Disiksa Setahun, ART Sumba Barat Alami Luka Fisik & Batin
FYPMedia.ID – Pelayanan Rumah Tangga Berujung Derita Seorang ART berinisial I, asal Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi korban penyiksaan luar biasa oleh majikannya di Batam, Kepulauan Riau. Peristiwa memilukan ini membalikkan bayangan rumah sebagai tempat penuh kasih menjadi neraka bagi sang pekerja.
Baca Juga: 11 WNI Menjadi Korban TPPO, Kenapa TPPO Masih Terus Terjadi?
Kronologi Perlakuan Brutal
Keluarga melalui perwakilan Romo Pascal mengungkap fakta: I dipukul hingga babak belur, dipaksa makan kotoran anjing dan minum air parit. “Korban meminjam HP tetangga dan mengirimkan foto-video. Itu yang memicu keluarganya segera evakuasi,” ungkap Romo Pascal.
Ia menderita luka memar, malnutrisi, bahkan sempat memerlukan transfusi darah. Hasil pemeriksaan CT scan, rontgen, dan USG menguatkan adanya trauma fisik dan gizi buruk yang berkelanjutan.
Motif Sadis: Kontrol Ekstrem
Majikan berinisial R mengklaim tetap tidak puas dengan kinerja I: pengepel tidak bersih, tuduhan mencuri, hingga kesalahan ringan menjadi dalih untuk kekerasan. I disiksa hingga minum air parit, makan kotoran anjing, dan mengalami pelecehan verbal—dipanggil nama binatang dan kata-kata merendahkan.
Ironisnya, R bahkan melibatkan ART lain (masih keluarga I) untuk ikut menyiksa—menyeret I ke kamar mandi, menginjak tubuhnya, dan tindakan keji lainnya.
Kondisi Terakhir dan Penanganan Medis
Saat ini, I—ART asal Sumba Barat yang menjadi korban kekerasan—sedang menjalani perawatan intensif di RS Elisabeth Batam. Kondisinya sangat memprihatinkan. Dari hasil observasi awal tim medis, I mengalami luka memar hampir di seluruh tubuh, mengalami kekurangan gizi parah, dan menunjukkan gejala trauma psikologis berat. Selain luka luar, dokter juga mencurigai adanya cedera internal, terutama di bagian perut, sehingga diperlukan pemeriksaan lanjutan berupa CT scan, rontgen, hingga USG.
Tim medis telah memberikan transfusi darah untuk menstabilkan kondisi tubuh korban yang sangat lemah. I kini dalam pengawasan ketat dan mendapat pendampingan dari keluarga serta pihak advokasi. Kasus ini bukan hanya soal luka fisik, tapi juga menyisakan luka batin yang mendalam akibat kekerasan berulang yang dialaminya selama setahun bekerja di rumah sang majikan.
Sorotan Penanganan Hukum
Kasus ini segera dilaporkan ke polisi. Meski belum ada info publik mengenai penetapan tersangka atau tindakan aparat, video dan foto menjadi bukti utama. Korban berani menyuarakan karena dorongan keluarga—ini bukan drama, tapi realita tragis.
Konsensus Nasional: Tidak Ada Toleransi
Kasus ini mengingatkan masyarakat akan rentannya pekerja rumah tangga terhadap kekerasan di ruang tertutup. Persoalan ini mendapat kecaman tajam dari masyarakat, LPSK, LBH, dan lembaga HAM karena:
-
Maladministrasi dan Lemahnya Perlindungan
-
Kurangnya Pengawasan Hukum kepada Majikan
-
Normalisasi Kekerasan dan Pelecehan di Rumah Tangga
Penguatan Sistem: Bertindak Sekarang
Untuk mencegah tragedi serupa, perlu langkah-langkah nyata:
-
Perlindungan Hukum Mendalam: regulasi dan pengawasan lebih ketat terhadap majikan.
-
Penegakan Hukum Tegas: pelaku kekerasan harus diproses sesuai KUHP & UU KDRT.
-
Pelindungan dan Rehabilitasi Korban: pengobatan fisik & psikologis, lembaga pendamping seperti LPSK.
-
Edukasi & Sosialisasi HAM: perlindungan hak ART di kampung, sekolah, dan sites digital.
-
Akses Pelaporan Mudah: hotline nasional, konsorsium kesehatan, organisasi masyarakat.
Mengubah Narasi: Rumah Bukan Penjara
Kejahatan ini harus membuka mata masyarakat bahwa kekerasan ekstrem bisa terjadi dalam rumah yang terlihat biasa. Warga perlu lebih peduli, aktif melaporkan tanda-tanda kekerasan, dan mendukung korban berbicara. Media juga harus menyoroti kasus ini sebagai dorongan perubahan budaya.
Kasus penyiksaan ART asal Sumba Barat bukan sekadar tindak kekerasan, melainkan tragedi kemanusiaan yang membuka luka kolektif bangsa. Di balik tembok rumah yang seharusnya menjadi tempat aman dan penuh kasih, justru tersimpan kekejaman yang mengguncang nurani. Dipukul, dihina, hingga dipaksa memakan kotoran anjing—ini bukan cerita fiksi. Ini adalah potret nyata kegagalan kita sebagai masyarakat dan negara dalam melindungi yang paling rentan.
Perlakuan kejam ini mencerminkan bukan hanya kekejian individu, tetapi juga kerapuhan sistem perlindungan pekerja rumah tangga di Indonesia. Hingga kini, masih belum ada Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang tegas dan komprehensif. Banyak ART bekerja tanpa kontrak, tanpa jaminan kesehatan, tanpa pengawasan. Mereka hidup dalam bayang-bayang eksploitasi, kerap dibungkam oleh ketakutan, dan disalahkan saat bersuara.
Oleh karena itu, langkah cepat dan tegas dari aparat penegak hukum bukan lagi sekadar pilihan—tetapi keharusan moral. Pelaku harus diadili dengan pasal maksimal, tanpa toleransi. Ini penting bukan hanya untuk memberi keadilan pada korban, tetapi juga sebagai pesan kuat bahwa Indonesia tidak akan membiarkan praktik perbudakan modern terus hidup di balik pintu rumah.
Baca Juga: 573 Kasus Kekerasan Meningkat di Sekolah dan Pesantren
Masyarakat pun memegang peran kunci. Kita tidak bisa lagi tutup mata. Kita harus menjadi mata dan telinga bagi para korban yang tidak mampu bersuara. Kita harus aktif melaporkan dugaan kekerasan, memberi dukungan pada korban, dan mendesak pengesahan UU Perlindungan PRT.
Dan yang tak kalah penting: korban harus mendapat pemulihan penuh—secara fisik, psikologis, dan hukum. Mereka harus tahu bahwa negara dan masyarakat berdiri di pihak mereka. Jika semua pihak tidak segera bertindak, maka rumah-rumah akan terus menyembunyikan kekerasan. Kekejaman akan terus tumbuh dalam diam. Dan kita semua—akan jadi bagian dari kegagalan itu.