilang dalam tiga bulan, segera periksa ke dokter.
  3. Dukung sesama perempuan untuk terbuka soal kesehatan payudara.

Ingat, deteksi dini bisa menyelamatkan hidup. Karena ketika kita berani tahu, kita berani hidup lebih lama