FYP MEDIA.ID – Di tengah asumsi bahwa Generasi Z (Gen Z) lebih suka menghabiskan waktu di layar ponsel, muncul fenomena mengejutkan, mereka kini menjadi generasi baru kutu buku yang aktif memburu buku cetak, mengunjungi perpustakaan, dan membanjiri pameran buku. Minat baca mereka tidak hanya bertahan, tetapi justru tumbuh pesat berkat pengaruh media sosial dan komunitas digital global.
Salah satu bukti nyata terlihat pada Indonesia International Book Fair (IIBF) 2025, di mana ribuan pengunjung muda memadati stan-stan penerbit. Novel Katabasis karya R.F. Kuang ludes terjual ratusan eksemplar meski harganya tinggi, sementara antrean panjang terbentuk di area buku filsafat, sejarah, dan sastra klasik. Dilansir dari Tempo.co, fenomena ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak hanya membaca, tetapi juga menjadikan buku sebagai bagian dari identitas dan aktivisme budaya mereka.
-
Buku Cetak Masih Jadi Pilihan Utama
Meski hidup di era digital, mayoritas Gen Z justru memilih buku fisik. Survei Goodstats 2025 menunjukkan 79% pembaca muda lebih suka membaca buku cetak daripada versi digital. Di Inggris, data Nielsen BookData mencatat 80% pembelian buku oleh usia 13–24 tahun adalah dalam bentuk cetak, sementara e-book hanya menyumbang 14%. Alasannya bervariasi: mulai dari menghindari ketegangan mata, keinginan untuk detoksifikasi digital, hingga kecintaan pada aroma dan tekstur buku fisik. “Membuka buku sungguhan di sofa atau pantai memang tak ada bandingannya,” ujar Madalyn Boyd, 23 tahun, seperti dikutip World Economic Forum.
-
#BookTok Jadi Mesin Penggerak Minat Baca
Platform TikTok, khususnya melalui tagar #BookTok, telah menjadi katalis utama kebangkitan literasi di kalangan Gen Z. Dilansir dari gohenry.com, tagar ini telah digunakan di lebih dari 60 miliar video dan menghasilkan lebih dari 226 miliar tayangan. Dua pertiga remaja berusia 16–25 tahun mengaku menemukan minat membaca berkat rekomendasi dari #BookTok. Video-video di platform ini bersifat personal dan emosional bukan iklan komersial sehingga terasa autentik dan mudah diresonansi. Buku seperti It Ends With Us karya Colleen Hoover, yang awalnya diterbitkan mandiri, meledak berkat ulasan viral di TikTok dan kini terjual lebih dari 20 juta eksemplar secara global.
Baca Juga : Peran Pemerintah Daerah dalam Dorong Minat Baca Pelajar
-
Gen Z Membaca Lebih Banyak dan Lebih Beragam
Tren membaca Gen Z tidak hanya meningkat dalam kuantitas, tetapi juga keragaman genre. Menurut data Nielsen, Gen Z di Inggris membeli 61 juta buku pada 2024 dan menghabiskan £496 juta menjadi konsumen fiksi paling dominan. Genre yang populer meliputi fiksi dewasa muda, fantasi, thriller, romansa, hingga klasik seperti karya Jane Austen dan George Orwell. Bahkan, buku lama seperti If He Had Been With Me (2013) kembali menjadi bestseller berkat sorotan di #BookTok. Di Amerika Serikat, 48% pengguna TikTok mengaku membaca lebih banyak sejak mengikuti rekomendasi dari komunitas BookTok.
-
Perpustakaan dan Toko Buku Kembali Jadi Ruang Sosial
Alih-alih menggantikan perpustakaan dengan aplikasi, Gen Z justru menjadikannya tempat berkumpul dan eksplorasi. Di Indonesia, Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan H.B. Jassin kini ramai dikunjungi anak muda. Di Inggris dan AS, toko buku lokal melaporkan peningkatan kunjungan berkat kampanye “beli buku fisik untuk dukung usaha kecil.” Seperti diungkap Lili Dewrance, 23 tahun dari London, kepada World Economic Forum: “Membeli novel baru terasa seperti hadiah pengalaman yang tak bisa ditiru lewat unduhan digital.”
Baca Juga : 10 Tips Produktif Tanpa Burnout ala Gen Z dengan Gaya Slow Living
-
Literasi Gen Z Jadi Tantangan bagi Kebijakan Nasional
Meski semangat membaca Gen Z menggembirakan, tantangan struktural masih menghambat. Tempo.co mencatat bahwa indeks literasi anak Indonesia justru menurun, sementara kebijakan pemerintah belum menempatkan buku sebagai sektor strategis. Padahal, tanpa dukungan infrastruktur seperti akses buku murah, ruang baca yang inklusif, dan perlindungan bagi penerbit lokal gerakan literasi ini berisiko hanya menjadi tren sesaat. Padahal, visi Indonesia Emas 2045 mustahil tercapai tanpa fondasi literasi yang kuat.
Fenomena Gen Z sebagai kutu buku baru membuktikan bahwa teknologi tidak selalu menggerus budaya baca justru bisa menjadi jembatan. Namun, agar semangat ini berkelanjutan, dibutuhkan kolaborasi antara masyarakat, industri penerbitan, dan kebijakan publik. Karena pada akhirnya, bukan hanya tentang membaca tapi tentang membangun bangsa yang berpikir kritis, empatik, dan berwawasan luas.
