FYP Media.ID – Kamis, 10 April 2025 – Pemerintahan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, kembali menjadi sorotan global setelah ia mengumumkan kebijakan kontroversial terkait tarif impor. Dalam pidatonya di hadapan para pendukungnya di Florida, Trump menyatakan bahwa dirinya akan menunda pemberlakuan tarif baru terhadap puluhan negara mitra dagang selama 90 hari. Namun, di sisi lain, ia justru meningkatkan tarif impor terhadap produk-produk asal Cina hingga 125 persen, sebuah langkah yang menuai pujian dan kecaman secara bersamaan dari berbagai pihak.
Penundaan tarif ke puluhan negara selama 90 hari ini dipandang oleh para analis ekonomi sebagai langkah strategis yang penuh perhitungan. Negara-negara yang mendapatkan kelonggaran tarif ini antara lain Meksiko, Kanada, negara-negara Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, India, dan beberapa negara berkembang lainnya di Asia dan Amerika Latin.
Trump menyebut kebijakan ini sebagai “kesempatan terakhir” bagi negara-negara mitra dagang AS untuk “memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan” yang menurutnya telah merugikan ekonomi Amerika selama beberapa dekade.
“Kami memberikan waktu 90 hari kepada negara-negara yang bersahabat untuk menegosiasikan kesepakatan dagang yang adil bagi rakyat Amerika. Jika tidak, tarif akan diberlakukan secara penuh,” ujar Trump dalam pidatonya, Senin (8/4) waktu setempat.
Namun, beberapa pengamat menilai bahwa langkah ini tidak lepas dari kepentingan politik menjelang pemilihan presiden 2024. Trump yang kembali mencalonkan diri dari Partai Republik dianggap ingin menunjukkan sikap tegas namun tetap membuka ruang negosiasi untuk menarik dukungan dari kalangan pebisnis dan pemilih konservatif yang mendambakan kestabilan ekonomi.
Baca Juga: Bitcoin Anjlok Usai Trump Naikkan Tarif Impor China Jadi 104%: Sentimen Global Bikin Kripto Merah?
Penundaan tarif ke puluhan negara selama 90 hari ini dipandang oleh para analis ekonomi sebagai langkah strategis yang penuh perhitungan. Negara-negara yang mendapatkan kelonggaran tarif ini antara lain Meksiko, Kanada, negara-negara Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, India, dan beberapa negara berkembang lainnya di Asia dan Amerika Latin.
Trump menyebut kebijakan ini sebagai “kesempatan terakhir” bagi negara-negara mitra dagang AS untuk “memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan” yang menurutnya telah merugikan ekonomi Amerika selama beberapa dekade.
“Kami memberikan waktu 90 hari kepada negara-negara yang bersahabat untuk menegosiasikan kesepakatan dagang yang adil bagi rakyat Amerika. Jika tidak, tarif akan diberlakukan secara penuh,” ujar Trump dalam pidatonya, Senin (8/4) waktu setempat.
Namun, beberapa pengamat menilai bahwa langkah ini tidak lepas dari kepentingan politik menjelang pemilihan presiden 2024. Trump yang kembali mencalonkan diri dari Partai Republik dianggap ingin menunjukkan sikap tegas namun tetap membuka ruang negosiasi untuk menarik dukungan dari kalangan pebisnis dan pemilih konservatif yang mendambakan kestabilan ekonomi.
Baca Juga: Tarif Impor Donald Trump Siap Mengguncang Dunia Teknologi: Harga iPhone Bisa Naik 40%!
Trump menyebut Cina sebagai “manipulator ekonomi global” dan menuding Beijing telah mengambil keuntungan tidak adil dari perdagangan bebas selama bertahun-tahun. Ia juga menyoroti defisit perdagangan AS dengan Cina yang mencapai ratusan miliar dolar sebagai bukti bahwa sistem perdagangan global harus diubah secara fundamental.
“Kita tidak akan lagi membiarkan Cina mencuri teknologi, pekerjaan, dan masa depan bangsa ini. Tarif 125 persen adalah pesan bahwa era pencurian ekonomi telah berakhir,” tegas Trump.
Keputusan Trump untuk menaikkan tarif terhadap Cina langsung berdampak pada pasar global. Indeks saham di Wall Street sempat mengalami penurunan tajam, sementara nilai tukar yuan melemah terhadap dolar AS. Para pelaku usaha, terutama di sektor manufaktur dan teknologi, khawatir bahwa kenaikan tarif ini akan memicu perang dagang jilid kedua yang pernah mengguncang perekonomian dunia pada 2018-2019.
Di sisi lain, sejumlah negara yang mendapatkan penundaan tarif menyambut baik keputusan tersebut meski dengan hati-hati. Menteri Perdagangan Jepang, Kenji Yamada, menyatakan bahwa Tokyo akan memanfaatkan masa 90 hari ini untuk memperkuat dialog ekonomi dengan Washington dan menghindari potensi konflik dagang.
Sementara itu, Uni Eropa menyatakan siap berdialog namun tetap akan menjaga kepentingan industrinya dari tekanan eksternal yang tidak adil.
“Kami terbuka untuk berdiskusi, namun Eropa tidak akan tunduk pada ultimatum yang merugikan prinsip perdagangan bebas,” ujar Komisaris Perdagangan Uni Eropa, Valdis Dombrovskis.
Kebijakan ini tidak lepas dari kritik keras, terutama dari dalam negeri AS sendiri. Sejumlah perusahaan besar yang memiliki rantai pasok global mengaku terkejut dengan kenaikan tarif terhadap Cina. Mereka khawatir bahwa harga barang konsumsi akan naik dan inflasi bisa kembali meningkat.
“Kenaikan tarif sebesar ini akan langsung dirasakan oleh konsumen. Kami mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pendekatan ini,” kata Alex Boone, juru bicara Asosiasi Perdagangan Ritel Nasional.
Partai Demokrat pun menuduh Trump menggunakan isu tarif sebagai alat kampanye semata tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekonomi nasional.
“Ini bukan strategi ekonomi, ini strategi politik yang berbahaya. Kita butuh stabilitas, bukan kebijakan yang berubah-ubah tiap tiga bulan,” ujar Senator Elizabeth Warren.
Dengan waktu 90 hari yang diberikan kepada puluhan negara, pertanyaan besar yang muncul adalah apakah pendekatan Trump akan membawa hasil positif atau justru memicu ketegangan baru. Apabila tidak ada kesepakatan dalam periode tersebut, AS terancam menghadapi retaliasi dagang dari negara-negara mitra, termasuk kemungkinan pelaporan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Di sisi lain, sejumlah analis berharap bahwa kebijakan ini dapat dimanfaatkan untuk menciptakan reformasi sistem perdagangan yang lebih adil, terutama dalam hal perlindungan kekayaan intelektual, standar tenaga kerja, dan pengurangan subsidi yang merugikan persaingan sehat.
“Jika dilakukan dengan benar, ini bisa menjadi momentum untuk menciptakan sistem perdagangan global yang lebih seimbang. Tapi jika salah langkah, dampaknya bisa sangat buruk,” kata Jeffrey Sachs, pakar ekonomi dari Columbia University.
Langkah Trump menunda tarif ke puluhan negara namun meningkatkan tarif ke Cina hingga 125 persen adalah manuver berisiko tinggi yang bisa menentukan arah ekonomi global dalam waktu dekat. Dunia kini menanti apakah keputusan ini akan menjadi awal dari negosiasi perdagangan baru yang konstruktif, atau justru membuka lembaran baru dalam perang dagang yang bisa berdampak buruk bagi semua pihak.