5 Alasan Mengapa Pengepungan di Bukit Duri Layak Disebut Karya Terpenting Joko Anwar

5 Alasan Mengapa Pengepungan di Bukit Duri Layak Disebut Karya Terpenting Joko Anwar

FYP Media.id – Pada Sabtu, 26 April 2025  – Setelah tertidur selama 17 tahun dalam bentuk naskah, film Pengepungan di Bukit Duri akhirnya dirilis ke layar lebar oleh Joko Anwar. Dan begitu film ini diputar, seolah-olah sebuah kotak rahasia yang menyimpan luka dan kritik sosial yang tajam dibuka lebar-lebar. Joko Anwar tidak setengah-setengah saat menggarap karya ini—bahkan bisa dibilang ini adalah salah satu film terpenting dalam jejak kreatifnya sebagai sutradara.

Sejak menit pertama, film ini sudah menyodorkan realitas fiktif yang terasa begitu nyata. Mengambil latar tahun 2027, Joko Anwar menggambarkan sebuah Indonesia yang remuk oleh konflik sosial, ketimpangan pendidikan, dan trauma masa lalu yang belum selesai. Meskipun film ini disajikan dalam balutan distopia, benang merahnya begitu terasa dengan kondisi sosial yang kita temui hari ini. Maka tak heran jika film ini bisa sangat menggugah—atau bahkan menyakitkan—bagi sebagian penonton.

Baca juga: 5 Alasan Film Conclave Wajib Ditonton Kembali di Bioskop Tahun Ini

Film ini sendiri bukan hanya karya fiksi yang menghibur, tetapi sebuah cermin yang memantulkan luka-luka sosial bangsa. Dan karena potensi muatan emosionalnya yang kuat, Joko Anwar bahkan sudah menyisipkan peringatan di media sosial dan materi promosi untuk mengingatkan bahwa film ini bisa memicu trauma bagi sebagian orang, khususnya mereka yang memiliki latar pengalaman serupa.

Cerita berpusat pada Edwin (diperankan Morgan Oey), seorang guru pengganti yang mendapat tugas mengajar di SMA Duri—sebuah sekolah ‘buangan’ bagi siswa-siswa yang telah ditolak dari berbagai tempat lain. Namun di balik tugas mengajarnya, Edwin membawa misi pribadi: mencari keponakannya yang hilang, sebuah pesan terakhir dari mendiang kakaknya.

Kehadiran Edwin yang berasal dari kelompok minoritas memantik konflik baru. Ketika kota mulai dilanda kerusuhan, sekolah itu pun berubah menjadi arena pengepungan, memaksa Edwin, guru lain bernama Diana (Hana Malasan), dan beberapa siswa untuk bertahan hidup di tengah tekanan.

Secara eksekusi, Pengepungan di Bukit Duri sangat mencerminkan gaya khas Joko Anwar: tajam, gelap, dan penuh ketegangan psikologis. Setelah paruh awal yang penuh atmosfer ketidakpastian, film ini masuk ke mode chamber drama, di mana latar terbatas menjadi panggung utama cerita. Seluruh ketegangan dipusatkan di gedung sekolah, terutama saat Edwin dan Diana terjebak bersama dua murid lainnya, Kristo dan Fatih, serta berhadapan langsung dengan Jefri (Omara Esteghlal), pemimpin geng pelajar yang brutal.

Meski di beberapa titik cerita terasa agak melambat, terutama saat memasuki pertengahan film, Joko berhasil membayar lunas dengan penutup yang mengesankan. Ending film ini bukan hanya klimaks yang emosional, tetapi juga menyelesaikan misteri dan pertanyaan yang dibangun sejak awal.

Namun, kekuatan utama film ini bukan cuma pada cerita dan penyutradaraannya, melainkan juga pada performa para aktornya. Morgan Oey menampilkan sisi Edwin yang penuh luka dan dilematis dengan begitu halus, sementara Omara Esteghlal memberi nuansa psikologis yang kuat pada karakter Jefri. Keduanya menjadi representasi generasi yang tersesat, namun juga terjebak dalam sistem yang rusak sejak lama.

Tidak kalah penting adalah bagaimana film ini menyentuh berbagai isu sosial yang kerap kali disingkirkan dari percakapan publik: diskriminasi rasial, kekerasan dalam pendidikan, hingga trauma kolektif seperti tragedi Mei 1998. Joko Anwar secara cerdas menyelipkan referensi tersebut, misalnya lewat simbol seperti frekuensi radio 98.05 FM—penanda simbolis dari tahun kerusuhan.

Latar waktu tahun 2027 dipilih bukan tanpa alasan. Menurut sang sutradara, jarak dua tahun dari waktu sekarang membuat ceritanya lebih terasa dekat, relevan, dan mengena. Jika mengambil latar waktu yang lebih jauh seperti tahun 2045, kekuatan keterhubungan emosional penonton bisa saja mengendur.

Selain itu, film ini juga membawa pesan anti-kekerasan yang kuat, terutama dalam konteks remaja. Penonton diajak menyaksikan bagaimana generasi muda mencoba mencari jati diri mereka dalam lingkungan yang keras dan penuh tekanan, baik dari sistem pendidikan maupun lingkungan sosial yang diskriminatif.

Yang membuat film ini semakin menarik adalah fakta bahwa proses pembuatannya memakan waktu sangat panjang. Joko Anwar mulai menulis naskahnya sejak tahun 2007, namun baru merasa cukup matang untuk mewujudkannya pada tahun 2024. Perjalanan 17 tahun ini mencerminkan betapa seriusnya Joko dalam mengolah ide dan memastikan film ini hadir di waktu yang paling tepat.

Tanggal rilisnya pun bukan sembarangan. Film ini tayang pada 17 April 2025, tanggal yang memiliki benang merah dengan karya Joko sebelumnya, Pengabdi Setan, yang juga mengangkat tanggal-tanggal signifikan dalam narasinya.

Baca juga: Film Siksa Kubur Mempunyai Beberapa Teori, Yuk Simak Beritanya!

Tak mengherankan jika film ini langsung mencuri perhatian. Dalam waktu hanya seminggu, Pengepungan di Bukit Duriberhasil menyedot 500 ribu penonton ke bioskop. Angka ini menjadi bukti bahwa film dengan tema berat sekalipun tetap bisa menjangkau banyak orang, asalkan dikemas dengan jujur dan kuat secara naratif.

Pada akhirnya, Pengepungan di Bukit Duri bukan sekadar film, tetapi sebuah ajakan untuk berdialog—baik dengan diri sendiri, sesama penonton, maupun dengan bangsa ini. Film ini mungkin selesai dalam dua jam, namun pembicaraan dan perenungannya akan terus bergema jauh setelah lampu bioskop padam.