5 Kepala Daerah Tolak Larangan Study Tour Dedi Mulyadi, Ini Alasan dan Kontroversinya

5 Kepala Daerah Tolak Larangan Study Tour Dedi Mulyadi, Ini Alasan dan Kontroversinya

Homepage – FYP Media – Kebijakan larangan study tour Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memicu penolakan dari 5 kepala daerah. Mengapa mereka menolak? Simak duduk perkaranya di sini.

Kebijakan larangan study tour sekolah yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menuai polemik di kalangan kepala daerah. Setidaknya lima kepala daerah di Jabar secara terbuka menyatakan penolakan terhadap kebijakan yang dinilai membatasi ruang belajar siswa dan berdampak negatif pada dunia pariwisata serta pendidikan alternatif.

Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 43/PK.03.04/Kesra sebagai bagian dari “9 Langkah Pembangunan Pendidikan Jawa Barat Menuju Terwujudnya Gapura Panca Waluya”. SE tersebut diterbitkan pada Mei 2025, tiga bulan setelah Dedi dilantik sebagai Gubernur.

Namun, alih-alih disambut positif, kebijakan ini justru mengundang reaksi keras dan penolakan dari para kepala daerah hingga pelaku usaha wisata.

Siapa Saja 5 Kepala Daerah yang Menolak Larangan Study Tour?

Penolakan terhadap kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi tercatat datang dari lima kepala daerah penting di Jawa Barat, yakni:

  1. Bupati Bandung, Dadang Supriatna

  2. Wali Kota Cirebon, Effendi Edo

  3. Bupati Karawang, Aep Syaepuloh

  4. Bupati Sumedang, Dony Ahmad Munir

  5. Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan

Para kepala daerah ini menyuarakan keberatan atas pelarangan total kegiatan study tour, terutama bila kegiatan tersebut memiliki muatan edukatif, sejarah, atau penguatan karakter siswa.

Wali Kota Bandung Muhammad Farhan, misalnya, menyatakan bahwa study tour seharusnya diperbolehkan, selama tidak terkait langsung dengan penilaian akademik atau membebani orang tua secara finansial.

“Boleh, selama itu tidak ada hubungan dengan nilai akademik,” ujar Farhan.
“Mangga weh (silakan saja). Saya tidak bisa melarang. Masa saya larang?” tambahnya.

Farhan juga menyambut positif kunjungan sekolah dari luar daerah ke Bandung untuk belajar sejarah atau budaya lokal, menandakan bahwa pariwisata edukatif tetap diperlukan.

Awal Mula Larangan Study Tour Sekolah oleh Dedi Mulyadi

Larangan study tour ini muncul dari keprihatinan Gubernur Dedi Mulyadi terhadap praktik perjalanan sekolah yang dianggap menyimpang dari tujuan pendidikan. Saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta, Dedi mengaku menyaksikan sendiri bagaimana study tour berubah menjadi wisata mahal yang minim nilai edukasi.

“Sebenarnya itu strategi saya, untuk menekan agar masyarakat Jabar tidak lagi pinjam untuk atas nama sekolah,” kata Dedi.

Menurut Dedi, study tour kini sering menjadi ajang rekreasi yang membebani orang tua, alih-alih memberikan pengalaman belajar yang bermanfaat. Dalam beberapa kasus, siswa malah lebih fokus belanja atau selfie ketimbang mendapatkan pembelajaran nyata.

Sebagai solusi, ia mendorong sekolah untuk mengadakan kegiatan wisata edukatif lokal yang lebih murah dan tetap sarat makna—misalnya, kunjungan ke museum daerah, balai desa, atau tempat bersejarah setempat.

Dedi Mulyadi Konsisten Meski Dihujani Penolakan dan Demo

Meski ditolak oleh kepala daerah dan bahkan sempat didemonstrasi ribuan pelaku usaha pariwisata, Dedi tetap teguh pada pendiriannya. Ia menyatakan, tujuan pendidikan seharusnya membentuk karakter, kepekaan sosial, dan penguatan identitas lokal, bukan sekadar rekreasi ke luar kota.

“Semakin jelas bahwa study tour sebenarnya hanyalah kegiatan piknik atau rekreasi. Buktinya, yang demo kemarin adalah para pelaku usaha pariwisata,” tulis Dedi melalui akun Instagram @dedimulyadi71 pada Selasa (22/7/2025).

Dedi menambahkan bahwa dirinya bukan anti terhadap pariwisata, melainkan ingin menempatkan sektor ini pada porsi yang tepat. Ia mendorong agar pasar utama pariwisata adalah mereka yang memang memiliki kemampuan finansial, bukan keluarga dengan penghasilan rendah yang memaksakan diri demi gengsi.

Efek Sosial: Tekanan Psikologis Bagi Siswa yang Tak Ikut Study Tour

Salah satu alasan kuat Dedi melarang study tour adalah adanya tekanan sosial dan psikologis terhadap siswa yang tidak ikut. Ia menyoroti bagaimana anak-anak yang tidak mampu membayar biaya perjalanan sering merasa:

  • Dikucilkan

  • Malu

  • Tidak percaya diri

  • Takut diejek teman

“Fenomena ini bisa merusak mental dan kepercayaan diri anak sejak dini,” tegasnya.

Dedi menilai bahwa ketimpangan sosial semacam ini berbahaya, karena membentuk budaya eksklusif dalam pendidikan—di mana anak-anak hanya dihargai jika mereka mampu mengikuti kegiatan mahal.

Pro dan Kontra Masyarakat: Di Antara Edukasi dan Beban Ekonomi

Reaksi publik atas larangan ini pun terbagi dua. Sebagian mendukung langkah Gubernur Dedi karena:

  1. Mengurangi beban keuangan orang tua
  2. Menghindari praktik pungutan tidak resmi di sekolah
  3. Mendorong wisata edukatif berbasis lokal

Namun, sebagian lain—terutama dari kalangan guru, orang tua, dan penggiat pariwisata—menyatakan bahwa study tour masih penting jika dikemas dengan benar.

“Kami guru sejarah sangat terbantu jika siswa bisa langsung mengunjungi situs sejarah. Itu belajar yang nyata, bukan teori,” ujar Dian R., guru sejarah SMA di Karawang.

Rekomendasi Jalan Tengah: Regulasi Bukan Larangan Total

Para pengamat pendidikan menyarankan agar pemerintah tidak melarang total, melainkan membuat regulasi ketat terhadap pelaksanaan study tour. Beberapa poin usulan antara lain:

  • Study tour hanya boleh dilakukan di dalam provinsi

  • Harus mengandung muatan edukatif jelas

  • Biaya disesuaikan dengan kemampuan orang tua

  • Tidak wajib bagi semua siswa

  • Harus ada pilihan alternatif kegiatan di sekolah bagi siswa yang tidak ikut

Langkah-langkah tersebut dinilai lebih adil ketimbang larangan menyeluruh yang justru bisa mematikan potensi pembelajaran nonformal.

Kesimpulan: Menanti Evaluasi Bijak di Tengah Polemik

Kebijakan larangan study tour Dedi Mulyadi telah memunculkan perdebatan luas di tingkat daerah. Dengan 5 kepala daerah secara terbuka menyatakan penolakan, serta masukan dari masyarakat dan tenaga pendidik, tampaknya pemerintah provinsi perlu melakukan evaluasi menyeluruh.

Melarang study tour sepenuhnya mungkin bukan solusi terbaik, namun regulasi yang bijak dan terukur bisa menjadi jalan tengah antara perlindungan siswa dan penguatan nilai edukatif.