FYP
Media
Memuat Halaman...
0%
7 Dampak Serius Screen Time Berlebih: Riset Ungkap Risiko Otak & Tidur

News

7 Dampak Serius Screen Time Berlebih: Riset Ungkap Risiko Otak & Tidur

Writer: Raodatul - Kamis, 20 November 2025

7 Dampak Serius Screen Time Berlebih: Riset Ungkap Risiko Otak & Tidur
Sumber gambar: Ilustrasi Screen Time/Freepik

FYPMedia.id - Fenomena penggunaan gawai dalam waktu panjang kini menjadi perhatian besar para peneliti. Durasi screen time yang terus meningkat—baik dari laptop maupun ponsel—ternyata berkaitan dengan berbagai dampak kesehatan, mulai dari penurunan fokus hingga gangguan tidur. 

Sejumlah penelitian internasional mengungkap bahwa efeknya jauh lebih kompleks dibanding sekadar “mata lelah” atau brain rot yang sering viral di media sosial.

Dalam laporan yang dikutip dari laman Today, sebuah penelitian mengidentifikasi bahwa screen time berlebihan dan kecanduan media sosial berpotensi menjadi faktor risiko brain rot

Istilah brain rot sendiri kini populer untuk menggambarkan kondisi ketika kemampuan kognitif menurun karena terlalu sering menerima konten dangkal dan monoton secara terus-menerus.

Masih dari studi tersebut, penurunan fungsi intelektual ini bisa muncul ketika otak dibanjiri informasi yang tidak menantang, sehingga kemampuan berpikir kritis ikut tumpul. 

Tren konsumsi konten receh, video pendek beruntun, hingga doomscrolling membuat fenomena ini semakin disorot publik sepanjang dua tahun terakhir.

Cahaya Biru dan Pengaruhnya pada Ritme Sirkadian

Penelitian lain yang dikutip dari New York Post menemukan bahwa cahaya biru dari layar dapat membantu fokus di siang hari, tetapi berpotensi mengganggu pola tidur saat malam. 

Cahaya biru diketahui berinteraksi dengan ritme sirkadian, yaitu siklus biologis 24 jam yang mengatur kapan tubuh merasa mengantuk, kapan harus terjaga, hingga produksi hormon seperti melatonin dan kortisol.

Saat cahaya biru hadir pada jam yang tidak sesuai, seperti ketika seseorang menatap layar sebelum tidur, ritme ini dapat terganggu. Dalam jangka panjang, gangguan tidur berulang dapat berkaitan dengan berbagai risiko kesehatan.

Peneliti menyebut bahwa kurang tidur akibat paparan layar malam hari dapat berkaitan dengan meningkatnya risiko masalah metabolik. 

Hal tersebut terjadi karena ritme sirkadian berperan dalam cara tubuh merespons insulin dan memproduksi glukosa.

Sebuah penelitian menyebut bahwa individu yang lebih banyak terpapar cahaya biru memiliki risiko 50 persen lebih tinggi mengalami gangguan terkait metabolik, termasuk yang berhubungan dengan gula darah. 

Selain itu, paparan cahaya biru di malam hari juga terkait dengan meningkatnya potensi kenaikan berat badan dan obesitas, yang juga termasuk faktor risiko lain dalam kesehatan metabolik.

Baca Juga: 7 Bahaya Penggunaan Earphone Bluetooth yang Perlu Diwaspadai

Dampak pada Sistem Kardiovaskular

Tak hanya pada tidur dan metabolisme, ritme alami tubuh juga mengatur perubahan tekanan darah dan detak jantung dalam satu hari penuh. Gangguan ritme sirkadian yang berulang dapat berkaitan dengan risiko kesehatan kardiovaskular. 

Peneliti mencatat bahwa perubahan jam biologis dapat memengaruhi kestabilan tekanan darah dan ritme jantung sehingga meningkatkan potensi gangguan kardiovaskular.

Gangguan tersebut dapat berupa tekanan darah meningkat, detak jantung yang tidak stabil, hingga efek lanjutan pada kesehatan jantung. Karena itu, banyak penelitian mendorong kebiasaan mengurangi paparan layar menjelang tidur sebagai langkah menjaga ritme alami tubuh.

Paparan Cahaya Biru dan Risiko Kanker: Hasil Penelitian

Sebuah studi lain yang mengamati panjang gelombang cahaya biru menemukan bahwa orang yang tidur dengan layar menyala memiliki risiko 1,5 kali lebih tinggi terkena kanker payudara dan dua kali lipat lebih tinggi terkena kanker prostat. 

Penelitian tersebut menjelaskan bahwa peningkatan risiko kanker payudara berkaitan dengan penurunan produksi melatonin.

Melatonin dikenal sebagai hormon tidur yang juga dikaitkan oleh beberapa peneliti memiliki sifat antikanker. Ketika cahaya biru menghambat produksinya, tubuh kehilangan mekanisme alami yang mendukung kualitas tidur dan regulasi biologis tertentu.

Dalam perbandingan dengan jenis cahaya lain, cahaya biru ditemukan lebih kuat memengaruhi ritme sirkadian. 

Peneliti dari Universitas Harvard bahkan menyimpulkan bahwa paparan cahaya selama 6,5 jam dapat menggeser ritme sirkadian hingga dua kali lipat lebih besar dibanding paparan cahaya hijau.

Fenomena Brain Rot: Tren Global dan Efek Psikologis

Istilah brain rot kini makin populer di media sosial, terutama sejak menjadi Oxford Word of the Year 2024. Istilah ini menggambarkan menurunnya kemampuan berpikir akibat terlalu sering mengonsumsi konten digital yang “ringan”, tidak menantang, atau repetitif.

Menurut Oxford Word of the Year, brain rot menyebabkan seseorang “merasa tidak bersemangat atau bahkan kosong setelah lama berselancar di internet.” 

Fenomena ini bukan hal baru. Henry David Thoreau telah mengkritik konten tak berbobot sejak 1854, menyebut bahwa minat berlebihan terhadap hal-hal remeh dapat mencerminkan penurunan kondisi intelektual.

Kini, di era video pendek, algoritma, dan konsumsi konten super cepat, fenomena tersebut menjadi lebih mudah terjadi. Ketika otak terus menerus menyerap informasi ringan, ia dapat menjadi jenuh. 

Dalam jangka panjang, beberapa orang melaporkan efek emosional seperti kecemasan dan rasa kosong setelah menghabiskan waktu panjang di dunia digital.

Gejala Brain Rot: Apa yang Sering Terjadi?

Tidak ada kelompok usia yang benar-benar bebas dari risiko brain rot. Anak-anak, remaja, hingga dewasa aktif bisa merasakannya. Beberapa tanda yang sering muncul antara lain:

  • Lebih tertarik scrolling meski sedang bersama orang lain
  • Sulit melepaskan diri dari gadget, bahkan saat bekerja
  • Terlalu sering memeriksa notifikasi
  • Terpapar informasi tidak penting dalam jumlah berlebihan
  • Kesulitan tidur
  • Mata cepat lelah atau kepala terasa berat setelah menatap layar

Gejala-gejala ini sering dilaporkan oleh pengguna aktif media sosial yang menghabiskan waktu panjang menonton konten ringan seperti meme, video pendek, hingga FYP yang tak ada habisnya.

Baca Juga: Fenomena Brain Rot Ancam Generasi Muda Akibat Konten Instan

Bagaimana Mengurangi Risiko Brain Rot?

Mencegah brain rot tidak mengharuskan seseorang berhenti total dari dunia digital. Secara umum, penelitian banyak menekankan pentingnya pengelolaan waktu, pemilihan konten yang sehat, serta istirahat dari layar.

Berikut langkah pencegahan yang sering disarankan dalam literatur dan hasil penelitian:

1. Batasi Screen Time

Beberapa lembaga kesehatan menganjurkan agar screen time rekreasi tidak lebih dari dua jam per hari untuk dewasa, sementara anak-anak di atas dua tahun cukup 1–2 jam.

2. Hindari Gadget Sebelum Tidur

Penelitian menunjukkan bahwa menghentikan penggunaan ponsel 1 jam sebelum tidur dapat membantu ritme sirkadian kembali stabil.

3. Kurangi Aplikasi Tidak Penting

Semakin banyak aplikasi media sosial, semakin besar peluang seseorang menghabiskan waktu lebih lama di layar.

4. Isi Waktu Luang dengan Aktivitas Nyata

Olahraga, memasak, membaca buku, atau melakukan hobi yang menyenangkan dapat membantu otak kembali fokus dan rileks.

5. Perbanyak Interaksi Tatap Muka

Bertemu teman dan keluarga secara langsung membantu mengurangi stres dan memberi jeda dari paparan digital.

Kesimpulan: Literasi Digital Menjadi Kunci

Studi-studi yang dikutip dalam laporan ini menunjukkan bahwa dampak screen time berlebihan sangat luas, mencakup aspek kognitif, emosional, metabolik, hingga pola tidur. 

Walaupun penelitian masih terus berkembang, hasil yang ada memberikan gambaran kuat bahwa kebiasaan digital modern perlu dikelola dengan bijak.

Kesadaran akan brain rot, paparan cahaya biru, dan gangguan ritme sirkadian dapat menjadi langkah awal untuk membangun kebiasaan digital yang lebih sehat. 

Perubahan kecil—seperti mengurangi scrolling sebelum tidur atau memilih konten yang lebih bermanfaat—dapat membawa dampak positif jangka panjang bagi kesehatan mental maupun fisik.

Jika seseorang mulai merasakan stres berlebihan, sulit tidur, atau merasa kewalahan dengan penggunaan media sosial, mendapatkan dukungan profesional bisa menjadi langkah tepat untuk memahami kondisi yang dialami.

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait.

Mau Diskusi Project Baru?

Contact Us