Paus Leo 2025: Seruan Perdamaian dari Jantung Vatikan untuk Ukraina, Gaza, hingga Myanmar

Paus Leo 2025: Seruan Perdamaian dari Jantung Vatikan untuk Ukraina, Gaza, hingga Myanmar

FYPMedia.IDtengah suasana sakral pelantikan paus baru, Paus Leo XIV menyampaikan pesan yang menggema jauh melampaui Lapangan Santo Petrus. Dalam misa pelantikannya, Paus Leo tidak hanya mengawali masa jabatannya sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik, tapi juga memposisikan dirinya sebagai suara moral bagi dunia yang tengah dilanda konflik, ketimpangan, dan krisis kemanusiaan.

Dengan nada tenang namun tegas, Paus Leo XIV menyerukan “perdamaian yang adil dan abadi” bagi Ukraina, mengingatkan umat dan para pemimpin dunia akan penderitaan rakyat yang terdampak perang berkepanjangan. “Ukraina yang menderita sedang menunggu negosiasi untuk perdamaian yang adil dan abadi,” ucapnya menjelang audiensi pribadinya dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky.

Zelensky sendiri hadir dalam misa tersebut bersama para pemimpin dunia lainnya, termasuk Wakil Presiden Amerika Serikat JD Vance. Di antara simbol-simbol sakral Gereja dan sorak-sorai ribuan umat, pertemuan simbolik ini memperkuat pesan bahwa Vatikan, di bawah kepemimpinan baru, tetap ingin terlibat aktif dalam diplomasi moral global.

Gaza dan Myanmar Tak Luput dari Doa

Tak hanya Ukraina, Paus Leo juga menyoroti krisis kemanusiaan di Gaza yang hingga hari ini masih menjadi sorotan dunia internasional. Dalam doa Regina Coeli yang dibacakan di akhir misa, ia menyebutkan dengan jelas penderitaan yang dialami oleh warga Gaza, khususnya anak-anak, keluarga, dan para penyintas lanjut usia yang menderita kelaparan.

“Di Gaza, anak-anak, keluarga, dan para penyintas lanjut usia menderita kelaparan,” kata Paus Leo dalam nada doa yang menggugah. Dalam suasana pelantikan yang penuh pengharapan, kata-kata ini seolah mengingatkan dunia akan kenyataan pahit yang tak boleh diabaikan.

Myanmar juga masuk dalam radar perhatian Paus baru ini. Ia mengenang bagaimana permusuhan dan kekerasan yang terus berlangsung di sana telah merampas masa depan anak-anak muda yang tidak bersalah. “Permusuhan baru di Myanmar telah menghancurkan kehidupan anak-anak muda yang tidak bersalah,” ujarnya.

Baca Juga: Konklaf 2025: Tantangan Global Menanti Paus Baru Pengganti Fransiskus

Suara untuk Kaum Miskin dan Alam

Lebih jauh dari konflik bersenjata, Paus Leo XIV juga menyinggung isu ketimpangan sosial dan lingkungan hidup. Ia mengutuk keras marjinalisasi kaum miskin serta eksploitasi alam yang semakin merusak tatanan kehidupan. Pernyataan ini menjadi penanda awal bahwa kepemimpinannya akan berfokus pada suara-suara yang kerap terpinggirkan—baik manusia maupun bumi yang ditinggalinya.

“Tak ada tempat bagi propaganda agama atau permainan kekuasaan di tubuh Gereja,” tegasnya dalam homili—bagian penting dari misa yang kerap digunakan Paus untuk menyampaikan pesan utama masa jabatannya.

Pesan ini tampaknya menjadi tanggapan terhadap dinamika internal Gereja Katolik yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami perpecahan antara kubu konservatif dan reformis. Dengan tegas namun lembut, Paus Leo XIV mengajak seluruh umat Katolik untuk kembali pada esensi: persatuan dalam iman dan pelayanan.

Kerendahan Hati Sebagai Pondasi

Dalam momen yang penuh makna itu, Paus Leo juga menunjukkan kerendahan hati yang mencerminkan semangat pendahulunya, Paus Fransiskus. Ia menegaskan bahwa pemilihannya sebagai Paus bukan karena jasa-jasanya, melainkan sebagai anugerah yang ia terima dengan rendah hati.

“Saya tidak dipilih karena jasa saya. Saya datang sebagai saudara, yang ingin menjadi pelayan bagi iman dan sukacita Anda semua,” tuturnya.

Ucapan ini bukan hanya menyentuh hati umat Katolik, tetapi juga memperlihatkan arah baru Gereja Katolik di bawah kepemimpinannya: pelayanan yang rendah hati, keberpihakan pada yang tertindas, dan keberanian untuk bersuara di tengah dunia yang gaduh oleh kepentingan politik dan ekonomi.

Baca Juga: Resmi! Kardinal Robert Prevost Terpilih Jadi Paus Baru 2025: Paus Leo XIV

Awal Baru yang Sarat Harapan

Pelantikan Paus Leo XIV bukan sekadar seremoni keagamaan, melainkan juga momentum penting dalam sejarah global. Dari Vatikan, suara perdamaian kembali digaungkan dengan kuat. Dalam dunia yang dipenuhi perpecahan dan krisis, kehadiran seorang pemimpin spiritual yang berani menyinggung isu-isu sensitif—tanpa berpihak kecuali kepada kemanusiaan—menjadi harapan tersendiri.

Paus Leo XIV mengawali masa jabatannya dengan pesan sederhana namun kuat: dunia butuh lebih banyak pengampunan, keadilan, dan keberanian untuk mencintai sesama. Dan dari mimbar tertinggi Gereja Katolik, ia telah menyatakan sikapnya—berpihak pada perdamaian, kemanusiaan, dan harapan.