5 Anggota DPR Dinonaktifkan, Tapi Tetap Terima Gaji dan Tunjangan? Ini Penjelasannya

5 Anggota DPR ‘Dinonaktifkan’

FYPmedia.id– Dalam keputusan mengejutkan, lima anggota DPR RI baru-baru ini dinonaktifkan oleh partainya masing-masing, namun tetap menerima gaji dan tunjangan sebagaimana biasa. Meski langkah tersebut dianggap sebagai respons kepada publik yang marah, tindakan ini memicu kontroversi di tengah janji reformasi fasilitas wakil rakyat.

Siapa saja yang Dinonaktifkan?

Lima legislator yang dinonaktifkan  per 1 September 2025 adalah:

  • Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari NasDem
  • Eko Patrio (Eko Hendro Purnomo) dan Surya Utama (Uya Kuya) dari PAN
  • Adies Kadir, Wakil Ketua DPR, dari Golkar

Mereka dinonaktifkan pasca-unggahan kontroversial dan gelombang demonstrasi besar di depan gedung DPR, yang akhirnya memicu kecaman publik luas.

Anggota DPR yang dinonaktifkan oleh partai politik ternyata tidak serta-merta kehilangan statusnya sebagai wakil rakyat. Status “nonaktif” dalam konteks ini hanya berarti bahwa mereka untuk sementara waktu tidak menjalankan tugas dan kewenangan di parlemen hingga adanya keputusan lebih lanjut dari partai atau lembaga berwenang.

Dengan kata lain, figur publik seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir masih tercatat sebagai anggota DPR secara administratif. Hanya saja, untuk sementara mereka tidak berpartisipasi dalam proses legislasi, rapat-rapat penting, maupun agenda formal lainnya.

Status nonaktif ini bisa disamakan dengan pemberhentian sementara. Artinya, meskipun aktivitas mereka di ruang sidang dan fungsi representatif dibatasi, hak-hak administratif sebagai anggota dewan tetap melekat. Hal ini termasuk hak untuk menerima gaji pokok, tunjangan, hingga fasilitas tertentu yang memang melekat pada jabatan anggota DPR.

Baca Juga: 5 Anggota DPR ‘Dinonaktifkan’: Bongkar Fakta, UU MD3, dan Drama Politik 3 Partai

Apakah Nonaktif Sama dengan Pemecatan? 

Banyak publik bertanya-tanya, apakah status nonaktif bagi anggota DPR sama artinya dengan pemecatan? Jawabannya tegas: tidak sama.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang kemudian telah diubah melalui UU Nomor 13 Tahun 2019, tidak ada pasal yang secara eksplisit mengatur istilah “penonaktifan” anggota DPR. Dengan kata lain, nonaktif lebih pada istilah administratif atau kebijakan internal partai, bukan bentuk pemecatan penuh dari kursi parlemen.

Dalam UU MD3, status anggota DPR hanya mengenal tiga jenis pemberhentian resmi, yaitu:

  1. Pemberhentian Antarwaktu (PAW) – terjadi bila seorang anggota DPR meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan oleh partainya.
  2. Penggantian Antarwaktu – dilakukan ketika anggota yang diberhentikan diganti oleh calon legislatif berikutnya yang memperoleh suara terbanyak di dapil terkait.
  3. Pemberhentian Sementara – diterapkan bila seorang anggota DPR menjadi terdakwa kasus pidana umum dengan ancaman hukuman minimal lima tahun penjara, atau dalam kasus tindak pidana khusus seperti korupsi maupun pelanggaran berat lainnya.

Dengan demikian, nonaktif berbeda dengan pemecatan total. Nonaktif lebih mirip dengan “pemberhentian sementara” karena anggota DPR tersebut tidak aktif menjalankan fungsi legislasi, tetapi status administratif dan keanggotaan mereka tetap melekat.

Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli, memberikan penjelasan. Menurutnya, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), sebenarnya tidak ada istilah “penonaktifan” anggota DPR.

Dalam UU tersebut, yang dikenal adalah mekanisme pemberhentian antar waktu (PAW), yaitu proses resmi untuk mengganti anggota dewan yang diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Artinya, istilah “nonaktif” lebih merupakan keputusan internal partai politik, bukan istilah hukum yang baku dalam regulasi.

“Publik memang bertanya apa maksud dari kata nonaktif tersebut, apakah artinya diberhentikan sehingga nanti harus ada PAW, atau maknanya hanya diberhentikan sementara,” jelas Lili kepada CNBC Indonesia, Senin (1/9/2025).

Baca Juga: 6 Stasiun MRT Jakarta Tutup Sementara Imbas Demo, Layanan Dibatasi Sabtu Ini

Apakah anggota DPR nonaktif masih mendapat gaji?

Lili menegaskan, jika status nonaktif itu diartikan sebagai PAW, maka sejak 1 September 2025 kelima anggota dewan tersebut tidak lagi memiliki hak keuangan. Mereka resmi berhenti sebagai anggota DPR dan seluruh hak gaji maupun tunjangan otomatis dicabut.

Namun, jika status nonaktif ini dimaknai sebagai pemberhentian sementara, kondisinya berbeda. Anggota DPR yang diberhentikan sementara masih tetap memiliki hak-hak keuangan tertentu sesuai peraturan perundang-undangan.

“Jika maknanya PAW maka anggota dewan yang dinonaktifkan tersebut per tanggal 1 September tidak lagi mendapat hak keuangan. Namun jika diberhentikan sementara, mereka masih tetap mendapat hak keuangan,” tegas Lili.

Penjelasan lebih lanjut datang dari regulasi internal DPR. Berdasarkan Pasal 19 ayat 4 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, anggota DPR yang diberhentikan sementara tetap memperoleh hak keuangan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Bunyi pasalnya: “Anggota yang diberhentikan sementara tetap menerima hak keuangan sesuai peraturan yang berlaku.”

Artinya, kelima anggota DPR yang berstatus nonaktif tersebut tetap berhak menerima gaji pokok beserta seluruh tunjangan yang melekat. Hak itu mencakup tunjangan keluarga, jabatan, komunikasi, hingga tunjangan beras. Dengan demikian, meski tidak aktif bekerja di parlemen, secara finansial mereka masih tetap memperoleh hak penuh sebagai anggota dewan.

Meskipun lima anggota DPR dinonaktifkan oleh partai karena tekanan publik, mereka tetap menerima gaji dan tunjangan. Status nonaktif tidak secara otomatis menghapus hak keuangan, karena mekanisme hukum seperti PAW belum dijalankan. Ini jadi pelajaran penting bahwa reformasi legislasi tak cukup lewat keputusan simbolis; harus disertai langkah legal dan transparan untuk mempertahankan kredibilitas lembaga DPR.