FYP
Media
Memuat Halaman...
0%
Gelombang Desakan agar Oknum WO Ayu Puspita Dijatuhi Sanksi Bui dan Ganti Rugi Maksimal

News

Gelombang Desakan agar Oknum WO Ayu Puspita Dijatuhi Sanksi Bui dan Ganti Rugi Maksimal

Writer: Raodatul - Kamis, 11 Desember 2025 08:00:00

Gelombang Desakan agar Oknum WO Ayu Puspita Dijatuhi Sanksi Bui dan Ganti Rugi Maksimal
Sumber gambar: Ilustrasi Seserahan/Freepik

FYPMedia.id - Kasus dugaan penipuan yang menyeret oknum pemilik Wedding Organizer (WO) Ayu Puspita terus bergulir dan kini memasuki babak baru. Tidak hanya tuntutan pidana penjara, desakan publik dan lembaga resmi agar pelaku diwajibkan membayar ganti rugi kepada seluruh korban semakin menguat. 

Tekanan terutama datang dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI yang menilai kerugian korban sangat besar, sistemik, dan harus dipulihkan melalui langkah hukum yang tegas.

Skandal ini telah menjadi sorotan nasional lantaran jumlah korban terus bertambah, mencerminkan rapuhnya tata kelola industri wedding organizer di Indonesia. 

Selain itu, kasus Ayu Puspita dinilai sebagai “wake up call” bahwa praktik penyedia jasa pernikahan di Indonesia masih minim standar, minim pengawasan, dan rentan disalahgunakan oleh oknum pelaku usaha.

BPKN: Pidana Penjara Tidak Cukup, Harus Ada Ganti Rugi

BPKN menegaskan bahwa pemidanaan saja tidak akan menyelesaikan persoalan. Lembaga tersebut mendorong agar aparat penegak hukum (APH) menerapkan Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) untuk memberi sanksi tambahan berupa kewajiban ganti rugi kepada semua korban.

Ketua Komisi Advokasi BPKN, Fitrah Bukhari, menyatakan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk memastikan hak-hak konsumen dipulihkan, bukan hanya menghukum pelaku.

Dalam pernyataannya, ia menegaskan: “Kami mendorong penyidik dan penuntut umum untuk menggunakan Pasal 63 UUPK yang memungkinkan hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa kewajiban membayar ganti rugi kepada konsumen. Dengan jumlah laporan resmi mencapai 87 korban dan estimasi total korban lebih dari 200 pasangan, kerugian yang terjadi nyata, terukur, dan masif. Pemulihan hak bukan pilihan, tetapi keharusan hukum,” ujar Fitrah

Menurut data resmi, setidaknya 87 pasangan telah melapor ke kepolisian. Namun, hasil pendataan yang beredar menunjukkan lebih dari 200 pasangan berpotensi menjadi korban, dengan total kerugian ditaksir mencapai Rp15–16 miliar.

Baca juga: Penipuan! Pria di Bogor Rekayasa Penyekapan untuk Tagih Tebusan Puluhan Juta dari Orang Tua

Fenomena Gunung Es Industri Wedding Organizer

BPKN menilai bahwa kasus ini bukanlah insiden tunggal, melainkan puncak gunung es dari buruknya tata kelola sektor WO. Minimnya regulasi dan ketiadaan standar nasional membuat konsumen rentan mengalami kerugian.

Fitrah menjelaskan lebih lanjut bahwa pelanggaran serupa kerap terjadi dan dibiarkan berulang karena kurangnya kontrol ketat terhadap pelaku usaha.

Dalam ungkapannya kepada media, ia kembali menegaskan: “Di lapangan, banyak pelaku usaha WO yang gagal menepati janji dengan vendor seperti dekorasi, katering, hingga MUA. Industri ini membutuhkan standarisasi nasional, termasuk mekanisme pembayaran aman, sertifikasi usaha, dan pengawasan lebih ketat,” jelas Fitrah.

Kurangnya SOP baku, sistem pembayaran yang tidak aman, hingga perjanjian kerja sama yang tidak jelas membuat konsumen kerap menjadi korban praktik curang, over-promise, hingga manipulasi harga.

Pasal 63 UUPK: Celah Hukum yang Harus Diberdayakan

Pasal 63 UUPK membuka ruang bagi empat jenis pidana tambahan yang selama ini jarang diterapkan secara maksimal, yakni:

  1. Penarikan barang atau jasa dari peredaran
  2. Penghentian kegiatan tertentu
  3. Kewajiban membayar ganti rugi
  4. Pengumuman putusan hakim

Keempat jenis pidana tambahan ini dinilai sangat relevan dalam kasus penipuan jasa WO, khususnya pada sistem bisnis yang melibatkan uang muka (DP) bernilai besar dari konsumen.

BPKN menekankan bahwa penerapan pidana tambahan tersebut akan memberikan efek jera kuat kepada pelaku usaha lain, sekaligus menjadi peringatan keras terhadap praktik penipuan yang selama ini merajalela.

Fitrah menegaskan: “Penegakan Pasal 63 bukan hanya soal menghukum pelaku, tetapi mengembalikan martabat konsumen.”

Kasus Ayu Puspita Diambil Alih Polda Metro Jaya

Melihat kompleksitas kasus dan jumlah korban yang terus bertambah, Polda Metro Jaya resmi mengambil alih penyelidikan dan penanganan seluruh perkara terkait WO Ayu Puspita. Sebelumnya, kasus ini ditangani oleh Polres Metro Jakarta Utara.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Budi Hermanto, menjelaskan: “Iya betul, penanganan perkara tersebut ditangani Ditreskrimum Polda Metro Jaya dan disiapkan posko layanan pengaduan bagi korban WO tersebut.”

Polisi menyebut korban tidak hanya berasal dari Jakarta Utara, tetapi juga tersebar di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Bekasi, hingga wilayah Polda Metro Jaya.

Saat ini, lima tersangka telah diamankan, masing-masing berinisial A, D, B, H, dan R. Dua di antaranya, Ayu Puspita dan D, memiliki peran sentral: Ayu berperan sebagai pemilik WO, sementara D bertugas membujuk korban untuk menambah uang muka (DP) dengan iming-iming layanan premium.

Baca juga: 9 Modus Penipuan WhatsApp Terbaru, Waspada Agar Tidak Jadi Korban

Ancaman Hukuman dan Potensi Sanksi Tambahan

Kelima tersangka dijerat Pasal 372 dan 378 KUHP tentang penggelapan dan penipuan yang memiliki ancaman hukuman empat tahun penjara. Namun tekanan publik kini mengarah pada penerapan sanksi tambahan berupa kewajiban ganti rugi, sebagaimana diatur dalam UUPK.

BPKN menilai sanksi penjara saja tidak akan memulihkan kerugian korban yang mencapai belasan miliar rupiah. Ganti rugi dinilai sebagai bentuk keadilan substantif yang seharusnya diberikan negara kepada masyarakat.

Kerugian Ditaksir Rp 16 Miliar, Angka Bisa Bertambah

Polisi mengungkapkan bahwa total kerugian sementara mencapai Rp 16 miliar. Angka ini kemungkinan besar akan meningkat sejalan dengan masuknya laporan baru.

Kombes Budi Hermanto mengatakan: “Karena kalau kemarin kan sempat disampaikan kerugian itu mencapai Rp16 miliar. Tetapi kan kita harus mencocokkan dari setiap korban berapa dana yang ditransfer, berapa yang diterima oleh si tersangka. Ini harus kita sinkronkan.”

Tim penyidik kini menelusuri aliran dana, memeriksa transaksi, dan memverifikasi seluruh laporan untuk memastikan total kerugian yang akurat.

Dampak Sistemik bagi Industri WO Indonesia

Kasus ini menjadi sinyal kuat bahwa industri WO membutuhkan standarisasi nasional, baik terkait:

  • mekanisme penagihan dan pembayaran
  • perjanjian kerja sama
  • ketentuan pengembalian dana (refund)
  • pengawasan dan sertifikasi usaha
  • sanksi tegas untuk oknum pelaku

Jika tidak, kasus serupa akan kembali terjadi di masa depan. BPKN memperingatkan: “Ini bukan sekadar dugaan penipuan. Ini alarm keras bahwa industri ini membutuhkan standar dan pengawasan yang lebih kuat. Hak konsumen adalah martabat warga negara, dan negara wajib menjaganya.”

Mau Diskusi Project Baru?

Contact Us