FYP Media.ID – Sebagai orangtua, siapa yang tidak pernah kehilangan kesabaran terhadap anak? Anak-anak memang sering menunjukkan perilaku yang menguji batas emosi orangtua. Namun, penting untuk diketahui bahwa kebiasaan membentak anak — terutama jika dilakukan secara berulang — dapat memberi dampak negatif jangka panjang terhadap kesehatan mental mereka.
Banyak orangtua mengira bahwa membentak adalah bentuk disiplin yang sah, bahkan efektif. Padahal, sejumlah penelitian dan pendapat para ahli menunjukkan bahwa teriakan dan nada tinggi dapat meninggalkan luka emosional yang dalam, bahkan hingga anak tumbuh dewasa.
Simak penjelasan lengkap mengenai 5 dampak buruk membentak anak, yang wajib diketahui setiap orangtua:
1. Anak Bisa Mengalami Trauma Psikis yang Menetap
Menurut psikolog Samanta Elsener, bentakan dapat mengganggu sistem saraf anak. “Neurons atau neurotransmitter di otak anak bisa terganggu dan berakibat trauma, sehingga perkembangan mental anak jadi terhambat,” jelasnya dalam wawancara dengan Kompas.com.
Lebih jauh, informasi dari Healthline menyebut bahwa otak manusia lebih cepat memproses informasi negatif. Saat anak dibentak, bagian otak yang bertanggung jawab terhadap emosi dan bahasa bisa terganggu. Bahkan, studi pencitraan otak menemukan perbedaan struktur otak pada anak yang mengalami kekerasan verbal dibanding anak-anak lain.
Artinya, trauma akibat bentakan bukan hanya terasa secara emosional, namun juga berdampak biologis secara nyata pada otak anak. Ini bisa membuat mereka tumbuh dalam kondisi psikologis yang tidak stabil.
2. Anak Kehilangan Rasa Percaya Diri dan Merasa Tidak Berharga
Membentak seringkali membuat anak merasa tidak dihargai. Rasa takut dan tekanan mental membuat mereka meragukan kemampuan diri sendiri. “Anak menjadi kurang percaya diri dan mudah cemas,” kata Samanta.
Sebuah penelitian dalam Journal of Child Development tahun 2013 menunjukkan bahwa anak-anak yang sering dibentak memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi dan masalah kepercayaan diri.
Joseph Shrand, Instruktur Psikiatri dari Harvard Medical School, juga menegaskan bahwa teriakan adalah cara tercepat untuk membuat seseorang merasa tidak berharga. Anak-anak yang tumbuh dengan tekanan verbal cenderung lebih sensitif terhadap kritik, merasa dirinya bodoh, atau tidak cukup baik.
Kehilangan rasa percaya diri ini bukan hanya berdampak saat anak-anak, tapi juga mengganggu relasi sosial, prestasi akademis, hingga masa depan anak saat dewasa kelak.
3. Anak Tumbuh dengan Kecemasan Tinggi dan Takut yang Tidak Perlu
Anak yang sering dibentak akan merasa selalu dalam kondisi terancam. Bahkan saat tidak melakukan kesalahan, mereka bisa merasa cemas dan takut tanpa sebab jelas.
Psikolog klinis Jazmine McCoy menjelaskan bahwa membentak anak memicu respons stres di otak. Ini mengakibatkan mereka kesulitan belajar dan mengembangkan diri secara optimal.
“Kita harus ingat bahwa ketika kita berteriak, anak-anak sebenarnya tidak sedang belajar. Mereka justru sedang stres, dan otak tidak bisa belajar saat sedang stres,” tegas McCoy.
Tak heran, anak-anak yang tumbuh dengan pola asuh keras kerap mengalami gangguan kecemasan, sulit tidur, susah berkonsentrasi, dan mudah panik bahkan untuk hal-hal sepele.
Dalam jangka panjang, mereka bisa menghindari tantangan karena takut gagal, dan sulit membangun rasa aman, bahkan di rumah sendiri.
4. Anak Tidak Bisa Mengelola Emosi dengan Baik
Orangtua adalah panutan utama dalam kehidupan anak. Anak adalah peniru ulung. Ketika mereka sering melihat orangtua meluapkan kemarahan dengan teriakan atau bentakan, maka itulah yang akan mereka contoh.
Psikolog Samanta Elsener menambahkan, anak yang sering dibentak cenderung menjadi mudah marah dan tidak pandai mengontrol emosinya. Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang:
-
Cepat tersinggung
-
Agresif terhadap teman
-
Sulit menyelesaikan konflik secara sehat
-
Tidak mampu mengenali dan memahami perasaannya sendiri
Alih-alih menjadi anak disiplin, mereka justru meniru pola reaktif orangtua, yang memperburuk perilaku. Dalam kehidupan sosial, anak seperti ini rentan dijauhi teman dan sulit menjalin relasi positif.
Selain itu, anak yang tidak paham alasan mereka dimarahi bisa menyimpulkan bahwa mereka memang “nakal” atau “tidak disukai.” Ini memperparah identitas negatif yang terbentuk sejak dini.
5. Berisiko Mengalami Depresi Jangka Panjang Saat Dewasa
Dampak membentak anak tidak berhenti di masa kecil. Banyak riset menunjukkan bahwa kekerasan verbal dari orangtua, jika dilakukan terus-menerus, berkaitan langsung dengan peningkatan risiko gangguan mental jangka panjang.
Menurut studi, anak yang sering dibentak lebih rentan mengalami:
-
Depresi pada usia remaja dan dewasa
-
Kecanduan narkoba
-
Perilaku seksual berisiko
-
Gangguan hubungan interpersonal
-
Isolasi sosial dan rendahnya produktivitas kerja
Bahkan, banyak kasus bunuh diri remaja yang akarnya berasal dari luka emosional masa kecil. Sayangnya, banyak orangtua tidak menyadari bahwa hal ini bisa bermula dari kebiasaan membentak, apalagi jika dibarengi kata-kata kasar seperti:
“Kamu bodoh!”
“Kamu bikin malu!”
“Kamu lambat banget!”
Kata-kata tersebut bisa menjadi “kode” negatif yang menetap dalam ingatan anak, dan terulang dalam pikiran mereka selama bertahun-tahun.
Cara Menghindari Kebiasaan Membentak Anak
Tidak mudah menjadi orangtua yang sabar, apalagi saat menghadapi anak yang aktif dan sulit diatur. Namun, ada beberapa langkah bijak untuk menghindari membentak, antara lain:
- Tarik napas dalam dan hitung sampai 10 sebelum merespons
- Alihkan emosi dengan keluar ruangan sejenak
- Gunakan kalimat positif yang menjelaskan, bukan menyalahkan
- Berbicara sejajar dengan mata anak, bukan dari atas dengan tekanan
- Cari waktu introspeksi diri: apakah kita lelah, stres, atau kecewa?
Kesimpulan
Membentak bukan solusi disiplin. Justru bisa jadi awal luka batin anak. Teriakan hanya menghentikan perilaku sementara, tapi tidak mengajarkan anak mengapa hal itu salah. Anak perlu rasa aman, cinta, dan bimbingan yang sabar dari orangtuanya.
Dengan memahami dampak psikologis dari bentakan, orangtua dapat lebih bijak dan tenang dalam membimbing anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat secara mental dan emosional.
Yuk, mulai ubah pendekatan kita hari ini. Karena masa depan anak dimulai dari pola asuh kita di rumah.