6 Tanda Lonceng Kematian Pernikahan! Ungkap Penyebab Utama Perceraian yang Sering Terjadi di 2025

6 Tanda Lonceng Kematian Pernikahan

FYP Media.id – Pernikahan sering dianggap sebagai puncak kebahagiaan dua insan. Namun, di balik senyum di pelaminan dan janji setia sehidup semati, ada banyak pasangan yang akhirnya harus berhadapan dengan kenyataan pahit: perceraian.

Data terbaru dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan, dalam lima tahun pertama pernikahan, sekitar 22% pasangan mengalami gangguan serius seperti perpisahan atau perceraian. Setelah 20 tahun, angka ini melonjak hingga 53% — angka yang cukup mencengangkan dan menjadi sinyal bahwa mempertahankan pernikahan tidak semudah mengucap “aku bersedia.”

Lalu, apa sebenarnya penyebab utama orang bercerai, dan tanda-tanda apa yang diam-diam menjadi “lonceng kematian” dalam hubungan? Yuk, simak penjelasan lengkapnya berikut ini! 👇

1. Perselingkuhan: Pengkhianatan yang Menghancurkan Kepercayaan

Perselingkuhan masih menjadi penyebab nomor satu perceraian di dunia. Di era digital, bentuk perselingkuhan kini bukan hanya fisik, tetapi juga emosional, bahkan bisa terjadi lewat chat, DM Instagram, atau hubungan rahasia di media sosial.

Menurut Esther Perel, psikoterapis ternama sekaligus penulis buku The State of Affairs, pengkhianatan ini sering kali menjadi titik akhir dari hubungan yang sebelumnya sudah rapuh. “Bukan hanya soal seks atau kebohongan, tetapi hilangnya rasa aman dan koneksi emosional,” ujar Perel.

Ketika kepercayaan hancur, cinta pun ikut terkikis. Dan tanpa kepercayaan, hubungan sulit bertahan.

2. Masalah Keuangan: Ujian Terbesar Rumah Tangga

Uang memang bukan segalanya, tapi dalam pernikahan, uang bisa jadi pemicu segalanya. Banyak pasangan bertengkar karena perbedaan gaya hidup, kesenjangan penghasilan, hingga utang yang menumpuk.

Misalnya, ketika istri berpenghasilan lebih tinggi dari suami, sebagian pria bisa merasa terancam atau minder. Di sisi lain, tekanan ekonomi yang terus meningkat juga bisa menimbulkan stres dan memperburuk komunikasi.

Psikolog keluarga menyebut, masalah finansial adalah bom waktu dalam rumah tangga. Tanpa komunikasi terbuka dan kerja sama, uang bisa berubah dari alat kebahagiaan menjadi penyebab kehancuran.

3. Kecanduan: Saat Prioritas Berubah, Cinta Pun Luntur

Kecanduan alkohol, narkoba, judi, atau bahkan pekerjaan dapat perlahan-lahan merusak pondasi pernikahan.
Ketika seseorang mulai memprioritaskan “ketagihan” daripada pasangan, hubungan berubah tidak seimbang.

Bagi sebagian orang, kecanduan bukan sekadar kelemahan, melainkan bentuk pelarian dari stres emosional yang tidak terselesaikan. Namun kabar baiknya, jika pasangan mau mengakui dan berjuang bersama — lewat terapi dan dukungan profesional — hubungan masih bisa diselamatkan.

4. Situasi Luar Biasa: Ujian Hidup yang Mengguncang

Tidak semua perceraian disebabkan oleh kesalahan individu. Ada kalanya, situasi luar biasa menjadi ujian yang terlalu berat untuk ditanggung bersama — seperti kehilangan anak, penyakit serius, atau tekanan hidup yang tak kunjung reda.

Dalam kondisi seperti ini, cinta saja sering kali tidak cukup. Dibutuhkan ketahanan emosional, empati, dan kesabaran luar biasa agar pasangan bisa bertahan.

Banyak pasangan yang justru tumbuh lebih kuat setelah badai besar, namun tak sedikit pula yang akhirnya menyerah karena kelelahan mental.

5. Ketidakcocokan Nilai dan Prinsip Hidup

Pada awal hubungan, cinta bisa menutupi banyak perbedaan. Tapi seiring waktu, perbedaan nilai, tujuan hidup, dan prinsip mulai terasa.

Mulai dari pandangan soal anak, agama, hingga karier — semua bisa menjadi sumber konflik besar. Apalagi jika salah satu pasangan berubah seiring waktu, sementara yang lain tidak.

Ahli hubungan menyarankan agar pasangan rutin melakukan refleksi dan konseling pernikahan, agar komunikasi tetap terbuka. Bukan untuk mencari siapa yang salah, tetapi untuk memahami perbedaan tanpa saling menyalahkan.

6. Perbedaan yang Tak Bisa Didamaikan

Kadang, hubungan rusak bukan karena satu masalah besar, melainkan akumulasi masalah kecil yang tak pernah diselesaikan.
Saling menahan emosi, menumpuk kekecewaan, hingga akhirnya semua meledak dan berubah jadi perpisahan.

Bila sudah muncul rasa muak, keengganan berkomunikasi, atau bahkan penolakan emosional, itu tanda hubungan berada di ambang kehancuran. Namun, jika masih ada kemauan, terapi pasangan bisa menjadi jembatan untuk memperbaiki hubungan sebelum semuanya terlambat.

Mengapa Perempuan Lebih Sering Mengajukan Perceraian?

Sebuah penelitian dari Asosiasi Sosiologi Amerika (2015) menemukan bahwa 69% perceraian diajukan oleh perempuan, sedangkan laki-laki hanya 31%.

Menurut Michael Rosenfeld, profesor sosiologi di Stanford University, hal ini terjadi karena perempuan lebih sensitif terhadap kualitas emosional hubungan. Mereka lebih cepat menyadari jika hubungan sudah tidak sehat, dan lebih berani mengambil langkah untuk mengakhirinya.

“Pernikahan masih lambat menyesuaikan diri dengan kesetaraan gender. Banyak perempuan merasa tidak mendapatkan dukungan emosional yang cukup,” kata Rosenfeld.

Selain itu, perempuan cenderung lebih terbuka dalam mengekspresikan emosi, sementara laki-laki kerap menahan diri. Akibatnya, perempuan lebih sering menjadi pihak yang memutuskan ketika hubungan terasa tidak seimbang.

4 Tanda Awal Lonceng Kematian Pernikahan Menurut Gottman Institute

Peneliti dari Gottman Institute mengidentifikasi empat tanda utama yang bisa memprediksi perceraian dengan akurasi 90%. Jika kamu mulai merasakan tanda-tanda ini dalam hubunganmu, waspadalah:

1. Kritik Berlebihan
Ketika pasangan lebih sering menilai dan menyalahkan daripada mendengarkan, hubungan kehilangan rasa aman.

2. Sikap Defensif
Alih-alih introspeksi, masing-masing sibuk membela diri dan menyalahkan yang lain. Komunikasi jadi buntu.

3. Stonewalling (Menarik Diri)
Diam bukan selalu emas. Jika satu pihak memilih menjauh setiap kali ada konflik, pasangan akan merasa diabaikan.

4. Penghinaan (Contempt)
Ini tanda paling fatal. Ketika mulai meremehkan, mengejek, atau mempermalukan pasangan, cinta sudah tergantikan oleh kebencian.

Bagaimana Mencegah Perceraian?

Tidak ada resep ajaib untuk mempertahankan pernikahan, tapi penelitian menunjukkan beberapa strategi efektif:

  • Bangun komunikasi jujur dan terbuka sejak awal.

  • Validasi perasaan pasangan, bukan menolaknya.

  • Kelola konflik dengan tenang, hindari emosi berlebihan.

  • Luangkan waktu berdua secara rutin, meski sibuk.

  • Konseling pernikahan, jangan menunggu semuanya hancur dulu.

Seperti kata Esther Perel, “Pasangan bahagia bukan berarti tidak pernah bertengkar. Mereka hanya tahu bagaimana bertengkar dengan baik.”

Kesimpulan: Cinta Saja Tak Cukup, Tapi Empati Bisa Menyelamatkan

Perceraian bukan sekadar tanda cinta yang hilang, tapi sering kali hasil dari komunikasi yang mati dan empati yang menipis.
Hubungan bisa bertahan bukan karena tak pernah diuji, tetapi karena dua orang di dalamnya mau terus belajar memahami, bukan menghakimi.

Jika kamu merasa hubungan mulai renggang, jangan tunggu semuanya runtuh. Minta bantuan, bicarakan dengan jujur, dan ingat — setiap pernikahan layak diperjuangkan, selama masih ada rasa saling menghargai.