Polemik Pakaian Paskibraka: Bagaimana Dasar Hukum Negara dan Hukum Islam?

Pengukuhan Paskibraka

FYPMEDIA.ID – Setiap tahunnya, pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) menjadi sorotan utama dalam perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia. Terdapat sesuatu yang berbeda dalam penampilan anggota Paskibraka saat dikukuhkan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, pada Selasa (13/8/2024). Khususnya, anggota Paskibraka perempuan terlihat tidak mengenakan jilbab. Padahal, sebelumnya saat latihan diantara mereka ada yang memakai jilbab. Kejadian tersebut menarik perhatian publik, yang kemudian topik ini juga menjadi perdebatan di masyarakat mengenai kebebasan berekspresi dalam berpakaian sesuai keyakinan agama, terutama di acara-acara kenegaraan. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan peraturan tertinggi serta menjadi acuan dan parameter dalam pembuatan suatu peraturan yang ada dibawahnya. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis dan sumber hukum yang memuat tentang hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakkan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara.

Konstitusi menjamin kebebasan Muslimah yang warga negara Indonesia untuk berbusana sesuai dengan kepercayaan religiusnya. Hal ini selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1) yang menyebutkan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Kemudian dalam pasal 29 ayat (1) dan (2) disebutkan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” 

Mengenai hak-hak yang tercantum diatas sudah selayaknya seseorang memiliki hak tersebut, terlebih hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum karena seseorang berhak untuk menunjukan siapa dirinya, darimana ia berasal, agama apa yang ia yakini, budaya apa yang ia pakai agar menciptakan rasa saling menghargai satu sama lain. 

Dalam hukum islam, berpakaian dengan menutup aurat adalah perintah agama, sama wajibnya dengan shalat, atau perintah yang lainnya. Untuk itu tentu saja seorang muslimah harus menyadari akan kewajiban menutup aurat. Disamping merupakan suatu kewajiban, juga terdapat banyak hikmah di dalamnya yang tentu dapat dirasakan oleh yang mengamalkannya. Dalam pemahaman masyarakat muslim, hijab juga diartikan sebagai pakaian muslimah yang kini populer disebut dengan jilbab.

Menurut Quraish Shihab, Hijab yang diartikan sebagai pakaian yang menutupi seluruh tubuh perempuan adalah makna baru dalam perkembangan bahasa dan belum dikenal pada masa turunnya Al-Qur’an.  Menurutnya pula, arti hijab semacam ini adalah tidak lain dari sebuah pemahaman, dan perempuan yang tampil dengan menutupi pakaian seluruh tubuhnya, tidak terkecuali muka dan kedua tangannya disebut mutahjjibah.

Sebagaimana dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi, dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.”

Dari Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia kita dapat mengetahui bahwa memakai hijab termasuk dalam kebebasan pribadi, hak untuk diakui sebagai pribadi dan termasuk dalam hak beragama karena hijab merupakan suatu perintah dalam agama yang wajib dilakukan oleh seorang perempuan muslim dan ternyata undang-undang hak asasi manusia pun mengaturnya.

Menutup aurat menjadi wajib karena saddu al-dzari’ah, yaitu menutup pintu ke dosa yang lebih besar. Oleh karena itu, para ulama telah sepakat bahwa menutup aurat adalah wajib bagi setiap perempuan dan laki-laki Islam. Aurat laki-laki yang diperintahkan untuk menutupnya selain dari istrinya adalah mulai dari pusar sampai ke lutut. Dan aurat perempuan adalah seluruh badannya kecuali kepada suaminya. 

Perintah seorang perempuan untuk berjilbab ada dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 59 yang artinya: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka idak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dari ayat tersebut berjilbab atau berhijab menjadi suatu perintah yang wajib dilaksanakan oleh perempuan yang beragama Islam karena dengan berjilbab perempuan tersebut mudah dikenali sebagai seorang muslim dan agar perempuan yang mengenakan hijab tersebut tidak diganggu oleh orang yang bukan mahramnya dikarenakan pakaian yang dikenakannya dapat menutupi auratnya.

Dari yang sudah dijelaskan diatas dikatakan bahwa seorang perempuan muslim memakai hijab atau jilbab, hal tersebut merupakan suatu hak yang diatur dan dilindungi di dalam pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dan diatur pula dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, di dalam Al-Quran surat Al Ahzab ayat 59 merupakan landasan dasar seorang perempuan muslim memakai hijab dan ayat tersebut juga mewajibkan seorang perempuan muslim untuk berhijab. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada alasan yang kuat untuk perempuan muslimah melepas jilbabnya, termasuk dalam acara kenegaraan. Bahkan, institusi negara sepatutnya mendukung hak perempuan untuk tetap mengenakan jilbab.

Comments are closed.