Wacana Pilkada Lewat DPRD, Efisiensi Anggaran atau Kepentingan Elite Politik?

Wacana Pilkada Lewat DPRD, Efisiensi Anggaran atau Kepentingan Elite Politik?
sumber foto: canva.com

FYPMedia.ID – Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menjadi sorotan. Presiden Prabowo Subianto menggulirkan ide ini sebagai upaya untuk menekan biaya politik yang tinggi dalam pelaksanaan Pilkada langsung. Usulan tersebut mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak, mulai dari pejabat pemerintah, akademisi, hingga politisi.

Menurut Presiden Prabowo, mekanisme pemilihan oleh DPRD dapat menjadi solusi untuk mengurangi pemborosan anggaran. Dalam pidatonya di perayaan HUT ke-60 Partai Golkar, ia menyebut bahwa dana Pilkada yang besar sebaiknya dialihkan untuk kebutuhan mendesak, seperti pendidikan dan infrastruktur. 

“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” ujar Prabowo, Kamis (12/12/2024).

Baca juga: Kotak Kosong Menang di Pilkada Pangkalpinang 2024

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mendukung wacana ini, menyebut Pilkada langsung membutuhkan biaya besar dan kerap memicu konflik di daerah. Ia mengusulkan penerapan pilkada asimetris, yaitu mekanisme Pilkada yang disesuaikan dengan karakteristik daerah tertentu. Ia menjelaskan, ide tersebut harus dikaji.

“Tapi ya kita lihat bagaimana teman-teman di DPR nanti, parpol, akademisi, Kemendagri melakukan kajian,” kata Tito, Senin (16/12/2024).

Namun, wacana ini tidak lepas dari kritik. Anggota DPR Zulfikar Arse Sadikin menyatakan bahwa pemilihan oleh DPRD tidak menjamin terbebas dari politik uang.

“Kalau memang sekarang ada money politics, dipilih DPRD juga ada money politics-nya. Kan kita sudah pengalaman dengan itu,” kata Zulfikar, melalui keterangannya, Senin (16/12/2024).

Ia juga menyoroti aspek yang lebih mendalam terkait kedaulatan rakyat. Menurutnya, jika pemilihan kepala daerah kembali dilakukan oleh DPRD, hal itu akan menimbulkan pertanyaan besar mengenai posisi rakyat dalam sistem demokrasi.

Baca juga: MK Resmi Ubah Desain Surat Suara Calon Tunggal Pilkada Mulai 2029

“Habis itu, rakyat dikemanakan? Padahal kan, pembukaan Undang-Undang Dasar kita bilang yang punya daulat itu rakyat. Pemerintahan disusun atas dasar kedaulatan rakyat. Nah, di mana letaknya rakyat itu?” tambahnya.

Kritik serupa datang dari Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perludem, yang khawatir Pilkada melalui DPRD hanya akan melayani kepentingan elite partai. Meski efisien, mekanisme ini dinilai bisa memutus rantai aspirasi masyarakat. 

“Bisa memutus mata rantai aspirasi publik dan menimbulkan kesewenang-wenangan elite,” kata Titi.

Wacana serupa pernah mencuat pada 2014 ketika DPR RI mengesahkan undang-undang Pilkada yang mengatur pemilihan melalui DPRD. Namun, keputusan tersebut mendapat banyak penolakan hingga akhirnya dibatalkan. Kini, usulan ini muncul kembali sebagai bagian dari pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.

Baik Pilkada langsung maupun oleh DPRD, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Di tengah perdebatan ini, pemerintah dan DPR perlu memastikan agar mekanisme yang diterapkan tetap mendukung kedaulatan rakyat serta efisiensi penyelenggaraan demokrasi.